Langit terlihat agak mendung pagi ini. Matahari enggan keluar dari persembunyiannya. Jalanan ibu kota terlihat padat seperti hari-hari biasa. Awan kelabu ikut berputar dalam kedua mata seorang Alina.
Saat ini ia tengah duduk bersama sang suami dalam kendaraan roda empat. Keheningan tercipta kala kecanggungan terus mengitari keduanya.
Dalam buaiannya Aqeela tertidur begitu lelap. Ia berharap waktu berlalu dengan cepat, tidak kuasa terus berlama-lama bersama sang pasangan hidup. Alina tahu jika perasaan tidak bisa dipaksakan. Namun, bisakah itu tersampaikan?
Ia hanya menginginkan kelegaan dalam dada, bukan rasa sesak yang setiap kali datang menerpa. Bisakah itu menghilang? Atau bisakah sang suami menerimanya? Kepala berhijab tersebut menggeleng kala beberapa pertanyaan berputar dalam pikiran.
Alina sadar jika dirinya bukanlah sebagai pengganti, melainkan seseorang yang bisa membantu keluarga sang suami.
Tak apa, Alina bisa menerima dengan lapang dada, meskipun harus ada air mata mengitari. Ia berharap musim hujan segera menghilang dalam diri. Namun, itu hanya angan-angan saja. Nyatanya Azam hanya menganggapnya sebagai seorang perawat, tidak lebih dari itu.
"Aku minta maaf."
"Eh?"
Kata maaf yang terlontar dari Azam seketika mengejutkan Alina. Wanita itu langsung menoleh pada suaminya yang tengah serius menyetir. Apa ia tidak salah dengar? Azam meminta maaf? Pikirnya berkecamuk.
"Maaf, sudah menyusahkan mu, tapi ini satu-satunya jalan. Aku tidak ingin melihat Yasmin semakin menderita. Aku hanya ingin melihatnya terus tersenyum. Karena senyumannya adalah bahagiaku." Seulas senyum pun terpendar di sana.
Alina yang terus menatapnya mengerti. Satu hal yang ia yakini jika Azam, "Mas, sangat mencintai Mbak Yasmin, kan?"
"Eung, aku sangat mencintainya. Aku tidak bisa kehilangannya. Maka dari itu apa pun keinginannya akan aku lakukan."
"Iya termasuk pernikahan ini," benak Alina melanjutkan.
Bagaikan ada duri yang menancap dalam dada, Alina mengepalkan tangan kanan kuat. Ia berusaha untuk tidak menggangu Aqeela yang tengah tertidur dalam dekapannya. Namun, sekuat apa pun menahan, rasa sakit itu terus bersemayam.
"Sampai kapan aku berada di posisi ini? Ya Allah, apa hamba sanggup bertahan? Tidak-tidak Alina kamu harus bertahan. Ada Allah yang menguatkan," benaknya lagi seraya menunduk dalam berusaha mengenyahkan kepedihan.
Sekilas Azam melihatnya dan tidak mengatakan apa-apa lagi membiarkan keheningan mendominasi. Ia tahu seperti apa perasaan Alina. Sikapnya yang terlihat malu-malu begitu jelas menggambarkan rasa itu, jika sang istri kedua mencintainya.
"Aku minta maaf," batin Azam berkecamuk.
Tidak lama berselang mereka pun tiba di salah satu klinik milik bidan senior di sana. Alina lalu turun dan bergegas membawa Aqeela untuk imunisasi. Tanpa mengatakan sepatah kata ia pergi begitu saja. Azam mengerti dan tidak mempermasalahkan.
Akhirnya kecanggungan pun usai. Alina bisa sedikit bernapas lega, setidaknya terbebas bersama Azam.
...***...
Satu bulan berlalu, kehidupan rumah tangga Alina dan Azam sama sekali tidak ada perkembangan. Bagaikan cangkang kosong di dalamnya tidak ada apa pun.
Hampa, tidak ada harapan cahaya untuk bersinar. Hanya gelap yang terus menyelimuti, serta air mata yang keluar setiap saat.
Pedih, perih, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Alina sadar dengan posisinya di sana.
Ia hanya bisa terus menyembunyikan perasaan terdalam. Namun, seberapa pintar ia menyembunyikan hal tersebut maka akan terhembus juga.
Sama seperti kali ini, Yasmin yang tengah duduk di ruang keluarga melihat dengan jelas bagaimana madunya tengah memasangkan dasi di kerah kemeja sang suami. Kecanggungan dan semburat merah di pipi wanita itu membuatnya melengkungkan bulan sabit.
"Ah, ternyata dia benar-benar mencintai suaminya. Aku tidak salah menikahkan mereka berdua. Mas Azam, dicintai wanita yang tepat. Jika nanti aku pergi Mas Az-"
"Yasmin?" Panggil sang suami yang memotong ucapannya dalam benak. Yasmin tidak menyadari jika Azam sudah berjongkok tepat di hadapannya.
"Ah Mas, iya?" tanyanya kikuk lalu menampilkan senyum.
"Ada apa, hm? Kamu melamun tadi," balas sang suami menangkup pipi kanannya hangat.
"Tidak ada apa-apa." Yakinnya dan kembali melengkungkan bulan sabit di bibir ranum itu.
Azam tersenyum menatap wajah cerah sang istri pertama. Sudah lama ia tidak melihat Yasmin seperti ini. Ia yakin penyakit yang bersarang dalam diri istrinya bisa disembuhkan. Harus, ia tidak bisa kehilangan pujaan hati.
"Aku senang," lirih Azam membuat Yasmin mengerutkan dahi, heran.
"Hm?"
"Aku bisa melihat mu tersenyum lagi, Sayang. Terima kasih sudah bertahan untukku dan anak kita." Azam menyatukan dahinya dengan sang istri.
Senyum mengembang di bibir keduanya. Tidak hanya itu saja, Azam pun membubuhkan kecupan hangat di kening sang belahan jiwa. Tanpa menyadari jika ada hati yang terluka.
Alina yang masih berdiam diri tidak jauh dari keberadaan mereka hanya tersenyum masam. Kepalanya menggeleng sekilas lalu beranjak dari sana. Ia tidak bisa melihat lebih lama lagi keharmonisan yang dilayangkan oleh suami dan istri pertamanya.
Itu seperti menabur perasan jeruk lemon di atas luka. Perih sangat perih. Bagaikan menelan empedu, terasa pahit untuk di rasakan.
Alina memilih pergi dan memendam semuanya, lagi.
Mendengar langkah kaki, Yasmin mendorong kedua bahu sang suami. Netra nya lalu memandang ke mana Alina pergi. Ia tahu jika saat ini wanita itu tengah memendam perasaan. Seketika rasa bersalah menghantui.
"Mas, lain kali jangan berbuat seperti ini jika di depan Alina," ungkapnya.
Azam menautkan kedua alis mendengar penuturan sang istri. "Eh? Memang kenapa? Kitakan suami istri.
"Tapi Alina juga istrimu, Mas. Aku tidak mau menyakiti hatinya. Aku ingin Mas juga memperlakukannya sama. Seharusnya sebelum berangkat kerja Mas kecup dulu dahi Alina, dan dia menyalami tangan Mas, kalian kan suami istri juga," tutur Yasmin membuat Azam terdiam.
Ia lalu beranjak dan mengambil tas kerja di sebelah Yasmin. "Aku berangkat dulu," ujar Azam tanpa membalas perkataan istrinya tadi.
Yasmin hanya menghela napas pasrah. Ia juga mengerti jika sang suami masih belum membuka hati untuk wanita lain, meskipun itu istrinya sendiri.
"Aku berharap sebelum pergi Mas sudah mencintai Alina," lirihnya sambil menatap kepergian Azam.
Di pekarangan, Alin duduk memangku Aqeela seraya menatap kosong ke depan. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa setiap kali melihat kemesraan suami dan istri di sana.
Ia sadar jika Azam sama sekali tidak menganggap pernikahan mereka. Namun, tetap saja Alina berharap ada sedikit saja rasa menghargainya sebagai seorang istri.
Cinta terkadang memberikan kejutan tak terduga. Ia akan singgah pada siapa saja yang dikehendakinya. Alina pun tidak menyangka jika rasa itu tumbuh dengan cepat untuk suami orang. Ia berpikir untuk melepaskannya saja. Namun, ternyata rencana Allah tidak ada yang tahu. Allah menyatukan mereka dalam ikatan suci pernikahan.
"Aku pergi kerja dulu, Assalamu'alaikum." Suara berat dan tepukan pelan di puncak kepalanya membuat Alina terkejut.
Ia tidak menyadari kedatangan Azam yang secara tiba-tiba. Seketika itu juga degup jantung bertalu kencang. Alina tersentak saat sentuhan di kepala masih terasa. Ia terus memandangi sosok sang suami hingga eksistensinya menghilang dalam pandangan.
"Wa-Wa'alaikumsalam," gugupnya.
Itu pertama kali sejak mereka menikah Azam berpamitan padanya. Seketika seulas senyum hadir di wajah cantik Alina. Setidaknya keberadaan ia di rumah itu masih dihargai, meskipun hanya sedikit.
"Sakit, tapi aku bahagia bisa bersama pria yang kucintai. Aku yakin suatu saat nanti, rumah tangga kami akan berubah," batin Alina penuh harap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 246 Episodes
Comments
Happyy
💖💖
2023-06-21
0
Sumarni Sumarni
jangan sakit hati.. jangan cemburu..... kan dia lagi sakit yg sudah di vonis pula... pasti akan datang waktunya nanti ....yg sabar yak ☺☺☺
2023-02-12
0
hoomano1D
bahagia harusnya tdk merasakan sakit di dada
2022-11-24
0