lima

"Menurutmu, aku harus memakai yang mana?"

Dagu Aya terangkat. Gadis itu mengabaikan sejenak kopi dan biskuit cokelatnya saat Steven berdiri di depan pintu kamar dengan menunjukkan dua helai kemeja berbeda di masing-masing tangannya.

"Yang itu bagus," tunjuk Aya pada selembar kemeja kuning berlengan pendek dengan motif batang bambu yang menggantung di tangan kanan Steven.

"Masa?" Steven langsung memasang wajah sangsi lalu menatap kemeja pilihan Aya dan menempelkan benda itu di tubuhnya.

"Kenapa? Nggak percaya diri?" tanya Aya cuek. Ia menyesap kopinya sejenak. "Cepat pakai dan sarapan. Kasihan Pak Jo kalau menunggu kelamaan di bawah," suruhnya.

"Bukannya nggak percaya diri," tukas Steven.

"Lalu?" Aya memasukkan sekeping biskuit cokelat ke dalam mulutnya.

"Aku sama sekali nggak ingat pernah membeli ini, di mana dan kapan," ucap Steven ragu. Ia mencoba untuk mengingat, tapi selalu gagal. Ada begitu banyak pakaian yang menghuni lemari miliknya dan beberapa di antaranya bahkan belum sempat terpakai, tapi untuk kemeja kuning bermotif batang bambu itu, Steven benar-benar tak bisa mengingatnya.

"Aku yang membelinya," aku Aya dengan gaya santai. Ia sengaja memasukkan kemeja itu ke dalam keranjang belanjaan Steven tanpa sepengetahuan cowok itu.

"Apa?!" Sepasang mata Steven melebar mendengar pengakuan Aya.

"Menurutku itu bagus untukmu, jadi aku membelinya. Harganya nggak mahal, kok," urai Aya agak terbata. "Sebaiknya kamu ganti pakaian sekarang atau kamu akan terlambat," suruh Aya sembari menunjuk ke arah jam yang menempel pada dinding ruang makan. Jarum pendek nyaris menyentuh angka sepuluh dan Aya tak mau Steven terlambat tiba di lokasi syuting.

Steven menghela napas panjang. Masih ada lain kali hanya untuk berdebat hal-hal sepele semacam ini dengan Aya, tapi bukan sekarang.

Aya hanya melirik ke arah pintu kamar Steven ketika cowok itu menutupnya dengan gerakan kasar. Gadis itu menyesap kopinya sampai tak bersisa.

Tadi pagi saat Aya hendak sarapan, ayahnya datang dengan bau alkohol yang menguar kuat dari tubuhnya. Selera makan Aya seketika menguap dan suasana hatinya mendadak turun dengan drastis. Hal yang sama sering Aya temui beberapa waktu belakangan. Tapi sejauh ini tak ada yang bisa Aya perbuat. Segala macam nasihat tak mempan di telinga laki-laki itu. Namun, Aya sangat menyayangi ayahnya dan berharap akan ada keajaiban yang mengubah hidup mereka suatu hari nanti.

"Mana sarapanku?"

Suara itu berhasil menyadarkan Aya dari lamunan tentang ayah dan ibunya.

"Mi?" Steven terkejut ketika Aya menyodorkan sebuah mangkuk ke hadapannya.

"Kamu jadi memakai kemeja itu?" tanya Aya sembari menyelipkan sebuah senyum di balik bibirnya yang sedang sibuk menggigit kepingan biskuit. Ia merasa sedikit di atas angin saat melihat Steven memakai kemeja pilihannya, namun ekspresi yang ditunjukkan cowok itu sekarang bukan merupakan sebuah pertanda baik. Karena mangkuk berisi mi instan itu.

"Iya," sahut Steven tampak terpaksa. Cowok itu mengambil tempat duduk di seberang kursi Aya. "Kemeja aneh ini lumayan juga. Namanya artis, mau memakai apapun pasti bagus, kan?" Ia menyunggingkan senyum penuh bangga.

"Terserah," cebik Aya.

"Kenapa kamu membuatkan aku mi instan?" Barulah Steven protes pada managernya setelah selesai membicarakan kemeja kuning bermotif batang bambu itu. "Ini nggak sehat, tahu nggak?"

"Tapi nggak ada makanan yang tersisa di kulkas, Bos. Lagipula makan mi instan sesekali nggak pa pa, kan?" tandas Aya tegas.

"Bukannya kamu yang bertanggung jawab mengisi kulkas?"

"Sorry, aku lupa," ucap Aya pelan. Ia sudah melakukan kesalahan lagi. Kali ini entah untuk yang ke berapa. "Nanti aku akan belanja selama kamu syuting, bagaimana?"

"Biar Pak Jo aja," tukas Steven seraya memungut sendok dan garpu lalu mengaduk isi mangkuknya. "Kamu nggak bisa diandalkan kalau disuruh belanja."

"Kenapa? Bukankah wanita selalu tahu apa aja yang mesti dibeli untuk keperluan dapur?"

"Iya, tapi kamu selalu membeli barang-barang yang nggak perlu," balas Steven sambil mengunyah mi instan buatan Aya. Perutnya lapar dan aroma bumbu mi instan sudah merasuki pikirannya. Abaikan tentang diet dan kesehatan.

Aya terenyak. Ia merasa tuduhan Steven sama sekali tidak benar. Selama ini ia selalu selektif dalam membeli barang-barang kebutuhan Steven.

"Misalnya?" pancing Aya akhirnya, sebelum ia membebaskan diri sendiri dari tuduhan kejam Steven.

"Itu," tunjuk Steven ke atas meja. Tepatnya ke arah bungkus biskuit cokelat yang masih tergeletak di sana. "Aku nggak pernah menyuruh kamu untuk membeli mi instan, biskuit, dan kopi, kan? Itu namanya pemborosan, Aya. Atau kamu memang sengaja ingin memanfaatkan aku?"

Aya tergagap. Steven memang tak mengonsumsi kopi dan mi instan. Meski biskuit tak masalah untuknya, tapi Steven tidak pernah menuliskan makanan itu dalam daftar belanjaan yang harus dibeli Aya.

"Tapi mi instan menyelamatkanmu dari kelaparan, kan?" Aya mencoba membela diri. Faktanya Steven terlihat sangat menikmati isi mangkuknya.

"Itu karena kamu nggak bertanggung jawab, mengerti?" Steven sengaja membesarkan suara di ujung kalimat.

"Apa kita akan berangkat sekarang?" Aya melihat situasi terkini sangat tidak menguntungkan untuknya dan ia berinisiatif mengubahnya segera. "Pak Jo pasti sudah datang," ucapnya sambil bergegas mengangkat bekas peralatan makan kotor ke atas wastafel.

Steven hanya bisa memaki dalam hati melihat tingkah Aya yang semakin kurang ajar akhir-akhir ini. Tapi gadis itu benar, Steven harus bergegas atau ia akan mendapat omelan dari sutradara.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!