Lima belas tahun yang lalu
Malam telah melingkupi kota ini. Tak ada bulan maupun bintang, hanya awan gelap bertumpang tindih di langit. Hujan telah menyapa sejak tadi sore dan belum ada tanda untuk reda.
Seorang perempuan muda berlari menembus hujan. Langkahnya menabrak genangan-genangan air di jalan yang ia lalui. Seluruh badannya telah basah kuyup, namun wajahnya menunjukkan kalau ia tidak peduli.
Ia berhenti di sebuah rumah, sekitar tiga blok dari simpang jalan raya. Ia menggedor pintu rumah itu sembari memanggil mamanya. Tak berapa lama, seorang wanita tua keluar dan ekspresi wajahnya penuh dengan keterkejutan melihat sosok yang sedang berdiri di depannya.
“Ada apa, Feb? Kenapa kau datang dengan kondisi seperti ini?” tanya wanita tua itu.
“Nanti kujelaskan secara rinci, Ma. Intinya, aku sudah mendapat pekerjaan dan sekarang juga kita harus pindah. Aku akan mengurus Dion, Mama beres-beres saja dulu. Bawa saja barang seperlunya.”
“Tapi ini masih hujan.”
“Temanku akan datang membawa mobil. Kita akan naik itu.”
Wanita tua itu hanya bisa menuruti perintah putrinya. Ia segera bergegas merapikan barang-barang dengan kepala yang penuh dengan tanda tanya. Sang putri yang bernama Febri itu juga tengah sibuk memasukkan perlengkapan bayinya ke dalam sebuah tas besar. Dengan cepat ia mengganti baju dan mengeringkan tubuhnya. Kemudian dengan hati-hati ia menggendong bayinya sambil membawa tas tadi.
Sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah itu. Febri memanggil ibunya dan kembali mengingatkan untuk hanya membawa barang-barang seperlunya saja. Sesaat kemudian sang ibu datang dengan dua koper besar di tangannya.
Lelaki yang mengemudikan mobil itu segera keluar dan membantu kedua perempuan itu membawa tas mereka. Ia juga membantu ibunda Febri untuk masuk ke dalam mobil serta memayungi bayi Febri saat hendak menembus hujan untuk menuju mobil.
“Katakan, apa pekerjaanmu sekarang? Kenapa kita harus pindah? Kenapa kau seperti ketakutan sekarang?”
“Suatu saat aku akan memberitahukannya pada Mama. Yang pasti, pekerjaanku ini memiliki resiko yang besar serta bisa membahayakan Mama dan Dion. Tapi pekerjaan ini cukup untuk menafkahi kita dan untuk membesarkan Dion.”
Mendengar penjelasan putrinya, sang ibu seperti tidak puas. Ia tak berhenti mengomeli Febri, bahkan sesekali memukul pundaknya. Beberapa kali wanita tua itu menyebut nama cucunya.
Febri tidak memedulikannya. Ia hanya memandang wajah anaknya. Seperti yang telah dijelaskan teman barunya yang sedang menyetir mobil, pekerjaannya ini kemungkinan besar akan mengikatnya seumur hidup. Mulai hari ini ia menjadi milik organisasi. Besok dan seterusnya ia akan menghabiskan banyak waktunya untuk organisasi. Dan sesuai saran temannya, ia harus merahasiakan keberadaan keluarga agar kedepannya, jika suatu hari ia bermasalah dengan organisasi, keluarganya tidak akan terancam.
“Maafkan Mama, Nak. Mama tidak bisa selalu berada di sisimu. Tapi semua ini Mama lakukan untukmu. Mama berjanji, suatu saat Mama akan selalu berada di sisimu. Mama akan menjaga dan melindungimu. Mama akan memberikan nyawa Mama untukmu.”
Febri menangis. Ia memeluk erat bayinya yang sedang terlelap itu. Ia mengucapkan janji itu berulang kali, meski tak tahu apakah ia bisa menepatinya.
Dan siapa yang menyangka, ia akan menepatinya lima belas tahun kemudian.
* * *
“Kau, beraninya manjat pagar. Mama pikir kau ini adalah anak yang baik. Tidak masuk akal,” kata Febri yang diberikan nama Lamia oleh organisasi dan kini menyamar sebagai Lara. Dan selama ia menjadi anak SMA, kita akan memanggilnya Lara. Ia menjewer telinga putra semata wayangnya.
Dion tidak bisa menghindari mamanya. Ketika mereka saling menyapa tadi, sebenarnya Dion sudah membatalkan aksi melintasi pagar temboknya dan lari menjauhi sekolah. Namun tak disangka, mamanya dapat melompati pagar tembok itu dengan sangat cepat dan menangkapnya. Sang mama membawanya ke sebuah warung sepi yang berada tak jauh dari area sekolah.
Kini mereka sedang berada di situasi yang canggung. Dion ketahuan melakukan kenakalan di depan mamanya, Lara ketahuan melakukan penyamaran memalukan di depan anaknya. Ya, betapa bodohnya ia tidak mengetahui di mana anaknya bersekolah. Pantas saja ia familiar dengan tugu di dekat taman sekolah. Ternyata tugu itu ada di dalam foto Dion yang dikirim mamanya.
“Mama harusnya tahu, siapa di antara kita berdua yang tidak masuk akal,” balas Dion. Lara tersadar dan melepas jewerannya. Dion mengelus-elus kupingnya dengan mimik kesakitan.
“Mama sedang menyamar.” Ucapan Lara terhenti. Ia menatap wajah anaknya yang sedang serius menatapnya. “Baiklah, mungkin ini saatnya kau harus tahu. Sebenarnya Mama bekerja sebagai –“
“Mafia. Iya, aku sudah tahu,” potong Dion. Lara terkejut mengetahui ucapan anaknya itu. Padahal ia mau berkata kalau dirinya adalah seorang intel. “Aku sudah lama tahu.”
“Bagaimana kau tahu? Dari siapa?”
“Sangat kelihatan.”
Dion menceritakan beberapa kejadian aneh yang ia lihat sejak kecil dulu. Setiap kali ia ataupun neneknya mengeluhkan perbuatan seseorang, besoknya orang itu pasti hilang, sakit atau meninggal. Ia dan neneknya juga beberapa kali pindah rumah setelah sang mama menelepon neneknya dengan nada ketakutan. Dan puncaknya adalah ketika Dion tanpa sengaja mengintip isi tas yang dibawa mamanya saat menginap di rumah. Ada beberapa senjata api dan senjata tajam yang dipenuhi dengan bekas darah.
Lara tidak bisa membantah. Ia justru merasa sedikit lega karena anaknya telah mengetahui pekerjaan aslinya namun tidak menunjukkan keberatan atau rasa benci sedikitpun.
“Tapi apapun alasannya, Mama tidak boleh menyamar menjadi anak SMA di sekolah yang sama dengan anak Mama. Itu sangat memalukan.”
“Maksudmu, kau malu dengan Mama?”
Dion tidak langsung menjawab. Ia menatap mamanya tajam. “Aku tidak malu jika Mama berperan sebagai mama, bukan sebagai teman sebaya. Bahkan sejak dulu aku berharap Mama datang saat pengambilan raportku.”
Kini giliran Lara yang terdiam tak menjawab. Ia merasa kata-kata Dion itu sedang menyindirnya yang tak pernah punya banyak waktu untuknya. Bukan hanya itu, ia sedih karena ternyata Dion merindukan kehadirannya. Bahkan ketika ia sudah dewasa seperti sekarang ini.
“Tapi mama tidak bisa menghindari tugas ini. Selain akan memberikan hukuman pada mama, organisasi akan mencari tahu alasannya dan itu beresiko mereka mengetahui keberadaanmu sebagai anak mama,” terang Lara. Ia terkejut melihat tatapan tajam putranya. Seakan-akan Dion ingin membalasnya dengan mengatakan sang mama malu mengakuinya. “Bodoh, mama harus merahasiakan keberadaanmu pada organisasi. Mama tidak ingin mereka menyentuhmu jika mama melakukan hal yang membuat mereka marah. Tidak ada hubungan yang pasti bisa selalu langgeng.”
“Aku tak mau tahu, pokoknya Mama –“
Belum selesai Dion menyelesaikan kalimatnya, seorang pria memanggil mereka dengan suara berat. Tubuhnya tinggi besar dan jalannya tegap. Semakin ia mendekat, Lara semakin melihat betapa tampannya pria itu. Rahangnya tegas, hidungnya lancip dan matanya tajam. Rambutnya yang lebat seperti Shah Rukh Khan menyempurnakan parasnya. Tangannya yang kekar menggenggam sebuah tongkat tipis namun panjang. Sesaat Lara mengagumi sosok itu. Jantungnya mendadak berdetak kencang.
“Siapa itu?” tanya Lara pada Dion dengan nada berbisik.
“Pak Adi, guru Fisika dan Waka Kesiswaan.”
“Ah, aku tahu jabatan itu. Yang kerjaannya merazia barang-barang siswa, menunggui siswa yang datang terlambat dan mencari-cari kesalahan siswa lainnya, kan?” oceh Lara sekenanya.
“Sedang apa kalian di sini? Kalian mau bolos?” tanya lelaki yang bernama pak Adi itu. Ia tidak menunggu jawaban dan langsung menarik telinga pasangan ibu dan anak itu. Lara ingin memberikan serangan balasan, namun ditahan oleh Dion.
Dan jadilah mereka diseret ke sekolah dengan jeweran. Mereka berdua memohon untuk dilepaskan, namun pak Adi tidak menggubrisnya. Sesampainya di dalam pekarangan sekolah, beberapa siswa yang sudah lebih dulu dihukum di pekarangan tertawa. Entah karena cara pak Adi menarik kuping mereka berdua yang terlihat lucu atau karena teman sesama hukuman bertambah. Karena tawa mereka cukup keras, siswa lain menatap mereka dan ikut tertawa.
“Kenapa masih banyak siswa di pekarangan? Bukankah seharusnya mereka sudah masuk ke kelas?” tanya Lara heran.
“Ini hari Sabtu, tidak ada pelajaran di kelas. Yang ada hanya kegiatan ekstrakurikuler dan pulangnya juga cepat.”
Walhasil, Lara harus menahan rasa malu yang teramat sangat. Mungkin baru dia yang pernah merasakan ditertawakan siswa satu sekolahan bersama anak sendiri. Bukan hanya itu, bersama anaknya kini ia harus menjalani hukuman berdiri sambil menghormat kepada bendera di cuaca yang sudah terik meski masih pagi ini. Namun ia tidak menemukan rasa malu itu di wajah putranya. Pemuda berperawakan kurus tinggi itu tersenyum melihat teman-temannya menertawakannya.
“Kenapa senyum-senyum? Jangan bilang kalau kamu sudah terbiasa dihukum seperti ini. Lihat saja, aku akan memberi pelajaran padamu dan nenek,” ancam Lara dengan nada berbisik. Dion terlihat tidak memedulikan orangtuanya itu.
“Hukum saja. Justru aku berencana untuk memaksa nenek melarang Mama menjadi siswa SMA lagi.”
Tiba-tiba seorang lelaki tua datang menghampiri pak Adi yang sedari tadi berjalan bolak-balik di hadapan para ‘terhukum’ sambil melontarkan ceramah panjang. Lelaki tua itu membisikkan sesuatu yang membuat mata pak Adi terbelalak. Kemudian guru tampan itu mengacungkan tongkatnya ke arah Lara.
“Kamu, kenapa tidak bilang kalau hari ini adalah hari pertamamu di sekolah ini?” tanya pak Adi dengan suara beratnya. Lara selalu merinding setiap kali mendengar suara itu. Baginya itu terdengar seksi. “Sekarang pergi ke kantor majelis guru, nanti ada guru yang akan menunjukkan kelas barumu.”
“Tidak apa, Pak. Saya akan menyelesaikan hukuman saya,” kata Lara. Ia mengatakan seperti itu bukan karena dirinya menyukai hukuman, tapi karena ia tidak tega meninggalkan putra kesayangannya.
Namun ia harus mematuhi perintah pak Adi itu.
Dengan berat langkah, Lara meninggalkan putranya dan mengikuti lelaki tua tadi yang belakangan Lara tahu namanya pak Yanto, guru matematika yang sangat jenius perihal angka-angka namun sering lupa di mana ia meletakkan kacamatanya.
Kantor majelis guru berada di hadapan lapangan, di sebuah gedung besar yang atapnya terdapat ukiran indah. Isi dalamnya juga tak kalah megah untuk ukuran kantor majelis guru. Hamparan marmer coklat melapisi seluruh lantai, sangat mengkilat sehingga kelihatannya bisa bercermin di sana. Pikir Lara, ini sangat tidak aman untuk siswi dengan rok pendek sepertinya. Namun setelah diperhatikan, marmer itu hanya memantulkan bayangan yang pendar sehingga tidak terlihat jelas.
Interior ruangannya terlihat mahal. Meja-meja gurunya terbuat dari kayu jati yang tak kalah mengkilat dengan marmer lantai. Kursi-kursinya juga terlihat nyaman dengan busa tebal dan ada sandaran tangannya. Lara berpikir itu adalah kursi pijat. Masing-masing meja terdapat laptop dengan merek yang seragam, meyakinkan Lara kalau itu bukan milik pribadi.
Tidak heran, sekolah itu pasti mendapat banyak bantuan dari pemimpin De Duivel mengingat mendiang cucunya pernah bersekolah di sana. Lara memperhatikan sekitarnya, mencoba mengidentifikasi setiap wajah mereka. Salah satu kemampuannya adalah mengingat wajah seseorang lengkap dengan identitasnya. Meskipun baru sekali dan sudah belasan tahun tak bertemu, Lara masih bisa mengingatnya.
Tujuannya mengidentifikasi wajah para guru adalah untuk mendeteksi keberadaan anggota De Duivel yang menyamar. Selama lima belas tahun menjadi anggota Chaos, Lara sudah pernah melihat wajah banyak anggota De Duivel ketika ia menjalankan tugasnya. Namun ia sangat yakin wajahnya sendiri tidak akan pernah dikenal musuh-musuhnya sebagai anggota Chaos. Bahkan hanya sedikit rekan satu organisasinya yang pernah melihat wajahnya. Tak heran ia dikenal sebagai Lamia, monster perempuan yang suka menyamar untuk membunuh.
“Lara, kamu di kelas XI IPA 1. Wali kelasmu adalah Bu Rika. Kelasnya ada di ujung koridor sana,” kata seorang guru berkacamata tebal dan hidungnya seringkali dinaik-naikkan seakan ingin membetulkan posisi kacamatanya. “Tapi karena tidak ada kegiatan belajar mengajar di kelas, hari ini kamu lihat-lihat sekolah saja dulu. Kalau masih canggung untuk ikut kegiatan ekstrakurikuler, kamu bisa menonton saja.”
Lara mengucapkan terima kasih dan memulai perjalanannya mengelilingi sekolah barunya. Ia bersyukur karena tidak sekelas dengan anaknya yang kini masih duduk di bangku kelas X. Matanya tertuju ke dekat tiang bendera. Ternyata para ‘terhukum’ sudah menyelesaikan masa hukuman mereka. Lapangan tempat mereka dihukum tadi telah terisi oleh beberapa siswa yang sedang latihan paskibra.
Kemudian ia menyusuri koridor sambil memikirkan putranya. Ia masih tidak menyangka kalau Dion yang selama ini diasosiasikan sebagai anak yang baik, cerdas dan berprestasi baru dilihatnya memanjat pagar karena terlambat. Bahkan anak itu sepertinya sering dihukum.
“Kupikir ia akan mirip dengan papanya. Ternyata sifat mamanya yang turun,” batin Lara.
Saat melewati ruang laboratorium, tanpa sengaja Lara mendengar suara benturan, Diam-diam ia mengintip ke dalam laboratorium yang masih gelap itu. Matanya dibelalakkan seakan hendak memperbesar sel batang pada retina sehingga mampu melihat dalam keadaan gelap tersebut. Lama kelamaan akhirnya ia berhasil melihat sumber suara. Seorang pria! Pak Adi!
“Aku menyesal telah memukul mereka. Aku menyesal memberikan hukuman yang berat pada mereka. Harusnya aku cukup menyuruh mereka meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi,” katanya sambil membenturkan kepalanya ke atas meja.
Lara bingung melihat tingkah aneh guru barunya. Namun ia tidak berniat untuk mengusiknya. Lara pun pergi meninggalkan laboratorium menuju kelasnya. Saat ini satu-satunya hal yang terpikirkan di otaknya adalah Dion. Banyak hal yang ingin dibicarakannya dengan anak semata wayangnya.
“Hai, anak baru, ya?”
Suara seorang lelaki muda menyapa Lara dan membuatnya memalingkan wajah. Lelaki itu berada di antara teman-temannya yang sama-sama tersenyum nakal melihatnya. Peluh memenuhi wajah dan leher mereka. Terlihat mereka baru saja melakukan aktivitas yang melelahkan.
Tapi Lara masih belum terbiasa dengan sapaan menggoda dari lelaki seperti mereka. Wajar saja, mereka seumuran dengan anaknya. Apalagi ia memang tidak pernah menaruh minat dengan berondong. Akan tetapi ia sadar, saat ini dirinya sedang memainkan peran gadis seusia mereka. Ia harus bisa menyesuaikan diri sesuai dengan perannya saat ini. Meski sulit, akhirnya ia lakukan.
“Hai, juga. Iya, ini hari pertama Lara. Salam kenal, ya.”
Sebenarnya Lara sendiri merasa canggung dengan gayanya yang sangat centil ketika mengatakan kalimat tersebut. Namun semalam ia sudah putuskan untuk mengambil karakter seorang siswi SMA dari salah satu film remaja terbaru.
Dan percakapan akrab pun terjadi antara dirinya dengan para siswa berpeluh itu. Pada akhirnya Lara menyerah dan pamit menyingkir dari mereka. Ia harus bertemu dengan putranya.
Meski sempat terkejut dan bingung, tak bisa disangkal jika ia senang karena memiliki kesempatan untuk dekat dengan anaknya. Sejak dulu ia ingin melihat bagaimana kehidupan buah hatinya itu. Selama ini ia hanya mendengar hal-hal yang baik tentang Dion dari ibunya.
Tak butuh waktu lama, Lara dapat menemukan Dion di satu sudut kantin. Anak itu sedang tertawa dengan beberapa temannya. Keberadaan Dion di tengah mereka sangat kontras. Tidak seperti teman-temannya yang berpenampilan aneh, hanya ia yang terlihat seperti anak SMA normal. Saat hendak memanggil nama anaknya, Lara terkejut.
“Dasar bangsat –“ celutuk Dion di tengah tawanya. Tiba-tiba ia terdiam saat melihat wajah ibunya di kejauhan sedang menatapnya tajam. “–ria. Bang Satria. Iya, dia memang dasar.”
Lara masih menatapnya tajam. Ia tahu, anaknya sedang ‘berimprovisasi’ untuk menghindari amarahnya. Hal ini diperkuat dengan kebingungan teman-temannya yang tidak mengenal Bang Satria yang dimaksud Dion.
Dengan tetap menatap Dion, Lara melangkah masuk ke kantin mendekati gerombolan anaknya itu. Ia berhenti di kios penjual soto yang berada tepat di belakang Dion. Anak lelaki itu gemetaran dan salah tingkah mengetahui mamanya berada di sekitarnya saat ia sedang bersama teman-teman segengnya.
“Buluk, kau masih simpan video kemarin?” tanya seorang temannya yang mengenakan kacamata tebal.
“Vi, video apa?” Dion balas bertanya karena gugupnya. Lara akhirnya tahu julukan yang diberikan pada anaknya di sekolah.
“Video itu.” Si kacamata tebal mendekatkan wajahnya ke arah Dion dan berbisik. Namun bisikannya itu masih bisa di dengar Lara. “Video wik wik.”
Gerombolan itu tertawa. Kecuali Dion, tentunya. Tatapan Lara semakin tajam sehingga Dion dapat merasakannya meski ia tidak beradu tatapan dengan mamanya. Tentu saja Lara tahu maksud dari video wik wik itu.
“A, aku tak pernah menyimpan video seperti itu. A, aku –“
“Eh, Rudi bilang, videonya ada di ponselmu. Kemarin kalian menontonnya.”
Tiba-tiba kursi tempat Dion duduk bergoncang kencang, membuatnya kehilangan keseimbangan. Ia pun jatuh terjerembab ke bawah meja. Para pengunjung kantin tertawa melihat kejadian itu. Dion tahu siapa yang melakukannya. Pasti mamanya.
“Hei, Dion kan? Kau kelas berapa? Tidak makan? Ayo kita makan soto, biar kutraktir,” kata Lara dengan nada centil saat Dion berhasil berdiri. Semua teman Dion tercengang melihat seorang gadis cantik yang baru mereka lihat menyapa teman mereka.
“A, aku sudah makan. Terima kasih,” kata Dion. Ia berusaha menghindari mamanya.
“Wah, cewek cantik. Anak baru, ya? Siapa namanya? Kok bisa kenal sama Dion?” tanya seorang teman Dion yang penampilannya seperti preman: baju dikeluarkan dengan dua kancing paling atas sengaja dilepas, kerah baju dinaikkan dan lengannya digulung, memakai gelang besi dan kayu, serta rambut yang bisa dikatakan gondrong untuk ukuran anak sekolah. Ditambah lagi wajah mesumnya saat menyapa Lara.
“Iya, aku anak baru. Namaku Lara. Kami kenal saat baru masuk tadi. Kami sama-sama dihukum karena terlambat,” jawab Lara lugas. “Kenapa heran melihat Dion kenal seorang cewek? Bukankah dia cukup populer di kalangan para cewek?”
Pertanyaan Lara itu membuat teman-teman Dion tertawa mengakak. Wajah Dion semakin memerah karena malu. Salah satu teman Dion yang terlihat paling normal di antara mereka memberitahukan Lara sebuah fakta mengejutkan. “Jangankan populer, ia adalah siswa terbodoh dan teraneh di sekolah ini.”
Dion menatap tajam dan teman-temannya itu segera bungkam. Ia pun menarik Lara dan membawanya keluar kantin. Ia tidak ingin teman-temannya semakin mempermalukannya di depan mamanya sendiri.
“Kau berkata kasar, ya? Lalu benar kau menyimpan video mesum? Siapa mereka? Kenapa kau dipanggil ‘aneh’ oleh kumpulan manusia aneh itu?” Lara langsung mencecar Dion dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Inilah kenapa aku tidak suka Mama di sini. Privasiku akan hilang. Mama akan tahu bagaimana aku di sekolah,” kata Dion.
“Justru kalau tidak menyamar di sini, Mama tidak akan tahu bagaimana kau di sekolah. Ternyata jauh berbeda dengan apa yang dilaporkan Nenek. Mama kecewa dengan kalian berdua. Seandainya Mama tahu, Mama akan –“
“Akan apa? Akan berhenti dari dunia mafia dan mulai mengurusiku? Kalau begitu, baguslah.”
Sekali lagi Lara terkejut melihat anaknya. Ia melihat Dion yang berbeda dengan apa yang ada di dalam gambarannya selama ini. Sejak dulu ia tak pernah sekalipun mendengar anaknya itu membantah ucapannya. Dion selalu mengiyakan semua yang ia katakan. Namun saat ini, ia seperti bukan menghadapi anaknya. Apakah terlalu banyak hal yang ia lewatkan dari anaknya itu sehingga sekarang ia sama sekali tidak mengenal Dion yang sesungguhnya?
“Kenapa kau tidak pernah cerita kalau kau tahu pekerjaan Mama? Kenapa kau tidak pernah meminta Mama untuk berhenti dari dunia mafia? Mungkin Mama akan mempertimbangkannya.”
Lara meninggalkan Dion dengan raut sedih. Untuk saat ini, ia tidak ingin berinteraksi dengan anaknya itu. Ia belum siap untuk mendapati hal-hal baru lainnya dari diri Dion.
Sedangkan Dion sendiri merasa bersalah karena telah membentak mamanya. Ia tahu selama ini mereka tidak akrab, tapi tak sedikitpun ia membenci mamanya. Apa yang dikatakannya tadi hanyalah spontanitas karena ia masih kesal dengan penyamaran sang mama. Ingin ia menghibur Lara yang terlihat sangat sedih, namun ia belum menemukan kata-kata yang tepat untuk menghibur. Akan tetapi ia masih berharap mamanya berhenti melanjutkan penyamaran itu.
Pulang sekolah, Dion menunggu Lara di depan gerbang. Bukan hanya mamanya, ia juga sedang menunggu seseorang. Ternyata Lara yang lebih dulu ia lihat.
Dion memanggil mamanya dengan siulan. Ia sangat menyadari hal itu sangat tidak sopan, namun tak mungkin ia memanggil mamanya seperti biasa. Ia sudah lupa nama apa yang dipakai mamanya untuk penyamaran ini.
Lara mendengar panggilan Dion. Sebenarnya ia masih marah dengan putranya itu, namun ia tidak bisa menolak panggilannya. Lara segera menghampiri Dion.
“Ada apa?” tanya Lara.
Dion menarik tangan Lara dan membawanya menjauhi gerbang dan keramaian siswa-siswa yang baru pulang. Beberapa siswa yang melihat perbuatannya menggoda Dion dan Lara. Untuk Lara sendiri, hal itu tidak masalah. Namun Dion merasakan hal yang sebaliknya. Ia malu.
Akhirnya Dion berhenti di sebuah tempat yang sepi. Lara kembali bertanya tentang tujuannya melakukan ini. Belum sempat Dion menjawab, seorang wanita tua datang menghampiri mereka.
“Febri!”
Dion dan Lara mengalihkan pandangan ke wanita tua yang sering dipanggil para tetangganya Nenek Sulis. Lara terkejut ketika mengetahui orang yang melahirkannya ke dunia ini sedang berdiri di hadapannya dengan wajah yang tak kalah terkejut.
Melihat sang nenek sudah datang, Dion langsung menghampiri dan seperti meminta dukungan agar mamanya berhenti menyamar menjadi siswa sekolahnya. Segala macam alasan ia lontarkan untuk menguatkan permintaannya. “Tolong Nenek bicara dengan Mama. Aku malu.”
Lara menampar belakang kepala anaknya itu karena kesal. “Kau hanya takut Mama tahu semua kelakuan burukmu.”
Nenek tidak bergeming. Ia terus menatap Lara, bahkan matanya mulai berkaca-kaca. Seperti ada suatu perasaan yang bergejolak di hatinya. Nenek tidak mengerti, apakah ini perasaan sedih atau senang. Ia hanya ingin melihat putrinya lebih lama lagi.
“Kau punya tempat tinggal? Apakah tidak ada masalah jika selama menyamar, kau tinggal bersama kami?”
Kata-kata nenek Sulis membuat anak dan cucunya tertegun. Mereka menatap nenek, seakan ingin memastikan apakah benar kata-kata tersebut muncul dari mulut wanita tua itu. Kemudian Lara tersenyum, sedangkan Dion menunjukkan wajah protesnya.
“Tidak masalah. Aku akan mengaturnya,” kata Lara. “Lagipula aku punya banyak sekali pertanyaan tentang anak bandel ini.”
Dion tidak menjawab. Ia ketakutan mendengar ucapan mamanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Kustri
protes'a Dion, bermasalah di sekolah spy sang mama mengurus'a sll dirmh😄
2023-05-13
0