Bagaikan pecahan kaca, luka tak kasat mata menjadi penentu hari pernikahan paling bersejarah sepanjang hidup seorang Alina.
Setelah selesai acara, kedua mempelai mendapatkan waktu untuk bersama. Namun, keadaan itu bagi mereka yang memiliki pernikahan normal, tidak untuk Alina.
Wanita berusia dua puluh empat tahun itu harus mendekam seorang diri di kamar pengantin. Ruangan berbentuk kotak nan luas tersebut terdiri dari tempat tidur besar, lemari pakaian bercat putih bersih, jendela lebar, sofa panjang di sudut ruangan, meja rias dan beberapa perlengkapan lain menemani kesepian.
Sudah hampir tiga puluh menit, Alina duduk termenung ditepi tempat tidur. Berkali-kali ia menghela napas pelan mencoba meredam gemuruh dalam dada. Sesak yang tidak berkesudahan menimbulkan kepedihan.
Bosan, sang suami tak kunjung datang ia memutuskan keluar. Baru saja kakinya melangkah meninggalkan kamar, ia harus berhenti diambang pintu. Iris jelaganya menatap lurus ke depan menangkap dua sosok yang sudah tidak asing lagi.
"Yasmin, hidungmu berdarah lagi Sayang. Ayo kembali ke kamar biar Aqeela bersama Alina dulu."
Azam menuntun istri pertamanya ke kamar utama. Ruangan yang terletak di lantai dua itu membuat tatapan Alina tidak pernah lepas dari mereka. Setelah menghela napas lagi ia memutuskan kembali masuk.
Tidak lama berselang pintu kamar terbuka menampilkan sosok tegap seorang pria yang sudah sah menjadi suaminya. Ia tidak sendirian, ada seorang bayi mungil yang baru genap dua bulan dalam buaiannya. Alina bangkit dari duduk berjalan mendekat.
"Aku tidak bisa menemanimu, Yasmin lebih membutuhkan ku. Malam ini bisa kamu menjaga Aqeela dulu?"
Alina mengangguk samar, Azam pun langsung menyerahkan buah hatinya ke dalam dekapan istri kedua.
Setelah memberikan bayi perempuan itu Azam kembali keluar. Alina terdiam mematung di tempat bertepatan dengan sosoknya memantul dalam kaca rias. Kepala berhijab serta masih lengkap dengan make up pengantin itu menoleh. Maniknya menatap ke dalam bola matanya sendiri di sana.
Betapa menyedihkan seorang Alina dalam balutan kebaya ia tengah memangku seorang bayi kecil. Seharusnya sekarang ia melewati malam pengantin bersama suaminya. Namun, pria itu memilih untuk menemani istri pertama.
"Ya Allah kuatkan lah hamba. Aqeela Sayang, temani Mamah malam ini yah."
Entah kenapa setelah bertemu dengan bayi dalam gendongannya saat seminggu lalu Alina sudah sangat menyayanginya. Ia tidak bisa menolak keberadaan malaikat kecil itu dalam kehidupannya.
Di lantai atas, Azam begitu cekatan membantu sang istri dalam perawatan. Penyakit yang kian hari menggerogoti nyawa Yasmin membuat wanita itu tidak berdaya. Malam ini hidungnya kembali mengeluarkan darah kental, hal tersebut menjadi ketakutan bagi Azam. Pria itu tidak ingin kehilangan sosok wanita yang benar-benar ia cintai.
"Kembalilah, Alina pasti menunggumu," titah Yasmin lemah.
"Tidak! Aku tidak mau meninggalkanmu, Sayang." Azam mengelus lembut puncak kepala sang istri.
"Tapi ini malam pengantin kalian. Aku tidak apa-apa, semua baik-baik saja. Kembalilah." Azam lagi-lagi hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban.
Yasmin bisa mengangguk maklum jika suaminya begitu keras kepala. Namun, tetap saja ia merasa bersalah kepada Alina sudah menghancurkan malam pengantinnya. Setelah tidak ada perbincangan lagi mereka pun berbaring bersama.
Azam begitu erat memeluk tubuh ringkih sang istri dari belakang. Ia membenamkan wajah tampannya di balik ceruk leher Yasmin. Ia bisa merasakan hangat tubuh sang terkasih semakin lemah.
"Aku tidak ingin kehilanganmu. Bertahanlah, aku mencintaimu," bisik nya pelan.
Yasmin menggenggam erat kedua lengan kekar di perutnya lalu mengangguk samar. Ia tidak bisa menolak takdir kala Allah memanggilnya nanti. Ia sudah pasrah atas apa yang akan terjadi.
...***...
Alina terbangun dari tidur saat bayi mungil di sampingnya menangis kencang. Ia pun langsung menggendongnya dan berusaha menenangkan. Namun, tetap saja Aqeela tidak bisa berhenti menangis.
"Sayang, apa kamu lapar? Mamah buatkan susu, yah," bisik Alina lalu keluar kamar seraya menggendong Aqeela.
Buru-buru ia menuju dapur untuk membuatkannya susu. Namun, langkahnya terhenti saat melihat sosok yang tengah duduk di meja makan.
Tidak lama berselang ia berjalan perlahan mendekat.
"Mbak Yasmin? Kenapa Mbak di sini? Ini masih tengah malam." Alina terkejut kala mendapati istri pertama dari suaminya berada di sana.
Yasmin menoleh, bola matanya mengikuti Alina yang duduk di depan. Ada sang buah hati dalam buaian wanita itu. Senyum lemah pun turut hadir mengiringi kepedihan dalam luka.
Alina tahu sangat sangat mengerti bagaimana hancurnya seorang istri yang mengetahui suaminya menikah lagi. Terlebih ia sendiri yang mengizinkan dan menginginkan hal itu terjadi, serta sekarang ia tengah menggendong buah hati mereka.
Ada perasaan tidak enak menghantui diri Alina, tetapi, kenyataan sudah terjadi.
"Alina, Mbak minta maaf," ujar Yasmin lemah.
Tangan putih pucat itu terulur dan menggeman tangan kanan Alina yang bebas.
Pengantin baru itu pun tersentak dibuatnya. "Ke-kenapa Mbak Yasmin meminta maaf?"
"Karena seharusnya malam ini adalah malam pengantin kalian, tapi Mas Azam malah tidur bersama ku dan digantikan oleh Aqeela." Kembali lengkungan bulan sabit yang redup akan sinarnya hadir mengiringi wajah letih Yasmin.
Alina menggelengkan kepala beberapa kali. "Mbak tidak perlu minta maaf. Lagipula, pernikahan ini terjadi karena ada hitam di atas putih. Bukan tanpa cinta. Aku baik-baik saja. Lebih baik Mbak kembali ke kamar. Udara malam tidak baik untuk kesehatan. Aku juga senang bisa bersama Aqeela, dia putri yang cantik," ujarnya dengan senyum tulus. Yasmin bisa melihat keikhlasan yang terpancar di sana.
"Kamu ibu yang baik untuk Aqeela."
Alina hanya bisa tersenyum menimpalinya. Ia pun lalu beranjak dari duduk dan membantu Yasmin menuju lantai dua.
Ia memapahnya sangat berhati-hati, bagaikan mutiara yang harus dijaga dengan baik. Cacat sedikit saja maka nilainya akan turun. Itulah yang saat ini Alina pikirkan.
Jika sesuatu terjadi pada Yasmin mungkin Azam akan membencinya. Alina tidak ingin sampai hal itu terjadi. Dengan susah payah seraya menggendong Aqeela, ia berusaha membantu wanita itu.
Baru saja mereka mencapai pertengahan anak tangga, di ujung sana Azam berdiri seraya menatap keduanya. Alina terkejut bukan main kala sorot mata mengintimidasi begitu kental di arahkan padanya. Seketika ia menundukkan kepala menghindari tatapan itu.
"Kenapa kamu keluar, Sayang?" Azam berjalan cepat mendekat lalu mengambil alih Yasmin dari rangkulan Alina.
Hentakan yang lumayan kasar pada dirinya membuat Alina tersentak kaget. Ia tidak mengerti kenapa Azam bisa bersikap seperti itu. Ia pun mendekap erat tubuh bayi mungil tersebut. Alhamdulillah, tangisan Aqeela sudah mereda dan kini kembali tertidur nyenyak.
"Apa aku salah membawa istrinya kembali?" benaknya gamang.
"Aku haus," balas Yasmin dengan suara lirih.
"Kamu bisa membangunkan ku atau meminta Alina untuk mengantarkannya. Tidak usah pergi dari kamar. Ayo kembali tidur."
Entah sengaja atau tidak Azam merangkul mesra pinggang ramping istri pertamanya dan menjauhi Alina.
Bak patung yang baru selesai dipahat, wanita bermanik kecoklatan itu termangu di tangga. Kedua bola matanya terus memantau sepasang suami istri tersebut. Sakit. Perasaan itu tiba-tiba saja mencuat ke permukaan.
"Ya Allah kuatkan lah hamba," lirih Alina seraya semakin mengeratkan dekapan pada sang anak sambung.
Ia kembali teringat pada seminggu sebelum pernikahan. Azam menyodorkan selembar kertas yang berisi beberapa perjanjian di dalamnya. Di sana banyak sekali kata-kata yang membuat Alina hampir menyerah pada pernikahan. Namun, melihat kondisi Yasmin, ia tidak bisa menolak, hanya mampu membubuhkan tanda tangan sebagai pengabdian.
Sebelum kedua kakinya kembali melangkah, Azam lebih dulu keluar dari kamar. Langkah tegap yang terdengar nyaring itu mendatanginya lagi. Alina mendongak kala mendapati suaminya.
"Jangan sampai kamu menyakiti, Yasmin. Aku tidak akan memaafkan mu jika sampai itu terjadi. Ingat posisimu di rumah ini. Hanya sebagai ibu untuk Aqeela dan suster pribadi Yasmin. Mengerti!" Tekan Azam seraya mencengkram erat lengan kanan Alina.
"A-aku mengerti, Mas," cicitnya sendu.
"Baiklah, kembali ke kamarmu. Jangan harap kita bisa tidur bersama."
Setelah mengatakan itu Azam kembali menuju lantai dua. Dengan perasaan terluka Alina pun menuju kamarnya berada.
Di balik pintu ia menumpahkan semua kepedihan dalam dada. Bola matanya bergulir ke bawah melihat bayi mungil itu tengah terlelap. Luka baru tumbuh begitu saja. Alina berusaha meredam isak tangis yang berusaha mencuat.
"Ya Allah, hamba hanya minta kuatkan lah lagi," bisik nya pelan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 246 Episodes
Comments
Happyy
😥😥
2023-06-21
0
hoomano1D
mending miara suster, babu atau pembantu.. kek gini mah tdk manusiawi
2022-11-24
0
Mila Heriyana
kalau niatnya hanya untuk menjaga anak dan istrinya kenapa harus di nikahi, jd babysister aja kan lebih baik, jd tdk melukai perasaan orang
kejam azzam menjolimi istri 🤨🤔
2022-11-08
0