AWET MUDA ITU ADALAH KUTUKAN

Suasana ruang rapat gelap dan suram. Bukan karena penerangannya yang meredup. Bukan karena bau asap cerutu yang berseliweran di udara. Bukan juga karena hujan di luar yang membuat suhu di dalam ruangan terasa lembab. Tapi karena aura. Aura para peserta rapat yang gelap dan suram. 

Sudah dua jam mereka mengadakan rapat. Satu jam awal rapat dipenuhi oleh suara bentakan dan gebrakan-gebrakan meja. Setengah jam berikutnya tensi rapat menurun namun mereka belum menemukan titik terang dari pembahasan mereka. Dan sudah sekitar setengah jam mereka hanya bisa diam sambil menikmati cerutu. Namun ketegangan tidak berkurang sedikitpun. Tentu saja, mereka sedang membahas tentang sesuatu yang sangat penting. Jika mereka gagal menemukan solusinya, maka perang besar akan terjadi.

“Tak ada yang bisa kita lakukan selain mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan mereka,” kata seorang pria berbadan besar dengan bekas luka di wajahnya.

Sedari tadi pria itu adalah peserta rapat yang paling sedikit berbicara. Ia hanya memperhatikan dengan seksama setiap perkataan para peserta lainnya. Dan kini, ketika ia mengangkat suara, wajah para peserta lainnya menegang. Wajar, karena pria itu memiliki jabatan tertinggi di ruangan itu dan tidak ada yang berani membantahnya. Jika ia katakan perang akan terjadi, maka perang benar-benar akan terjadi.

Hades, julukan pria itu, dan tidak ada satupun anggota organisasi yang mengetahui nama aslinya. Dia adalah pemimpin tertinggi Dunia Bawah, salah satu bagian Chaos yang bertugas mengerjakan ‘pekerjaan kotor’ organisasi. ‘Pekerjaan kotor’ yang dimaksud adalah pembunuhan atau yang mereka beri istilah ‘penghakiman’. Korban mereka adalah para musuh, pengkhianat dan orang-orang yang secara langsung atau tidak berpotensi membahayakan organisasi. Bukan hanya membunuh, mereka juga harus membuat pembunuhan itu seolah-olah tidak ada kaitannya dengan organisasi. Tak heran jika anggota Dunia Bawah bukan hanya lihai membunuh, tapi memiliki intelejensi yang tinggi.

Selain Hades, ada tiga orang penting di Dunia Bawah yang membantunya memutuskan siapa yang layak untuk ‘dihakimi’ sehingga dijuluki ‘Hakim Dunia Bawah’. Mereka adalah Aiakos, Minos dan Rhadamanthys, para peserta rapat yang saat ini gagal menemukan solusi untuk masalah yang sedang dihadapi Chaos.

Seminggu yang lalu tersiar kabar kematian cucu pimpinan De Duivel. Menurut keterangan seorang saksi, anak itu tewas dibunuh di gedung dekat sekolahnya. Belum diketahui siapa pembunuhnya, namun tuduhan langsung diarahkan kepada Chaos mengingat beberapa waktu yang lalu terjadi perselisihan besar mengenai regulasi migas yang memengaruhi pemasukan kedua organisasi.

Dan seperti biasa, Dunia Bawah diberi tugas untuk menemukan dan melenyapkan cucu sang pimpinan De Duivel, meskipun itu anggota Chaos sendiri. Deadlinenya sudah mutlak, yaitu sebelum De Duivel berhasil melakukannya. Dunia Bawah harus membersihkan nama baik Chaos.

Tiba-tiba pintu ruang rapat terbuka. Mereka terkejut karena tidak ada satupun yang boleh memasuki ruangan itu, apalagi ketika rapat dilaksanakan. Kecuali orang yang kedudukannya sama atau lebih tinggi dari Hades.

“Bolehkah aku masuk?” seorang wanita cantik mengintip dari balik pintu dengan wajah tersenyum. Tidak ada rasa bersalah sedikitpun karena melanggar salah satu aturan Hades. Tentu saja, wanita itu adalah Persephone, sosok yang berhasil membuat Hades tergila-gila.

“Tentu saja, Sayang,” kata Hades lembut. Para Hakim Dunia Bawah hanya bisa diam. Hanya ketika ada wanita itu mereka bisa melihat salah satu tokoh legendaris Chaos yang paling ditakuti dan terkenal karena kekejamannya itu menunjukkan sisi lembutnya. Ya, itu karena Persephone.

“Masih belum menemukan pembunuh cucu si tua bangka itu?” tebak Persephone yang dijawab dengan anggukan suaminya. 

“Kapolres sialan itu. Ia tidak pernah bisa diajak kerjasama. Dan ia menugaskan polisi yang sama keras kepalanya dengan dirinya untuk menangani kasus ini sehingga identitas saksi sangat dirahasiakan. Bahkan tidak ada kabar sama sekali dari orang kita yang ada di LPSK,” gerutu Aiakos.

“Kalau begitu, berhenti mencari di kepolisian. Carilah petunjuk di tempat lain. Di sekolah si korban, misalnya,” kata Hades.

Ide yang sederhana, tentu saja mereka memikirkannya. “Kami sudah mencari tahu di lingkungan sekolah. Tidak ada petunjuk,” kata Minos.

“Itu karena kalian mencarinya sebagai orang luar. Kasus ini pasti ada kaitannya dengan sekolah tersebut. Melihat dari lokasinya, kemungkinan besar saksi adalah salah satu siswa di sana. Kita harus menyelidikinya dari dalam.”

“Apakah kita harus mengirim Trio Cer-Be-Rus untuk menyamar ke sekolah itu?” tanya Aiakos.

“Jangan mereka!” kata Hades dengan nada meninggi. Wajah ketiga Hakim menegang. Mereka tahu, meski selalu mengandalkan mereka, Hades tidak bisa menutupi ketidaksukaannya dengan trio yang disebutkan Aiakos tadi. Hades menjelaskan, mengingat cucu pemimpin De Duivel bersekolah di sana, pasti banyak orang De Duivel yang juga berkeliaran di sekolah itu. Mereka harus mengirim orang yang jarang menampakkan wajahnya, terutama di depan orang-orang De Duivel. Namun orang itu tetap harus lihai dalam pekerjaan ini.

“Dan yang terpenting, dia harus muda. Karena dia harus menyamar sebagai murid.”

“Murid? Bukankah jika menyamar sebagai guru akan lebih mudah?”

“Ada satu kelemahannya: sumber informasi. Jumlah siswa lebih banyak dibandingkan dengan guru. Lagipula siswa lebih terbuka dengan teman sebayanya dibandingkan dengan gurunya,” terang Hades yang dijawab dengan anggukan rekan-rekannya.

“Lalu siapa kandidat yang paling tepat untuk itu?”

Tiba-tiba wanita cantik yang sejak beberapa menit lalu duduk manis di samping Hades mengangkat tangannya pelan. Wajahnya menunjukkan senyuman manis yang mengandung keraguan bercampur keyakinan.

“Kalau boleh usul, aku punya kandidat yang tepat.” 

*          *         *

Langit telah gelap beberapa jam yang lalu. Namun Lamia belum bosan memandang ke luar jendela. Bahkan ia semakin mengagumi indahnya langit malam penuh bintang. Sesekali ia mengintip ke bawah, kembali ia takjub melihat cahaya-cahaya kecil yang menjalar bak lukisan.

Lamia memperhatikan sekitarnya. Hampir seluruh penumpang terlelap. Seorang pramugari berkeliling memastikan tidak ada penumpang yang mengalami ketidaknyamanan dalam bentuk apapun. Sebuah koran dengan tajuk utama ADA BAU DI PROYEK STADION BARU terlipat rapi di kantung belakang kursi pesawat yang ada di hadapannya. Kemudian Lamia mengeluarkan secarik foto. Ia memandangnya dalam sambil menyunggingkan senyum. Tanpa ia sadari matanya mulai berkaca-kaca.

“Siapa itu? Adikmu?” terdengar sebuah suara mengejutkan Lamia. Ternyata seorang wanita tua yang sedari tadi duduk di sampingnya. Lamia mengira wanita itu sudah terlelap.

“Kalau kukatakan ini anakku, apakah Nenek akan percaya?” Lamia balas bertanya.

Sang nenek hanya tersenyum mendengar respon nona cantik di sampingnya itu. Dengan lembut nenek itu berkata sambil mengelus pundak Lamia, “Kamu terlalu muda untuk menjadi ibunya.”

Lamia tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sambil memandangi sang nenek yang menyandarkan kepalanya ke belakang dan menutup matanya bersiap kembali terlelap.

Tak lama kemudian Lamia ikut merebahkan kepalanya, namun matanya tetap terbuka. Ia kembali memandang foto itu, foto anak lelakinya di acara penerimaan siswa baru. Sebenarnya ia ingin mengikuti acara itu, namun terhambat karena pekerjaan. Untung saja ibunya bisa menggantikannya dan mengirim foto sang anak padanya. 

Kembali dugaan yang sering mengganggunya datang, bahwa Dion membencinya. Tentu saja, pekerjaan sebagai travel writer membuatnya berkeliling dunia meninggalkan buah hatinya berdua dengan ibunya. Banyak momen penting dalam hidup sang anak yang harus ia lewatkan. Ia hanya bisa berada di sisi sang anak paling lama dua hari dalam enam bulan. 

Bahkan saat ini, meski ia kembali ke tanah air, kemungkinan besar dirinya tidak akan bisa langsung bertemu dengan Dion. Tugas besar menunggunya dan ia harus benar-benar menuntaskannya sampai ia tidak dibutuhkan lagi.

Puas membayangkan permata hatinya, Lamia bersiap untuk membayangkan pengalaman menyenangkannya di Kolombia selama dua bulan terakhir. Ada uniknya sungai Caño Cristales, ramahnya pulau San Andres, bersejarahnya Cartagena, dan indahnya kota Medellin. Banyak sekali kejadian-kejadian menarik yang dilalui Lamia selama di sana. Dan beruntungnya ia karena berhasil mengabadikannya, baik dalam bentuk foto maupun tulisan. Ia berharap kali ini dapat menjadi buku yang hebat.

Perlahan kantuk menyergap Lamia dan akhirnya ia terlelap. 

*          *         *

Beberapa jam kemudian, Lamia telah tiba di tanah airnya. Wajahnya masih mengantuk. Penampilannya terlihat lusuh. Bucket hat hitam yang sudah koyak di beberapa bagian, kaos putih yang tak lagi putih karena kotornya dan dilingkupi kemeja kotak-kotak dominan hijau, celana kargo yang beberapa jahitannya sudah mulai keluar, sepatu kets yang alasnya masih penuh dengan lumpur kering dan tentu saja backpack.

Seorang wanita menunggunya di depan gerbang kedatangan internasional. Ia menggelengkan kepalanya seakan tak percaya orang yang ada di hadapannnya adalah Lamia. Ia tahu bagaimana cantiknya Lamia yang ia kenal. Namun kini ia hanya melihat orang yang berpenampilan layaknya tunawisma.

“Apakah kau benar-benar menikmati penyamaranmu?” tanya wanita itu saat Lamia sudah di dekatnya.

“Tentu saja. Travel writer adalah pekerjaan yang menyenangkan.” Kemudian Lamia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu sambil memelankan suaranya. “Selain membunuh.”

Wanita itu tersenyum. Ia tahu itu bukan becanda dan ia sama sekali tidak terkejut. Bagi mereka, pembunuhan bukanlah barang langka. Bahkan mereka hidup dengan pekerjaan itu. “Lalu, bagaimana dengan pengkhianat itu?”

“Sudah beres. Aku membuatnya dibunuh oleh kartel narkoba di sana. Dan ia mati sebagai Luiz Hernandes, penyamarannya di sana. Untung saja kartel itu punya banyak pengalaman membunuh orang sehingga mayatnya takkan ditemukan dengan mudah oleh polisi setempat.”

“Sudah kau pastikan ia tidak sempat membuka mulut?”

“Sudah. Aku sudah meretas surel dan ponselnya sejak ia menginjakkan kaki di sana. Ia tidak pernah mengirimkan berita tentang Chaos. Memang, ia menulisnya. Namun berita itu belum selesai saat aku melenyapkannya. Aku juga sudah melaporkan siapa wartawan yang sering berkomunikasi dengannya. Sepertinya trio Cer-Be-Rus telah menangani orang itu.”

Wanita itu mengangkat jempol tanda kekagumannya dengan kinerja Lamia. Meski sudah belasan tahun, ia tidak pernah berhenti mengagumi ketangkasan Lamia dalam menyelesaikan tugas. Ia masih ingat bagaimana awal ia melatihnya. Gadis muda yang penuh tekad dan amarah itu kini menjadi sosok pembunuh yang kejam dan lihai.

“Jadi, apa tugasku sekarang, Hecate?” tanya Lamia.

 Hecate adalah salah satu anggota penting Dunia Bawah. Ia bertanggung jawab dalam perekrutan serta pelatihan anggota baru Dunia Bawah dan bersahabat baik dengan Persephone. Saat ini, hanya ia anggota Chaos yang dekat dengan Lamia. Wajar, mengingat Hecate adalah mantan pelatihnya dan Lamia sudah lama ditugaskan untuk mengurus masalah luar negeri.

Sebelum memberitahukan tugas Lamia kali ini, Hecate menceritakan tentang kasus kematian cucu pimpinan De Duivel dan pengaruhnya bagi Chaos. Ia juga menceritakan rencana Hades menyusupkan anggota ke sekolah untuk menemukan informasi tentang pelaku pembunuhan itu.  Menurut Persephone, dirinya yang paling pantas melakukan pekerjaan itu.

“Kutukan wajah muda,” seloroh Lamia diikuti tawa Hecate. “Tapi tetap saja, aku masih terlalu tua untuk menjadi anak SMA.”

“Tenang saja, aku punya penata rias yang handal. Hanya dengan sedikit sentuhan, ia akan membuatmu seperti remaja. Bahkan kau akan menjadi idola di kalangan cowok-cowok SMA.”

“Ah, aku jadi semakin mirip dengan Lamia,” ujar Lamia. Hecate yang mengerti dengan maksud ucapan bekas muridnya itu hanya tertawa. 

*          *         *

“Bagaimana? Terlihat seperti remaja, bukan?”

Lamia tidak menjawab pertanyaan Hecate. Ia masih sibuk mengagumi sosok yang ada di dalam cermin. Siapa dia? Bahkan dirinya sendiri mengakui kalau sosok itu ‘bukan aku’. Penata rias yang sedari tadi mengutak-atik wajahnya tersenyum puas melihat ‘pasien’nya terlihat bahagia dengan hasil kerjanya.

“Mengagumkan! Dia adalah Picasso dalam hal dandanan. Aku seperti sedang kembali ke masa laluku,” kata Lamia sambil mengelus kedua pipinya. “Aku jadi teringat ketika pertama kali bertemu denganmu. Dulu aku masih belum setinggi ini.”

Hecate tertegun. Ia merespon ucapan Lamia dengan sedikit rasa sedih. Masih melekat di ingatannya bagaimana menyedihkannya kondisi Lamia saat pertama kali mereka bertemu. Beberapa saat kemudian ia mengibaskan tangannya isyarat menyuruh sang penata rias dan anak buahnya meninggalkan mereka.

“Kenapa tidak memilih operasi plastik saja? Lebih simpel dan permanen. Aku punya dokter operasi plastik terbaik yang hasilnya takkan mengecewakan.”

“Tidak, aku takut jika operasinya gagal,” tolak Lamia. “Lagipula aku punya wajah yang cantik dan alami. Melakukan operasi plastik berarti malu dengan wajah asliku.”

Lamia menutup mulutnya ketika mengingat kalau Hecate adalah langganan meja operasi plastik. Ia melihat wajah wanita itu, cuek saja. Sepertinya ia tidak mendengar apa yang dikatakan Lamia tadi.

Jika melihat hasil operasi wajah Hecate, Lamia sebenarnya tidak perlu meragukan kemampuan dokter yang direkomendasikan atasannya itu. Namun ia punya alasan khusus untuk menolaknya. Ia tidak ingin karena operasi plastik, Dion sampai tidak mengenalinya atau membenci wajah barunya.

“Kau sudah mempersiapkan penyamaranmu? Bukankah ini pertama kalinya kau menyamar sebagai anak SMA?”

“Kau tahu sendiri, aku tidak sempat mengenyam bangku SMA. Satu-satunya referensiku hanyalah film Ada Apa Dengan Cinta. Aku belum memutuskan untuk meniru tokoh yang mana. Apakah berkarakter kuat seperti Maura, tomboi seperti Carmen, rapuh seperti Alya, lemot seperti Milly atau sempurna seperti Cinta.”

“Film itu sudah terlalu jadul. Sebaiknya kau cari referensi yang lain.”

Hecate meninggalkan Lamia yang masih mengagumi perubahan wajahnya. Lamia berhenti menatap cermin dan melihat kepergian Hecate dengan santai. Kemudian pandangannya beralih pada setumpuk dokumen. Seperti kata Hecate, itu adalah dokumen identitas baru Lamia. ‘Remaja Dadakan’ itu meraih dokumen tersebut dan membukanya. Dengan teliti ia membacanya. Senyumnya tersungging saat melihat sebuah nama: LARA VERONICA.

Lara sedikit khawatir ketika melihat kota penugasannya kali ini sangat dekat dengan rumahnya. Untung saja di kota itu hanya keluarganya yang mengenalnya. Ia sama sekali tidak pernah bertemu dengan satu pun tetangga. Bahkan demi memudahkan urusan Dion, nenek Sulis mengaku kalau orangtua Dion sudah lama kabur meninggalkan anak lelakinya.

Semoga saja selama masa tugasnya, ia tidak bertemu dengan keluarganya.

*          *         *

Udara segar pagi yang dihirup dengan penuh penghayatan selalu berhasil memberi semangat lebih bagi semua umat manusia yang ada di muka bumi. Itulah yang selalu dipercaya oleh seorang Lamia sejak kecil. Maka setiap pagi saat keluar dari rumahnya, Lamia memiliki ritual untuk berhenti sejenak di depan pintu, memejamkan mata dan merentangkan tangannya seraya menghirup udara pagi dengan perlahan. Dan percaya atau tidak, ritual itu memang memberinya semangat dan pikiran yang optimis untuk memulai hari yang baru.

Demikian juga dengan pagi ini. Dalam balutan seragam SMA-nya, Lamia melakukan ritual tersebut. Ada perasaan gugup melingkupinya. Ia pernah menyamar menjadi wartawan, dokter, pialang saham, pedagang hotdog, pekerja tuna susila, pria, transgender, dan banyak lagi. Tapi baru kali ini ia harus menyamar menjadi anak sekolahan. Penyamaran yang seharusnya mudah ini sepertinya berhasil memacu adrenalinnya. Bukan karena takut gagal memerankan identitas barunya, ia hanya terlalu antusias.

Lamia turun dari bus transkota. Kebetulan sekolahnya berada di seberang halte. Maka seturunnya dari bus, sekolah itu sudah berdiri megah di hadapannya. ‘Remaja Dadakan’ itu semakin gugup. Ia sebenarnya sudah tidak sabar untuk melewati pintu gerbang tersebut, tapi kakinya seakan terasa sulit digerakkan. Mungkin laju darahnya terlalu kencang sehingga sekujur tubuhnya kaku.

Akhirnya Lamia berhasil melangkahkan kakinya. Betapa senangnya ia melihat keramaian orang yang mengenakan pakaian yang sama dengannya, berseliweran di sekitar sekolah. Wajahnya penuh dengan senyum kagum. Tak pernah terbayangkan di pikirannya kalau ia akan merasakan atmosfer ini. Tidak jika mengingat umurnya sekarang.

“Aw, Lara suka ini!” katanya dengan suara melengking. Kedua tangannya dikepal dan diletakkan di bawah dagu. Kepalanya menggeleng dan matanya memejam seakan ia sedang berusaha bersikap menggemaskan. Semua orang yang mendengar lengkingannya mengarahkan pandangan kepadanya. Namun Lamia, yang kini bernama Lara, cuek saja dan tetap mengaktifkan gaya menggemaskannya.

Lalu matanya terpaku pada sebuah tugu yang berada di dekat taman sekolah. Ia memperhatikan dengan seksama seakan pernah melihatnya. Makin lama dilihatnya, ia makin yakin kalau tugu itu tak asing lagi baginya. Namun seberapa keras ia mengingat, tak ada sedikitpun petunjuk yang menguatkan keyakinannya itu.

Bel tanda masuk pun berbunyi. Para warga sekolah bergegas ke tempat mereka masing-masing. Lamia hanya tersenyum. Ia merasa tidak perlu seperti mereka. Ini adalah hari pertamanya. Ia hanya perlu ke ruang kepala sekolah untuk melaporkan kehadirannya, seperti yang telah diinstruksikan Hecate. Anak buahnya telah mengurus semua dokumen kepindahannya dan menjelaskan tentang ‘orangtua’nya.

Lamia berjalan di sebuah koridor. Ia sadar sudah tidak terbiasa lagi dengan situasi di sekolah sehingga rasanya canggung berjalan di koridor yang kiri-kanannya terdapat kelas yang dipenuhi orang-orang. 

Tanpa sadar langkahnya menuntunnya ke belakang sekolah. Ia bingung ketika di hadapannya hanya ada tembok. Seharusnya tadi ia bertanya pada salah satu siswa yang terlambat masuk kelas. Namun ia tetap tenang. Situasi ini tidaklah seberbahaya ketika diacungkan pistol. Ia hanya perlu berpikir, kira-kira apa yang akan dilakukan seorang siswi SMA ketika tersesat di sekolah.

“Aduh, bagaimana ini? Lara tersesat. Lara harus melakukan apa, ya?” katanya dengan sikap manja dan berusaha semenggemaskan mungkin. Namun Lamia kembali menegakkan tubuhnya ketika menyadari tidak ada orang di sekitarnya. Ia merasa telah menjadi orang yang aneh.

“Mama!”

Sebuah suara mengejutkannya. Ia mencari sumber suara itu dengan memutarkan kepalanya. Namun tidak ada siapapun. Kemudian kepalanya didongakkan menghadap bagian atas tembok. Betapa terkejutnya ia ketika melihat sesosok siswa tampan yang sedang terpaku memandangnya di atas tembok. Lamia sangat mengenal anak muda itu. Anak muda yang dulu pernah berada dekat dengan jantungnya. Anak muda yang di dalam tubuhnya mengalir darah yang sama dengan darahnya. Anak muda yang memberikan tujuan hidup baginya. Anak muda yang menjadi harta paling berharga dalam hidupnya.

“Dion!”

Terpopuler

Comments

Kustri

Kustri

wah Dion tak terkecoh👍

2023-05-13

0

lihat semua
Episodes
1 PROLOG
2 AWET MUDA ITU ADALAH KUTUKAN
3 RAHASIA YANG SUDAH LAMA TAK LAGI MENJADI RAHASIA
4 KESEPAKATAN ANTARA IBU DAN ANAK
5 KODE ETIK
6 FIRST DAY OF SCHOOL
7 HIDUP TAK SESERU APA YANG ADA DI TELEVISI
8 SEBUAH POHON BISA DIKENALI DARI BUAHNYA
9 PERTANDINGAN ADALAH VERSI KECIL DARI PERANG
10 RENCANA DI DALAM RUANG BK
11 FASE JATUH CINTA
12 TERSANGKA PERTAMA
13 ADA YANG SENANG DISOROT, ADA JUGA YANG MEMBENCINYA
14 CARA KERJANYA CINTA MEMANG MEMBINGUNGKAN
15 GURU YANG MENCURIGAKAN
16 WANITA ITU MENYERAMKAN, MESKI IA BUKAN ANGGOTA MAFIA
17 MENURUT PSIKOLOGI, MEREKA ADALAH PASANGAN SEPUPU YANG BERBAHAYA
18 PESTA YANG DIBATALKAN
19 MENILAI ORANG ADALAH PEKERJAAN YANG SULIT
20 OPERASI PEMBERSIHAN
21 ROMANCE BEFORE THRILLER
22 PERTARUNGAN PARA LEGENDA
23 PERUBAHAN SITUASI
24 SAKSI YANG TAK DIDUGA
25 SEKUTU DARI MASA LALU
26 AWAL DARI KEHIDUPAN YANG GELAP INI
27 MENCARI MENTARI
28 VIVERE PERICOLOSO
29 TAK SEPERTI YANG TERLIHAT SELAMA INI
30 TRIO CER-BE-RUS
31 MENINGGALKAN NOMOR TELEPON
32 LELAKI HARUS MENJADI HEBAT DEMI ORANG YANG IA CINTAI
33 MASA LALU YANG DISESALI
34 MENDATANGI NERAKA
35 ANGGOTA BARU
36 PENYERGAPAN KE DUNIA BAWAH
37 ORANG BODOH SERING LUPA JIKA IA BODOH
38 RENCANA KUDETA
39 PENGKHIANATAN ADALAH DOSA YANG TAK TERAMPUNI
40 KISS OF DEATH
41 KRONOLOGI
42 SEMUA ORANG BERHAK UNTUK BAHAGIA
43 REKONSILIASI
44 DUNIA YANG BARU
45 EPILOG
Episodes

Updated 45 Episodes

1
PROLOG
2
AWET MUDA ITU ADALAH KUTUKAN
3
RAHASIA YANG SUDAH LAMA TAK LAGI MENJADI RAHASIA
4
KESEPAKATAN ANTARA IBU DAN ANAK
5
KODE ETIK
6
FIRST DAY OF SCHOOL
7
HIDUP TAK SESERU APA YANG ADA DI TELEVISI
8
SEBUAH POHON BISA DIKENALI DARI BUAHNYA
9
PERTANDINGAN ADALAH VERSI KECIL DARI PERANG
10
RENCANA DI DALAM RUANG BK
11
FASE JATUH CINTA
12
TERSANGKA PERTAMA
13
ADA YANG SENANG DISOROT, ADA JUGA YANG MEMBENCINYA
14
CARA KERJANYA CINTA MEMANG MEMBINGUNGKAN
15
GURU YANG MENCURIGAKAN
16
WANITA ITU MENYERAMKAN, MESKI IA BUKAN ANGGOTA MAFIA
17
MENURUT PSIKOLOGI, MEREKA ADALAH PASANGAN SEPUPU YANG BERBAHAYA
18
PESTA YANG DIBATALKAN
19
MENILAI ORANG ADALAH PEKERJAAN YANG SULIT
20
OPERASI PEMBERSIHAN
21
ROMANCE BEFORE THRILLER
22
PERTARUNGAN PARA LEGENDA
23
PERUBAHAN SITUASI
24
SAKSI YANG TAK DIDUGA
25
SEKUTU DARI MASA LALU
26
AWAL DARI KEHIDUPAN YANG GELAP INI
27
MENCARI MENTARI
28
VIVERE PERICOLOSO
29
TAK SEPERTI YANG TERLIHAT SELAMA INI
30
TRIO CER-BE-RUS
31
MENINGGALKAN NOMOR TELEPON
32
LELAKI HARUS MENJADI HEBAT DEMI ORANG YANG IA CINTAI
33
MASA LALU YANG DISESALI
34
MENDATANGI NERAKA
35
ANGGOTA BARU
36
PENYERGAPAN KE DUNIA BAWAH
37
ORANG BODOH SERING LUPA JIKA IA BODOH
38
RENCANA KUDETA
39
PENGKHIANATAN ADALAH DOSA YANG TAK TERAMPUNI
40
KISS OF DEATH
41
KRONOLOGI
42
SEMUA ORANG BERHAK UNTUK BAHAGIA
43
REKONSILIASI
44
DUNIA YANG BARU
45
EPILOG

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!