Enam tahun berlalu. Kini, kedua putra Alula, Darren dan Darrel sudah tumbuh menjadi anak yang cerdas. Darren dengan sikap dingin dan segala kecerdasannya, dan Darrel dengan sikapnya yang mudah berbaur dan segala bakat yang dimilikinya.
"Bu! Coba lihat deh, gambalan Dallel bagus gak?" ucap Darrel, anak berusia enam tahun itu pada ibunya sambil memperlihatkan hasil gambarnya.
Alula tidak merasa terkejut lagi melihat gambaran Darrel yang begitu bagus dan indah. Baginya pemandangan itu sudah biasa. Namun, kali ini ia dibuat membeku saat melihat gambaran Darrel.
"Gimana Bu? Baguskan?" tanya anak itu semangat.
"Ini Ibu, aku, Dallen dan Ayah. Baguskan?" sambungnya, membuat setitik perih dalam hati Alula kembali muncul.
"Bu, Bu. Ibu kenapa bengong?" Alula terkesiap dan menatap Darrel lembut. "Ibu gak kena..."
"Makanya, pagi-pagi jangan ngerusuh!" ujar seorang anak laki dengan ekspresi dinginnya.
Bukannya merasa tidak suka, Darrel malah menghampiri anak yang berwajah sama dengannya.
"Dallen! Coba lihat! Bagus gak?"
Ya, anak lelaki tersebut adalah Darren, kembaran Darrel. Sudah menjadi kebiasaan sifatnya yang dingin dan agak irit bicara tersebut.
Darren berdecak mendengar panggilan adik kembarnya itu. "Ck. udah enam tahun, masih gak bisa sebut R." Dumel Darren, membuat Darrel menyengir lebar.
Darren meraih gambar yang diberikan Darrel padanya. Ia mengamati gambar tersebut, lalu mengembalikannya pada Darrel. "Kamu jagonya. Ayo ke sekolah!" kata Derren yang langsung meninggalkan Darrel.
Anak itu memasukkan gambarannya kedalam tas, lalu berlari menyusul Darren. Di depan, sudah ada Alula dan Darren yang menunggunya. Setelah Darrel sampai, ketiganya berjalan menuju depan gang untuk memperoleh taksi.
Setelah mendapatkan taksi, ibu dan anak tersebut langsung menaikinya. Sekitar lima belas menit perjalanan, Alula bersama Darren dan Darrel tiba di taman kanak-kanak, tempat Darren dan Darrel bersekolah.
TK tempat Darren dan Darrel belajar bukan TK elit. Hanya taman kanak-kanak biasa yang berada satu lingkungan dengan sekolah dasar.
"Kalian hati-hati ya?! Ibu pulang dulu. Nanti ibu jemput lagi kalau udah pulang." tutur Alula sambil menyodorkan tangannya untuk di cium kedua putranya.
"Iya bu," balas Darrel
"Ok." balas Darren.
Alula tersenyum dan mengelus pucuk kepala kedua anaknya. "Ren, jagain adik kamu ya? Ibu pulang dulu." Anak itu tidak menjawab, hanya gerakan kepala yang mengangguk saja yang ia tunjukan.
Alula kembali memasuki taksi dan melambaikan tangannya. Hanya Darrel yang membalas melambai dengan senyum yang merekah. Sementara Darren, ia hanya memandang Ibunya dengan sedikit senyum di wajah.
"Eh, itu mama kalian?" tanya seorang gadis kecil, yang entah datang dari mana.
Mendengar sapaan itu, keduanya berbalik. Darrel tesenyum padanya. "iy..."
"Bukan urusan kamu!" jawab Darren dingin, kemudian menarik tangan Darrel menuju kelas.
"Len, kenapa di talik tangan ku?" Bocah lelaki itu berusaha melepaskan tangannya dari Darren, dan berhasil.
"Kenapa Asya gak boleh tau Ibu kita?" Tanya Darrel, menyebut nama anak gadis yang bertanya pada keduanya tadi.
Darren mendengus kesal. Kenapa kembarannya ini sangat cerwet. Tanpa menjawab, Darren meninggalkan Darrel, berjalan melewati halaman sekolah dasar karena tempat mereka berada paling ujung kelas tersebut.
Darrel berlari menghampiri Darren yang semakin menjauh. Ia menghembuskan nafas lega saat Darren berhenti dan malah memperhatikan papan informasi.
"Hah... hah... Jahat kamu Len!" ucap Darrel dengan nafas tersengal.
"Lihat!" suruh Darren tanpa mengalihkan pandangan dari papan informasi.
Darrel mendongak, mencoba membaca tulisan di papan informasi. Jika anak-anak seusia mereka akan mengeja, Darren dan Darrel tidak. Keduanya membaca dengan sangat lancar.
"Lomba melukis tanggal 28 dengan total hadiah 50 juta. Batas akhir pendaftaran tanggal 27."
Darrel mengalihkan pandangan menatap Darren yang juga menatapnya.
"Ikut Len?" Darren mengangguk.
"Pulang nanti daftar!"
Setelah membaca pengumuman di papan informasi tersebut, keduanya menuju kelas.
***
Tepat pukul sepuluh, murid taman kanak-kanak di pulangkan. Darren dan Darrel berjalan santai menuju gerbang, menanti jemputan.
"Berapa 267 dikali 23?" tanya seorang Bu guru pada murid sekolah dasar kelas 4 yang sedang di ajarkannya.
"6.141," Bu guru tersebut menoleh. Bukan. Bukan siswanya yang menjawab, melainkan Darren yang sedang berdiri di ambang pintu dengan Darrel di sebelahnya.
"287 dikali 54?" Tanyanya sembari mendekat pada keduanya.
"15.498," jawab keduanya serentak. Sontak, Bu guru tersebut melongo tak percaya. Dua anak 6 tahun menjawab dengan mudah pertanyaannya tanpa meleset.
Sebelum ibu itu semakin dekat, Darren menarik tangan Darrel, sama-sama berlari menjauh menghindari pertanyaan-pertanyaan lain dari Ibu tersebut.
"Len, itu paman Gio." ucap Darrel menunjuk seorang lelaki yang terlihat bingung.
Darren mengikuti pandangan kembarannya. "Paman Gio!" panggil Darren.
Lelaki itu menghampiri mereka. "ya ampun, paman pikir kalian hilang." ucap Gio seraya tersenyum pada keduanya.
"Anterin kita ke tempat XX!" ucap Darren datar, membuat kening Gio mengerut.
"Ngapain ke sana?"
"Kita mau daftal lomba melukis paman." Gio mengulas senyum. Entahlah, ia tidak tega menolak permintaan kedua anak tersebut.
"Baiklah tuan-tuan, saya akan mengantarkan kalian kemana pun kalian inginkan." Kata Gio, berhasil membuat Darrel terkekeh kecil, sedangkan Darren hanya tersenyum tipis.
Sangat tipis sampai orang yang melihatnya tak akan berpikir jika ia tersenyum. Gio melajukan mobilnya menjauh dari sekolah. Lelaki itu tak mampu mengabaikan kedua anak tersebut. Ada ikatan lain antara mereka. Ikatan yang tak mampu ia jelaskan meski pada Alula, sahabatnya selama lima tahun ini.
Mobil Gio melesat cepat. Beberapa menit kemudian mobil hitam itu berhenti tepat di tempat yang dimaksudkan Darren dan Darrel. Mereka masuk menuju ruangan pendaftaran.
"Maaf nona, apa pendaftaran lomba melukis masih dibuka?"
"Iy-iya. Pendaftarannya masih dibuka. Silahkan isi formulir ini." Kata perempuan itu gelagapan. Ia gugup saat berhadapan dengan lelaki tampan seperti yang ada di depannya.
"Darren! Darrel! Siapa yang akan daftar? Ayo isi formulirnya." Ujar Gio sembari menyodorkan formulir yang diberikan.
Hah? Anak kecil? Duda tampan. Batin perempuan tersebut.
Darrel meraih formulir dan mulai mengisinya. Darren memperhatikan Darrel dan sesekali matanya melirik perempuan di depannya, yang diam-diam mencuri pandang pada Gio.
Gio berdiri dengan wajah menahan sesuatu. Tak tahan, ia berjongkok dan membisikkan sesuatu pada Darren. Anak itu mengangguk mengiyakan. Segera, ia menjauh dari kedua anak itu.
Perempuan tersebut terus memperhatikan Gio sampai lelaki tersebut menghilang dari pandangannya.
"Kamu anak kecil ingin mendaftar?" tanya perempuan tersebut dengan senyuman meremehkan.
"Kenapa? Tidak ada batas usia di pengumuman itu." ujar Darren dingin. Dan jangan lupakan tatapan tajamnya, seakan menghunus lawan bicaranya.
Perempuan tersebut terdiam. Ucapan merendahkannya tak mempan pada seorang bocah kecil.
"Ini tante folmulilnya!" perempuan itu meraih formulir dari tangan Darrel dengan wajah kusut.
Tanpa banyak bicara, kedua anak itu segera menjauh. Langkah mereka berhenti saat tak sengaja melihat seorang lelaki.
"Ya Tuhan, wajahnya milip aku dan Dallen," batin Darrel.
"Dia mirip aku dan Darrel." Batin Darren.
Keduanya saling bertatap. Tanpa ada yang memerintah, keduanya dengan kompak menghampiri lelaki tersebut. Namun keduanya harus menelan rasa kecewa. Lelaki tersebut lebih dulu masuk mobil dan melaju meninggalkan mereka.
"Hei! Sedang apa kalian di perkiran sendirian?" Suara bas seseorang membuat Darren dan Darrel menoleh. Lelaki yang tertangkap penglihatan Darren dan Darrel itu terkejut melihat keduanya.
"Ya Tuhan! Kenapa wajah kedua bocah ini sangat mirip dengan Gara? Jangan-jangan mereka anak Gara dengan gadis malam itu?!" Batin lelaki tersebut yang tak lain adalah Edo.
"Kenapa paman?" tanya Darren, risih dengan tatapan Edo.
"Hah? Enggak. Gak kenapa-kenapa." Edo menjeda ucapannya. "Emm... kalian lagi tungguin siapa? Mama kalian?"
"Bukan mama, tapi Ibu! Kita lagi nungguin paman. Ibu gak jemput, Ibu kelja."
"Kerja apa? Dimana?"
"Ish, paman kepo! Ibu kelja di... hmmppphh" ucapan Darrel terpotong oleh telapak tangan Darren yang membekap mulut nya.
Darren sudah berada di ambang batas kekesalan, melihat mulut cerewet adiknya yang asal ceplos pada orang asing di depan mereka. Dan dengan tak berbedosanya Darren membekap mulut Darrel.
"Kamu bisa diam gak?" bisik Darren, mengeraskan rahangnya.
Dengan susah payah Darrel menarik tangan Darren dari mulutnya. Kekuatan kakak kembarnya itu tak bisa diremehkan.
"Hah... Hah... Kamu mau bunuh aku?" tanya Darrel dengan nafas tersengal, setelah berhasil melepaskan tangan Darren.
Darren tak menjawab. Hanya wajah datar tak bersalahnya yang ia tunjukkan. "Sudah! Kalian jangan berantem!" lerai Edo. Lelaki itu merogoh saku celananya, mengeluarkan selembar kartu dari dompetnya.
"Kalian lihat paman tadi yang masuk mobil warna putih?" Darren dan Darrel mengangguk.
"Nah, itu bos paman. Ini kartu nama paman. Kalau ibu kalian butuh kerja, langsung ke alamat ini. Atau kalian boleh daftar melalui link ini. Di tempat paman sedang mencari tenaga kerja baru." ujar Edo panjang lebar, memberikan kartu namanya pada Darren.
Kedua anak itu hanya mengangguk. Darren menyimpannya dengan baik. Terlintas sebuah ide dalam otaknya. Ide dengan memanfaatkan kartu nama orang asing itu.
Setelah kepergian orang asing tersebut, paman Gio kembali dari urusannya. Darrel tak bertanya lagi, ia sudah mengetahui alasan paman Gio pergi dari Darren. Tak berapa lama, mobil mereka melesat meninggalkan tempat itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 144 Episodes
Comments
Nur Dafa
mampir
2023-12-04
0
devaloka
yg penting niat 🤣
2023-03-18
2
NUR(V)
semoga bertemu lula dan anank2nya dengan gara
2022-05-10
3