Gang

Aku segera membasuh sisa sampo yang ada di kepalaku.

Tak lama, aku pun telah berpakaian rapi.

“Kenapa kau memakai pakaian kuno seperti itu?” Delia menatap aneh pakaianku.

“Memangnya kenapa? Aku cuman punya baju seperti ini, kalau yang lain hanya kaus biasa,” sahutku sambil berkaca, mengecek keadaan pakaianku.

Pakaian yang kukenakan saat ini memang terbilang sudah bukan zamannya lagi bagi anak muda, terlebih ditambah jahitan bagian bahu yang meninggi sehingga membuat bahuku seakan-akan tegap.

“Ah, sudahlah, ayo kita pergi!” ajak Delia sambil menarik tanganku.

Aku menuruti dan mengikutinya dari belakang. Kami berjalan menyusuri jalanan sepi, bahkan jarang sekali ada orang yang lewat.

Dari kejauhan, kulihat Sena yang sepertinya sedang memaki-maki seseorang. Karena penasaran, aku dan Delia pun diam-diam melihat apa yang sedang terjadi.

“Ini semua salahmu! Kenapa kau waktu itu memukulnya terlalu keras!” bentak Sena sambil menendang seorang wanita bernama Cici yang tidak lain adalah teman satu gengnya.

“Salahku? Jangan ngaco! Kau sendiri yang duluan memukulnya, jadi aku ikutan saja!” balas Cici tak kalah kuat.

“Aku terlalu mabuk waktu itu! Kau seharusnya menghentikanku, bukan malah ikut-ikutan!” Sena terus mengeluarkan amarahnya.

Melihat mereka bertengkar, membuat kepalaku sakit karena tidak bisa mencerna apa yang sebenarnya terjadi.

Sebenarnya apa, sih, yang mereka ributkan? batinku.

“Hei, mau berapa lama kita amati mereka?” keluh Delia karena kesal.

“Oh! Maafkan aku. Ayo, kita pergi ke sana!” ajakku sambil menunjuk ke sebuah kursi yang berada di tepi jalan.

Aku juga Delia menghampiri kursi itu dan lekas duduk.

“Jadi, mereka itu sebenarnya siapa?” tanya Delia.

“Mereka? Temanku di sekolah,” jawabku.

“Teman? Apa benar?” Delia memasang wajah tak yakin.

“Ah, sebenarnya teman bully,” jawabku cengar-cengir.

“Apa kau tidak lelah di-bully oleh mereka?”

“Lelah, tentu saja lelah. Tapi … sepertinya mereka mulai berhenti menggangguku, terlebih sekarang libur semester. Jadi, aku terbebas dari mereka,” jelasku sambil menundukkan kepala.

“Apa kau akan membalas perbuatan mereka?”

“Tentu! Aku sangat ingin membalas mereka, terutama Sena. Tapi … Sena selalu dikelilingi oleh para lelaki, jadi aku takut.” Aku memainkan jariku.

Delia melompat turun dari kursi dan menghadap ke arahku. “Apa kau ingin punya kekuatan sepertiku?”

“Kekuatan?”

“Iya! Selain meledakkan hantu, aku juga bisa menggerakan benda hanya dengan menggunakan pikiranku.”

“Apa aku bisa melakukannya?” tanyaku bersemangat.

“Tentu saja! Sebagai imbalannya, kau harus menceritakan bagaimana perlakuan Sena terhadapmu sampai detik ini, oke?”

“Hm, baiklah, akan kuceritakan seingatku!”

***

Waktu kini menunjukkan pukul 20:15.

“Hei, Delia, apa kau tidak merinding?” tanyaku sambil menggigil ketakutan.

“Ck, apa, sih, yang kau takutkan?” Delia berdecak.

“Ya … akhir-akhir ini, kejadian aneh terus menimpaku. Apa kita harus pulang lewat sini?” tanyaku menunjuk ke arah gang sempit.

“Tentu saja. Kau ini penakut sekali, hahaha.” Delia tertawa mengejekku.

Aku berjalan perlahan memasuki gang gelap disusul Delia di belakangku.

“Delia, kau harus menjagaku, oke?” bisikku.

Aku kembali berjalan dengan menatap lurus ke depan dengan perasaan waswas. Tiba-tiba sekilas bayangan hitam melintas dengan cepat tepat di depanku.

“D-Delia! A-apa kau lihat? T-tadi ada yang lewat di depanku,” rengekku sambil terbata-bata sambil berbalik.

Sialnya, saat berbalik, aku melihat Delia yang sedang ditarik-tarik oleh tangan yang berada di dalam tong sampah.

“Delia!” teriakku hendak menghampiri, tetapi benda kasar apa yang ada di kakiku ini?

Aku pun menunduk untuk melihatnya. Tidak! Tangan ini … kukunya tajam sekali! Tangan hitam berkuku panjang yang kotor dan berbau busuk memegang erat kakiku.

“Lepas!” Aku berusaha menggerakkan kakiku dan menghampiri Delia yang terlihat tersiksa. Namun, saking eratnya genggaman tangan itu, aku pun jatuh tersungkur.

“Aaaw!” jeritku.

Tangan itu memanjang dan menggerayangi tubuhku. Keringatku bercucuran, menandakan bahwa aku sangat ketakutan. Setelah tangan itu berhenti menggerayangi, aku pun bernapas lega. Namun, tidak sampai di situ saja, tangan-tangan menjijikkan itu perlahan menancapkan kuku tajamnya di betisku.

“Aaah … sangat sakit,” jeritku sambil menangis.

Jangan dirasa! Jangan dirasa! Jangan dirasa! batinku mencoba mengafirmasi.

Dari kejauhan, terdengar suara yang ramai mendekati gang. Mungkin saja itu para gangster yang sering dibicarakan oleh warga. Para gangster itu makin mendekat membawa kebisingan, membuat telingaku makin terasa sakit. Namun, sisi baiknya, tangan hitam itu perlahan kembali ke dalam tanah. Aku segera duduk dan mengecek kondisi kakiku.

Tidak! Apa ini kuku? pikirku melihat benda yang tertancap di betisku.

Aku menarik kuku itu dan benar saja, darahku keluar bercucuran dari betis. Aku lantas merobek bajuku dan mengikatkannya ke betisku. Setelah merasa bahwa kakiku aman, aku bangkit dan mencari Delia.

“Delia? Kau di mana?” tanyaku sembari mencari Delia di tumpukan tong sampah.

“Kau cari siapa?” ucap seseorang di belakangku.

Aku takut untuk membalikkan badanku, mungkin saja itu para gangster.

“Hei, kenapa diam saja?” sambungnya sambil menepak bahuku.

Aku pun berbalik. “Delia! Kau mengagetkanku saja!” Aku terduduk lemas.

“Hahaha, gitu saja takut!” ejek Delia.

“Hm, kukira gangster,” ucapku malu.

“Oh, mereka sudah melewatimu saat kau mencariku di tong sampah.”

“Benarkah? Kukira aku akan berhadapan dengan para gangster.”

“Cih, gangster mana yang mau berhadapan dengan wanita berpakaian kuno sepertimu?” ejek Delia berjalan ke luar dari gang.

“Hei, untuk hantu seumuranmu, kau tidak sopan, Delia!” Aku bangun dan menyusul Delia.

.

.

.

.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!