Pagi menyambut dengan kelabu mengitari kedua mata. Status baru menjadi seorang istri tidak menjadikan seorang Alina bahagia. Nyatanya menjadi yang kedua tidak selalu menyenangkan. Siapa yang ingin berada di posisinya?
Alina pun tidak menginginkan hal tersebut. Namun, ia hanya akan terus berharap mencari ridho Allah dalam pernikahan itu.
Meskipun menjadi yang kedua, Alina berharap bisa menikah sekali seumur hidup. Maka dari itu ia akan bertahan sampai Allah memberikan yang terbaik. Dalam pernikahannya pun ia sudah menjabat sebagai seorang ibu. Anak dari suaminya yang masih berada dalam buaian ditangguhkan padanya.
Sungguh bukan pekerjaan yang mudah, tetapi Alina akan tetap bersabar dalam menghadapinya.
Ia percaya Allah pasti akan memberikan yang terbaik terlepas dari rasa sakit, sedangkan sang suami, sibuk mengurusi pekerjaan kantor dan Yasmin.
Pria itu hanya menganggap Alina sebagai pengasuh dan perawat bagi anak, istrinya. Hati Alina terluka mengetahui niat dalam pernikahan itu. Namun, apalah daya ia juga tidak ingin adanya fitnah dalam kebersamaan keluarga mereka. Ia tidak menyangka kehidupan rumah tangga jauh dari bayangan. Dulu, ia pernah bermimpi akan hidup bersama pria yang dicintai dan mencintainya.
Namun, ternyata Allah berkehendak lain. Azam dihadirkan untuk mendampingi hidupnya. Meskipun sangat berbanding terbalik dengan keinginannya, Alina yakin Allah memberikan yang terbaik. Dengan keyakinan yang dimiliki, ia berusaha sabar dan tawakal menjalani kehidupan barunya.
Sudah menjadi kebiasaan selama seminggu ini, seusai shalat subuh berjamaah Alina akan memandikan si kecil, Aqeela. Bayi perempuan yang baru berusia tiga bulan tersebut begitu menggemaskan. Ia jadi tidak kesepian lagi tanpa adanya sang suami.
"Sayang, waktunya mandi," ujarnya seraya membuka semua pakaian yang melekat pada tubuh Aqeela.
Sang bayi hanya tersenyum manis seolah mengerti. Tidak lama kemudian Alina mulai memandikannya. Hanya membutuhkan waktu dua puluh menit ia sudah selesai mendandani Aqeela. Aroma minyak kayu putih begitu menyengat membuat ia nyaman berlama-lama dengan anak dari suaminya ini.
"Kamu sudah memandikan Aqeela? Sekarang bantu Yasmin untuk bersih-bersih."
Suara baritone menginterupsi. Alina terkejut tidak menyadari kedatangan Azam ke kamar.
"Ba-baik, Mas," balas Alina lalu menyerahkan Aqeela pada sang ayah.
Alina bergegas menuju lantai dua di mana istri pertama sang suami tengah berbaring tidak berdaya. Semakin hari keadaan Yasmin tidak ada perkembangan yang signifikan. Ia terlihat semakin kurus dengan penyakit yang terus menggerogoti.
Alina mengetuk pintu beberapa kali sebelum masuk ke kamar itu.
"Mbak Yasmin, ini aku Alina. Mbak sudah bangun?" tanyanya di balik pintu.
"Buka saja tidak dikunci," jawab Yasmin pelan.
Alina pun membukanya perlahan. Ia tersenyum hangat saat pandangannya beradu tatap dengan Yasmin. Ia lalu berjalan mendekat dan duduk di tepi tempat tidur seraya membantu wanita itu beranjak dari berbaring nya.
"Terima kasih, kamu seharusnya menemani Mas Azam sarapan," ujar Yasmin dengan suara serak.
Alina menggeleng singkat. "Tidak, Mbak. Aku di sini untuk membantu Mbak Yasmin. Aku siapkan air hangat dulu."
Ia lalu beranjak menuju kamar mandi yang berada di ruangan itu. Tidak lama berselang ia kembali dan mulai membantu Yasmin membersihkan diri.
Beberapa saat berlalu, Alina pun membawa Yasmin turun menuju lantai satu. Di sana Azam tengah menimang Aqeela yang mulai memejamkan mata.
Melihat kedatangan mereka, Azam menyerahkan sang anak pada Alina dan mengambil alih Yasmin. Dalam diam ia hanya bisa tersenyum kecut menerima perlakuan sang suami.
Sudah seminggu ia berstatus sebagai istri kedua dari Azam. Namun, sampai saat ini ia belum pernah disentuh sedikit pun oleh suaminya. Alina hanya bisa bersabar meskipun kadang rasa perih selalu menerpa. Hanya bisa menghela napas pasrah dengan keadaan yang menimpa, ia percaya jika suatu saat keadaan akan menjadi jauh lebih baik.
Setelah kejadian singkat itu Alina masih berdiam diri di depan tangga. Netranya mengikuti sepasang suami istri di sana. Dengan telaten Azam mengurus sang istri untuk sarapan. Senyum lebar pun tercetak menambah ketampanan.
Alina bak patung tidak tahu harus berbuat apa, sampai suara Yasmin menyadarkannya dari lamunan.
"Alina, kita sarapan bersama. Kenapa masih diam terus di sana? Ayo kesini," ajaknya seraya menyuruh Alina mendekat.
"A-ah iya Mbak." Alina pun dengan cepat ikut bergabung bersama mereka.
Canggung. Itulah yang dirasakan Alina saat ini. Ia tahu dirinya hanyalah sebagai seorang istri kedua tanpa ada ikatan cinta dalam pernikahan. Namun, bukan seperti ini drama yang selalu diperlihatkan sang suami padanya. Ia hanya ingin dihargai tanpa imbalan apa pun, tetapi yang dilakukan Azam terus memberikan luka.
Seperti saat ini, pria itu dengan telaten menyuapi istri pertama tepat di depan mata kepala Alina. Ia bisa melihat dengan jelas bagaimana Azam begitu perhatian kala beberapa noda makanan menempel di bibir Yasmin. Dengan lembut ia menyapunya bersih menggunakan ibu jarinya sendiri.
Dengan malu-malu Yasmin hanya bisa menerima perlakuan hangat sang suami. Bagaimanapun juga ia seorang istri yang masih butuh perhatian darinya.
Alina hanya duduk diam menikmati sarapan seraya memangku Aqeela. Kepala berhijab itu menunduk dalam berharap tidak melihat adegan pasangan suami istri harmonis tepat di depannya.
"Ya Allah sakit sekali, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa," benaknya miris.
Melihat gestur Alina, Yasmin pun tersadar. Ia menolak suapan Azam dan menunjuk ke depan menggunakan dagu. Melihat itu Azam pun mengikuti arah pandangan sang istri.
"Alina? Kenapa dengan dia?" ujarnya begitu saja. Alina pun kembali mendongak kala namanya disebut dan melihat mereka bergantian.
"Rasanya tidak enak dilihat, bagaimanapun Alina suami Mas juga," ujar Yasmin membuat Alina melebarkan kedua mata tidak percaya.
"Memangnya kenapa? Aku juga suamimu. Sudah menjadi kewajiban ku untuk mengurusi mu. Apalagi kamu sedang sakit, Sayang. Alina sehat, jadi dia bisa mengurusi semuanya sendiri," perkataan Azam begitu tepat mengenai ulu hati Alina.
Ia berusaha tegar dengan menggenggam sendok kuat. Ia tidak menyalahkan Yasmin dalam situasi seperti itu. Namun, alangkah lebih baik jika ia diam dan tidak berkata seperti tadi. Mungkin perkataan Azam tidak akan pernah ia dengar.
"Tidak apa-apa, Mbak. Benar apa yang dikatakan Mas Azam, aku bisa melakukan semuanya... sendiri," balas Alina berusaha terlihat baik-baik saja.
"Kamu dengar sendiri kan? Dia baik-baik saja, jadi ayo habiskan sarapan mu, Sayang."
Kembali kata sayang diucapkan sang suami untuk wanita lain, yang sudah jelas menjadi istri pertama.
Berkali-kali Alina harus menebar senyum penuh kepalsuan, meskipun ada air mata yang ingin dikeluarkan. Ia tahu diri dengan posisinya sekarang. Karena sejak awal ia tidak pernah ada di antara keduanya.
"Baiklah kalau begitu. Oh iya, sebelum Mas berangkat mau antar Alina dulu tidak?" tanya Yasmin membuat Alina menautkan kedua alis tidak mengerti.
"Ke mana?" tanya suaminya singkat.
"Hari ini Aqeela harus imunisasi, jadi alangkah baiknya Mas mengantar Alina. Kamu mau kan Al, menemani Aqeela?" Kini perhatiannya berpusat pada Alina.
Wanita itu hanya menganggukkan kepala dan tersenyum simpul.
"Baiklah, apa pun demi kamu Sayang," ujar Azam seraya mengelus puncak kepala Yasmin. "Kalau begitu aku siap-siap dulu," lanjutnya lalu membubuhkan kecupan hangat di dahi Yasmin.
Melihat itu Alina hanya bisa menatap mereka dengan nanar. Ia benar-benar tidak dianggap sebagai seorang istri. Ia diperlakukan sangat berbeda. Meskipun kedudukannya sama dengan istri pertama.
"Aku tidak berbeda jauh dari pengasuh. Ya Allah kuatkan hati hamba," benaknya lagi dan lagi.
Hanya itu yang bisa Alina lakukan. Ia akan terus bersabar sampai waktu menentukan semuanya baik-baik saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 246 Episodes
Comments
Happyy
💪🏼💪🏼💪🏼
2023-06-21
0
Mila Heriyana
sabar Alina, smg ke sabaran mu berbuah kebahagian
2022-11-08
1