Gara duduk dikursi kebesarannya sambil mengamati beberapa dokumen ditangannya. Ia tidak mengerti dengan jalan pikiran Ayahnya. Tapi, ia juga tidak peduli dengan keputusan yang Ayahnya ambil. Yang harus ia lakukan sekarang adalah berpikir bagaimana mengurus perusahaan Ibunya yang sudah diserahkan Ayahnya semalam.
Lama bergelut dengan pikirannya, tiba-tiba pintu ruangannya terbuka. Gara abai dan terus fokus pada dokumen ditangannya. Dia sudah tahu siapa yang mengunjunginya. Jika bukan sahabatnya Edo, siapa lagi. Tidak ada yang berani bertemu dengannya jika bukan urusan kantor.
"Hai bos. Gimana semalam, nyenyak?"
Gara tak menjawab, ia hanya menatap sebentar dan kembali fokus pada dokumennya.
"Kau tidak kelihatan setelah bertemu dengan ku semalam. Apa yang kau lakukan?" Tanya Edo dengan menaik turunkan alisnya, berusaha menggoda Gara.
"Diamlah Edo!" balas Gara masih fokus pada dokumennya.
"Aku hanya ingin tahu, di kamar mana kau tidur semalam? Sepertinya kau begitu nyenyak sampai Ayah mu harus menunggu."
Gara berdecak kesal dalam hati. Mungkin dengan menjawab pertanyaannya, pria itu akan segera pergi.
"Di kamar 005. Sekarang pergilah dari sini!"
Bukannya pergi, Edo malah semakin mendekati Gara. Matanya membulat, seakan tidak percaya dengan jawaban Gara.
"Kamu serius Gar?"
Gara mengalihkan atensinya dan menatap tajam Edo. Sementara yang ditatap, semakin penasaran dengan kebenaran ucapan Gara.
Gara melepaskan dokumen yang ia pegang, dan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. "Apa mau mu?" tanya Gara mulai jengah dengan sahabatnya itu.
"Aku tidak mau apa-apa. Aku hanya ingin tahu, jika benar kamu dikamar itu, apa kau melakukan sesuatu pada gadis itu?"
Mendengar ucapan Edo mengenai gadis, Gara kembali teringat gadis semalam, yang hilang entah kemana setelah ia usai bertemu Ayahnya. Namun setelah itu, Gara tersadar dan menatap tajam Edo.
"Katakan! Apa yang kau lakukan pada gadis itu? Apa kau yang memberinya obat perangsang sialan itu, hah?" teriak Gara sembari mencengkeram kerah kemeja yang Edo kenakan.
Membayangkan perbuatan Edo pada gadis itu membuat emosinya naik begitu saja.
"Ya, aku yang melakukannya. Tapi..." belum sempat Edo menyelesaikan ucapannya, tubuhnya sudah terhuyung kesamping akibat pukulan Gara.
Edo bangun dan mengusap sudut bibirnya yang berdarah. "Apa yang kau lakukan?" seru Edo tak terima.
Gara tak menjawab. Ia kembali mencengkram kerah kemeja Edo. Bahkan kemeja dan jas Edo sudah tidak beraturan.
"Apa yang aku lakukan, hah? Kau tanya apa yang aku lakukan? Apa kau tidak berpikir sebelum melakukannya? Gara-gara kamu, aku membuatnya menderita. Aku mengambil kehormatanya. Aku merenggut kesuciannya." Teriak Gara tepat di wajah Edo.
Edo tercengang, selama ia bersahabat dengan Gara, ini kali pertama Gara marah besar padanya. Edo meraih tangan Gara dan melepaskannya dari kemeja yang ia kenakan.
"Aku minta maaf. Aku benar-benar khilaf semalam. Aku akan berusaha menemukannya untuk mu."
"Pergilah! Temukan dia dan bawa padaku."
"Baiklah. Tapi ingat, hilangkan sisi iblis mu itu, jangan sampai ia takut dan kabur." ujar Edo, berusaha mencairkan suasana lalu melengang begitu saja. Benar-benar tidak ada takutnya sama sekali.
***
Sejak kejadian malam itu, sudah hampir tiga hari Alula tidak kembali ke rumah. Entahlah, ia merasa sangat malu dan bersalah untuk kembali ke rumah.
Hujan turun semakin deras. Dengan langkah gontai Alula menuju rumah dan mengetuk pintu. Tiga kali ketukan, pintu rumah terbuka dan menampilkan wajah kakak-nya, Elisa.
"Pulang juga kamu?" kata Elisa dengan senyum mengejeknya.
Alula tak membalasnya. Ia menerobos masuk begitu saja tanpa menjawab apapun. "Heh! Kamu dengar gak aku ngomong, Lula?" teriak Elisa, namun di abaikan begitu saja. Dia tidak peduli dengan semua ocehan kakak-nya atau siapapun itu. Yang jelas, dia ingin segera ke kamar, menyembunyikan dirinya.
Mendengar kabar jika Alula sudah kembali, Zarfan Ayah Alula, segera menemui putrinya.
"Kemana saja kamu tiga hari ini, nak? Ayah khawatir sama kamu." Suara lembut itu membuat Alula segera menghapus air matanya dan menoleh. Senyum tulus terpancar dari wajahnya. Gadis itu memeluk sang ayah dan mengajaknya duduk.
"Lula gak kemana-mana. Lula hanya bantuin ibu panti. Handphone Lula, Lula matiin biar gak ada yang ganggu waktu Lula sama anak-anak panti." Alibi Lula, menampakkan senyum palsunya yang terlihat begitu tulus di mata Ayah-nya.
Zarfan tersenyum dan mengusap lembut kepala putrinya. "Syukurlah. Ayah pikir terjadi apa-apa sama kamu. Untung Elisa mencegah ayah lapor polisi."
"O ya nak, dua hari lalu ada yang datang mencari mu. Tapi mereka kembali setelah tahu kamu tidak ada di rumah." Sambungnya.
Alula mengernyit heran dan berpikir keras. Ia tidak memiliki masalah apapun selain kejadian malam itu. Tidak mungkin itu Rendra atau sahabatnya, Uli. Jika benar mereka, kenapa ayahnya tak mengenali mereka.
"Sudah, tidak perlu berpikir. Jika mereka benar-benar ingin bertemu dengan mu, mereka akan kembali." ucap ayahnya menenangkan.
Setelah obrolan panjang tersebut, pak Zarfan meninggalkan Alula, kembali ke kamarnya. Sementara Alula, ia berusaha memejamkan mata, berusaha melupakan semua yang menimpa dirinya.
***
Dua bulan berlalu. Alula sudah menyelesaikan sekolahnya, tinggal mendaftar kuliah dan mencari pekerjaan sampingan.
Orang yang dikatakan Ayahnya tempo hari pun, tak pernah datang lagi menemuinya. Ia tak ambil pusing dan fokus dengan tujuannya.
Pagi ini mereka makan bersama. Hubungannya dengan Elisa dan ibunya masih sama, kurang baik. Dan hubungan Elisa dan Rendra, terlihat semakin mesra. Ada setitik rasa sakit dalam hati Alula, namun ia berusaha untuk menerima.
"Ini nak, Ayah ambilkan ayam mentega kesukaan mu." ujar pak Zarfan, memindahkan ayam mentega ke piring Alula.
Bukannya senang, reaksi Alula membuat ketiga pasang mata itu menatap heran. Alula merasakan mual yang teramat sangat. Tanpa pikir panjang, gadis itu berlari ke toilet dekat dapur dan menumpahkan isi perutnya disana.
"Lula! Lula! Buka pintunya, ini Ibu." panggil Bu Disa, menggedor-gedor pintu toilet.
Dengan tubuh lemas dan wajah yang terlihat pucat, Alula membuka pintu dan berdiri tepat di hadapan Ibu-nya dan Elisa.
"Kenapa kau muntah-muntah? Apa masakan ku tidak... Apa kau hamil?" Bu Disa menjeda ucapannya, kemudian terpekik mengucapkan kalimat terakhirnya.
Elisa dan Alula sama kagetnya mendengar praduga Bu Disa.
"H-hamil?" ujar Alula terbata. Ia memegang perutnya dan seketika, kilas balik mengenai kejadian malam itu terputar di otaknya. Setetes air matanya jatuh mengenai pipi. Hal itu semakin menguatkan dugaan ibunya.
"Kapan kau berhenti datang bulan?" pertanyaan bu Disa menyadarkan Alula dari lamunannya.
"Dat... datang bulan? Bulan lalu, dan ak–aku belum datang bulan bulan ini. Tang–tanggalnya sudah lewat."
Tanpa pikir panjang, bu Disa menarik tangan Alula dan menyeretnya ke ruang keluarga, dimana sudah ada Zarfan disana.
"Ada apa ini bu?" tanya pak Zarfan, diabaikan begitu saja oleh Bu Disa.
"Elisa, belikan tespack!" tanpa banyak bicara, Elisa segera mengendarai mobilnya ke apotik.
"Bu, sebenarnya ada apa ini?"
"Ayah tidak perlu ikut campur! Cukup diam dan lihat hasilnya nanti." jawab Bu Disa, menatap tajam Alula.
Tak butuh waktu lama, Elisa kembali dengan tespack di tangannya. Bu Disa kembali menarik Alula ke toilet, di ekori Elisa.
Wajah Alula pucat pasi mengetahui hasil tesnya. Dua garis yang mendakan kebenaran atas dugaan ibunya. Air matanya kembali luruh. Entah apa yang harus ia jelaskan pada Ibu dan Ayahnya.
Dengan tangan gemetar, Alula menyerahkan taspack tersebut pada Ibunya. Tak lama, wajah Alula terlempar ke kiri karena tamparan Ibunya.
"Dasar anak tidak tahu diri. Apa aku menyuruhmu menjual kehormatan mu? Hah?" geram Bu Disa, menarik kasar tangan Alula.
"Aku pikir, kau gadis polos. Ternyata, kau lebih murah dari seorang ******." Cibir Elisa sambil terus mengekori Alula dan ibunya.
Pak Zarfan yang melihat Alula ditarik kasar oleh istrinya pun berdiri. Ia bingung, kenapa istrinya terlihat begitu kejam pada Alula.
"Sebenarnya ada apa ini?"
"Ayah mau tau? Ini yang dilakukan anak kesayangan ayah." Geram Bu Disa, memberikan tespack ke pak Zarfan.
Bagai disambar petir, tubuh pak Zarfan terpaku dengan alat tersebut yang masih digenggamannya. Ia mendongak dan Plak...
Satu tamparan mengenai pipi Alula. Gadis itu hanya bisa menerima dan menangis.
"Keluar dari rumah ini!" ucap pak Zarfan dingin, sontak membuat ketiganya menatap kearahnya.
"A-ayah," lirih Alula dengan air mata yang terus membanjiri, namun di abaikan begitu saja.
Zarfan tak peduli dan berjalan melewati mereka menuju kamarnya.
"Ayah, maafin Lula yah!" teriak Alula, membuat ayahnya berhenti.
"Silahkan pergi dari sini! Saya tidak suka serumah dengan orang asing."
Tubuh Alula menegang. Dadanya seakan terhimpit batu besar, membuat ia sulit bernafas. Hatinya terluka. Ayahnya sendiri mengusirnya, menganggap dirinya orang asing. Benar yang pepatah katakan, panas setahun dihapuskan oleh hujan sehari.
Tanpa paksaan Kakak dan Ibunya, Alula berjalan keluar, meninggalkan rumah yang penuh kenangannya bersama keluarga. Berharap dalam hati agar Ayah kembali memanggil dan merengkuhnya dalam pelukan hangat. Tapi semua hanya hayalannya saja. Bahkan sampai ia melewati pagar rumah pun, tidak ada seorang pun yang memanggilnya untuk kembali
***
Sudah beberapa hari Alula luntang-lantung di jalanan. Dan beberapa hari itu juga, Alula berusaha untuk menggugurkan kandungannya. Namun usahanya sia-sia. Bayi yang dikandungnya seakan tidak terpengaruh dengan segala usahanya itu. Dan hari ini, Alula akan mencoba lagi, bahkan berniat untuk mengakhiri hidupnya.
Alula bejalan pelan di tengah jalan, berharap agar ada mobil yang menabraknya. Saat sebuah mobil melaju cepat dan hendak menabraknya, tiba-tiba tangan Alula ditarik seseorang sehingga keduanya jatuh ke sisi jalan.
"Hei, nak! Apa yang kau lakukan? Apa kau ingin melenyapkan nyawamu sendiri?" tanya seorang wanita paruh baya.
"A-aku tidak ingin hidup lagi. Aku tidak sanggup jika dibenci keluarga ku." jawab Alula, masih sesenggukan.
Wanita itu bangkit dan menarik Alula menuju tempat yang lebih nyaman.
"Ayo ceritakan sama Ibu." ujar wanita tersebut saat mereka sudah duduk di kursi panjang halte.
Mendapati raut tak siap Alula, ibu tersebut pun tersenyum. "Sudah, kalau belum siap cerita sama Ibu, gak apa-apa."
Alula yang merasakan ketulusan dari senyum yang Ibu tersebut terbitkan, Alula pun menceritakan semua kejadian yang menimpanya.
"Nak, setiap masalah pasti ada akhirnya. Tidak perlu kamu takut, apalagi sampai berusaha untuk bunuh diri? Itu tidak baik."
"Tapi bu, keluarga Alula udah benci sama Alula."
Ibu tersebut tersenyum.
"ingat nak! Tidak semua orang itu sama. Jika ada yang membenci mu, pasti ada yang menyayangi mu juga."
Alula menarik nafas panjang dan menghembuskannya. "Lula udah buat kesalahan bu. Lula udah merusak semuanya."
"Nak! Setiap manusia punya kesalahan. Dan setiap manusia juga memiliki kesempatan kedua. Jika kesempatan kedua tidak diberi oleh manusia, ada kesempatan kedua yang dikasih Tuhan."
"Kamu tau kenapa kamu selalu gagal untuk menggugurkan janin mu?" Alula menggeleng.
"Itulah kesempatan kedua yang diberikan Tuhan. Keluargamu tidak memberikan kesempatan kedua buat kamu memperbaiki kesalahan. Tapi tuhan memberikannya pada mu, dengan cara kamu merawat anak-anak mu. Tuhan tak mengindahkan kamu untuk melenyapkan mereka, karena tuhan tidak ingin kamu membuat kesalahan untuk kedua kalinya."
Mendengarnya, hati Alula tertohok. Perkataan ibu itu benar-benar menampar hatinya. Sekarang ia sadar, ia sudah salah kerena berusaha melenyapkan janinnya. Ia berjanji akan selalu menjaga anaknya dengan baik.
"Maafkan ibu nak!" batin Alula sembari mengelus perutnya yang rata.
Semenjak hari itu, Alula mulai menjalani hidupnya dengan baik. Ia mencari kontrakan yang cukup untuknya dan anaknya nanti. Uang sisa tabungannya juga, ia gunakan mendaftar kuliah. Ia juga mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuban hidup.
Sampai suatu saat, di sebuah rumah sakit, terdengarlah suara tangis bayi yang begitu nyaring. Membuat air mata dan senyuman terbit bersamaan di wajah Alula yang penuh peluh setelah melahirkan bayi kembarnya.
"Anak Ibu, Derren Alvaro," ujar Alula, mencium pipi anak yang ada dalam gendongannya. Lalu, beralih pada bayi satunya yang di gendong suster, "Anak Ibu, Darrel Alvero." Sambunya, lalu mencium pipi bayi tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 144 Episodes
Comments
Inda Hana Parera
suka kalau tentang anak Genius pasti akan mampir untuk baca 😄👍
2022-05-31
2
Christine Pai
saya suka cerita anak kembar
2022-05-18
1
Meylin
waduhhh ko dah brojol lagi 🤔
2022-04-03
1