"Katanya, aku perempuan murahan."
Kalimat itu masih terngiang jelas di kepala Lili, bahkan seminggu setelah pertama kali ia mendengarnya.
Ia tidak sedang bercermin, tidak sedang bersolek. Malam ini, Lili hanya duduk diam di lantai kamar, punggungnya bersandar pada sisi ranjang, dan mata menatap kosong ke arah jendela. Hujan di luar jatuh pelan, seperti berusaha menenangkan amarah dan luka yang berkecamuk di dalam dirinya.
"Katanya, aku cuma penyanyi kafe yang bisa dibeli."
Ia tertawa kecil, pahit, dan getir. Jemarinya menggenggam ujung selimut dengan erat, seolah berusaha mencengkeram sesuatu yang bisa menahan perih di dada.
Lili tahu betul siapa dirinya. Ia bukan orang yang sempurna, juga bukan sampah seperti yang mereka tuduhkan, melainkan ia bekerja keras, bernyanyi dari panggung ke panggung, menyambung hidup tanpa mengemis pada siapapun.
Lantas apa salahnya? Mengapa orang-orang menghakimi dirinya seolah-olah, ia adalah seorang pendosa? Ani-ani? Ataupun, simpanan orang?
Suara pintu diketuk pelan, membuyarkan lamunan Lili. Tak lama kemudian, sosok ibunya–Rosa– dan ayahnya–Rudi– masuk dengan hati-hati.
"Lili,” suara Ibu terdengar pelan, nyaris berbisik. "Mama masak sup ayam. Turun, ya?"
Lili tak menjawab. Ia hanya menggeleng perlahan, menunduk semakin dalam. “Lili gak lapar, Ma.”
Rosa berjalan mendekat, lalu duduk di samping putrinya. Ia mengusap rambut Lili dengan lembut, lalu menarik tubuh anaknya ke pelukannya.
“Maaf ya, Mama sempat marah waktu itu,” bisiknya. “Tapi, Mama nggak tahan. Dengar mereka hina kamu kayak gitu, rasanya Mama nggak sanggup diem aja.”
Lili akhirnya membuka suara. Suaranya pecah, pelan, dan nyaris tak terdengar. “Aku juga nggak ngerti, Ma. Kenapa mereka sebenci itu sama aku? Aku nggak pernah ganggu hidup siapa-siapa.”
Rosa memeluk Lili lebih erat. “Kadang dunia memang kejam sama orang yang berbeda, Nak. Tapi, kamu nggak salah. Kamu kerja dengan jujur, kamu nggak nyakitin siapapun. Mama bangga punya anak seperti kamu.”
Lili menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang sudah siap jatuh. Namun, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia menangis dalam pelukan sang ibu. Bukan karena hinaan orang, melainkan karena ada seseorang yang tetap percaya padanya, walau dunia seakan ingin menjatuhkannya.
Rosa mengusap lembut punggung putrinya, lalu menyeka sisa air mata di pipi Lili dengan ujung jarinya. Senyum hangatnya mengembang, meski matanya masih sembab.
“Sekarang, makan dulu, ya? Mama dan Papa sudah lama tidak makan bersama kamu. Yuk, Nak,” ajaknya lembut.
Lili mengangguk pelan. Ia bangkit dari lantai dan bergantian memeluk ayahnya yang berdiri di ambang pintu, menunggu dengan senyuman tipis dan tatapan penuh kasih. Pelukan itu tak lama, tapi cukup untuk menghangatkan hati Lili yang selama ini terasa dingin dan sepi.
***
Pagi itu, Lili kembali menjalani rutinitas seperti biasa. Bangun siang, disemprot ibunya, mandi dengan lagu K-Pop menggelegar, lalu duduk di meja makan sambil menyuapkan nasi goreng ke mulut sambil menghafal lirik lagu.
Meski gosip itu belum sepenuhnya reda, ia belajar untuk tetap tersenyum. Dunia boleh seenaknya menilai, tetapi ia masih punya hidup yang harus dijalani. Malam ini, Lili harus bernyanyi di salah satu kafe cukup mewah di pusat kota. Hal itulah alasan utamanya untuk bangkit dari kasur pagi tadi.
Menjelang sore, Lili tiba lebih awal di lokasi. Ia mengenakan dress merah muda selutut, sedikit ketat, tapi masih sopan menurut standarnya. Wajahnya dirias ringan, rambutnya dikuncir ke samping. Penampilannya memang mencolok, tapi begitulah dirinya, ia tidak suka bersembunyi.
Setelah berbincang sebentar dengan pemilik kafe, Lili duduk di meja paling dekat dengan panggung sambil menyeruput es teh manis yang baru saja diantar. Ia sedang melihat catatan lagu di ponsel ketika seseorang melangkah masuk dari pintu utama.
Pria itu berjalan dengan langkah tenang, mengenakan kemeja putih polos yang digulung hingga siku, celana hitam yang rapi, dan membawa map besar di tangan kirinya. Wajahnya tenang, ekspresinya dingin, seolah semua orang di ruangan ini tak penting.
Lili secara refleks menoleh. Entah kenapa, dunianya terasa lambat sepersekian detik. Tinggi. Dingin. Ganteng. Tiga kata itu langsung melintas di benaknya.
"Siapa dia?” gumamnya pelan sambil mengikuti pria itu dengan pandangan mata. Pria itu duduk di salah satu meja dekat jendela, mengeluarkan laptop dari tas, lalu mulai sibuk sendiri tanpa memperhatikan sekitar.
Lili tersenyum kecil. Ia menyilangkan kaki, membetulkan letak duduknya, lalu sedikit nakal mengedipkan satu matanya ke arah pria itu.
Tak ada respons.
Pria itu bahkan tidak menoleh. Namun, lima detik kemudian, secara perlahan, ia mendongak. Tatapan matanya jatuh pada Lili, menelisik dari ujung rambut hingga ujung kaki. Bukan tatapan tertarik, bukan pula kagum, melainkan lebih seperti, jijik.
Andra Wijaya, desainer sekaligus pemilik merek pakaian pria yang baru saja menerima tawaran kerja sama dari pemilik kafe tersebut, tampak tidak menyembunyikan ekspresi enggannya.
Ia menarik napas pendek, lalu kembali menunduk pada layar laptopnya. Seolah Lili bukan siapa-siapa. Seolah keberadaannya mengganggu konsentrasi dunia.
Lili membeku sejenak. Ia mengernyit, merasa sedikit tersinggung. Namun, rasa penasaran justru tumbuh.
“Dasar cowok sombong,” bisiknya sambil menyeruput es teh. “Tapi, kok, aura misteriusnya agak bikin penasaran, ya?”
Ia tidak tahu, bahwa pria yang baru saja membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat itu adalah orang yang dalam waktu dekat akan menguji kesabarannya sampai batas terjauh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
AiniyaFazmi
aku ketinggalan jauh nie ehehhe
2022-02-19
1
Shidqi
Up
2022-02-05
2
Quora_youtixs🖋️
suka 😍
2021-09-27
2