Pertemuan

Happy reading:)

Seorang pria tersenyum tipis saat memandangi sebuah photocard di tangannya.

Dia, Bryan Keanu Trafis. CEO sekaligus mantan Mafia. Tidak ada yang tau kalau pria berwajah tampan dan selalu menjadi trending topic itu adalah seorang mafia di masa lalu.

Bahkan media yang selalu mencari tau kehidupan pribadi Bryan, sama sekali tidak bisa mengendusnya.

Bryan terkenal dari segala kalangan. Dia pengusaha sukses di usia muda bahkan cabang perusahaannya sudah tersebar di berbagai negara. Wajahnya selalu menghiasi berita bisnis internasional.

Saat sibuk memperhatikan foto seseorang di tangannya, seorang pria berkulit putih dan berwajah tampan tiba-tiba masuk dengan raut kesal. Di belakangnya, disusul pria berwajah tegas bersalut jas hitam. Alis matanya tebal dan hidungnya mancung.

Jadilah ada 3 pria tampan dalam satu ruangan itu. Siapapun yang masuk ke dalam ruangan, dijamin akan dibuat oleng. Tapi tetap saja, Pria yang duduk di kursi itulah pemenangnya.

Siapa lagi kalau bukan Bryan.

BRAK!!

"Siapa yang menyuruhmu masuk tanpa izin?"

Tanya Bryan dingin. Dia tidak suka ada orang yang mengganggunya tiba-tiba.

"Maafkan saya Tuan. Tuan Steve memaksa masuk. Saya sudah berusaha mencegahnya."

Jelas Devano, asisten pribadi Bryan.

"Bryan.. kau keterlaluan. Aku bukan orang lain, aku ini pacarmu! Jadi aku bebas keluar masuk ruangan ini."

Tekan Steve.

Jangan kaget saat Steve menekankan kata kepemilikannya, karena dua pria tampan dalam ruangan itu.. mungkin saja hanya satu yang bisa menjadi harapan wanita. Karena dua dari mereka, punya hubungan yang tidak bisa disentuh wanita.

Seperti itulah rumor yang beredar luas. CEO tampan, kaya raya, dan paling diincar kaum hawa.. berpacaran dengan pemilik agensi terkenal. Bayangan tentang kekasih Bryan yang manis, kulit putih bersih, tinggi, memang benar. Kaya juga benar, tapi sayangnya bukan dari titisan kaum hawa.

Mereka, pasangan gay!

Pasangan fenomenal yang selalu jadi perbincangan hangat.

Kembali lagi pada Steve, saat ini pria itu menatap Devano kesal. Kalau saja bukan asisten Bryan, Steve pasti sudah melenyapkannya.

"Devano, keluarlah."

Titah Bryan. Devano hanya mematuhi perintah Bryan, dia membungkuk hormat lalu keluar dari ruangan itu.

.

.

"Katakan apa maumu."

Suara dingin nan tegas keluar dari mulut Bryan.

"Kau benar-benar pacar yang tidak pengertian. Aku mau kita pacaran layaknya orang normal berpacaran. Aku mau seperti itu, Bryan."

Tegas Steve sembari duduk di atas meja Bryan.

Untung bukan di pangkuannya. Steve juga tau itu, bisa langsung di depak dia.

"Hubungan kita saja sudah tidak normal."

Bathin Bryan.

"Jadi?"

"Aku mau kita kencan minggu ini. Jalan jalan ke mall, nonton film, makan ice cream, pokoknya aku mau kita kencan. Kencan sungguhan, sayang."

Steve memegang lengan Bryan dan merengek pada pacar kesayangannya.

Bryan spontan menepis tangan Steve, dia berjalan menuju sofa dan duduk di sana. Menyadari Bryan kesal karena dirinya yang duduk di atas meja, Steve mengikuti pacarnya yang duduk di sofa.

"Aku sibuk. Banyak hal yang lebih penting harus aku kerjakan. Kalau kau mau jalan jalan, pergilah dengan Devano. Jangan seperti anak TK."

Steve meradang. Dia mengambil pulpen di atas meja Bryan.

"Akhhh.."

"Steve!!" Teriak Bryan kaget melihat Steve menusukkan ujung pena ke telapak tangannya.

"Ini sangat nikmat. Lagipula apa peduli mu? Kau cuma mementingkan pekerjaan."

Ucap Steve penuh smirk.

Bryan berusaha menahan emosinya dan segera merebut pulpen dari tangan Steve, lalu mengobati lukanya.

"Minggu ini aku harus menghadiri sebuah acara di atas kapal pesiar."

"Kalau gitu aku ikut. Kita bisa berkencan di atas kapal pesiar. Pasti romantis."

Ucap Steve semangat. Dia bahkan tidak merasakan sakit di tangannya.

"Tidak bisa. Terakhir kali kau ikut, kau mengacaukan semuanya. Aku tidak ingin ada keributan."

"Kau membela mereka dan menyalahkan aku? Hei, mereka itu menatap mu lapar. Aku tidak suka. Kamu cuma milikku."

Bryan membuang muka. Kesal dengan keposesifan Steve yang semakin menjadi.

"Kalau kau tidak mau mengajakku, aku akan menggunting semua jariku dan menjadikannya kalung. Dan kau, akan memakainya."

Ancam Steve.

"Apa-apaan---"

Bryan menggeram, sejenak dia memejamkan matanya..

"Cihh! Baiklah. Kau boleh ikut tapi ku peringatan untuk menjaga sikapmu dengan baik. Satu hal, jangan terlalu menempel padaku. Sudah cukup orang-orang tau aku menyimpang, aku tidak mau ada kehebohan lain lagi."

Bryan menghembuskan nafasnya kasar lalu kembali duduk di kursi kerjanya.

Steve tersenyum menang. Baginya, Bryan adalah cintanya. Steve tidak peduli omongan orang lain kalau hubungan mereka salah. Yang Steve tau, dia mencintai Bryan.

.

.

.

"Bryan, aku bosan."

Rengek Steve setelah beberapa jam menunggu Bryan tapi tidak kunjung selesai. Pria itu masih sibuk dengan laptop dan kertas kertas di atas mejanya.

"Sudah kubilang aku sibuk. Kalau bosan, pergilah sana. Jangan ganggu aku."

"Pekerjaan mu lebih penting dari aku? Kekasih macam apa dirimu?"

Bryan meletakkan dokumen yang dibacanya. Lalu menatap tajam Steve.

"Ini jam kerja. Pergilah. Kau bisa jalan jalan dengan Devano."

Sudah berapa kali Bryan mengusir Steve?

"Tapi aku maunya kau, Bryan."

"Jangan memancing kemarahan ku, Steve."

Steve mengalah. Dia lihat Bryan memang benar sibuk.

"Oke. Aku akan keluar. Jangan lupa makan siang nanti temui aku di Kafe."

"Hmm"

Steve lalu mendekat pada Bryan dan mencium pipi pria itu. Karena Bryan selalu menolak dan akan marah kalau ada orang yang mencium bibirnya. Kecuali Steve melakukannya saat Bryan tidur.

"Peluk."

Pinta Steve manja. Bryan pun melebarkan tangannya dan memeluk Steve.

"Aku pergi dulu. Byee."

Setelah Steve keluar, Bryan kembali mengeluarkan photocard yang sempat dia sembunyikan saat Steve datang.

"Cukup melihatmu, bebanku seketika hilang."

***

Hari minggu apalagi ditambah libur panjang adalah hal yang paling ditunggu anak sekolah.

Termasuk Maura dan Friska. Mereka sudah ada di atas kapal pesiar sejak kemarin sore.

"Wahh.. pemandangan laut dari atas kapal sangat indah. Masalah gue berasa hilang dalam sekejap."

"Lo tau nggak, laut itu luas. Masalah yang menimpa lo cuma sebutir serpihan batu karang. Gak cuma lo yang punya masalah, Ra. Lihat laut, seluas ini.. sudah sebanyak apa hal yang udah terjadi sama dia?"

Maura tidak menjawab pertanyaan Friska. Pandangannya terus mengarah pada keindahan laut lepas. Dia tau, dia bukanlah orang yang paling menderita di dunia ini.

Tapi, menjadi anak yang tidak diinginkan, terlahir karena ulah kakeknya yang memasukkan obat perangsang, tidak pernah dapat kasih sayang dari mereka yang dia sebut orang tua, menjadi bahan ambisi kakeknya, diselingkuhi pacar bahkan bercinta di depan matanya sendiri, lalu kakeknya akan segera menikah dengan wanita yang ternyata adalah seniornya sendiri sekaligus selingkuhan pacarnya. Ralat. Mantan pacar sekarang.

Apakah itu belum cukup membuktikan seberapa menderita hidupnya?

Kehidupan yang bagaimana harus dia syukuri?

"Woi.. ngapain bengong lo? Entar kesambet jin laut. Ohh.. atau lo ada niat buat bundir, ya?"

Maura menjitak kening Friska. Hidupnya memang menderita tapi bukan berarti dia harus bunuh diri.

"Mulut lo minta disuapin air laut."

"Heheh.. sorry."

"Eh emangnya malam ini ada acara ya di atas kapal?"

"Iya ada. Dan lo tau siapa salah satu tamu pentingnya?"

"Siapa?"

"CEO yang pernah datang ke sekolah kita!! Gila gak tuh."

Maura terkejut. CEO gay itu?

"Yang lo bilang belok itu, ya?"

"Jangan keras keras. Informasi aja nih, pacarnya itu juga ikut. Mana ganteng banget lagi. Sayang banget deh, dua cowok ganteng incaran para cewek cewek malah menyimpang."

"Lo gak boleh gitu. Kalau saling cinta ya bisa apa?"

"Apa semua cowok ganteng gitu ya? Terus gue sama siapa entar kalau mereka tertariknya sama yang sejenis?"

Maura menggeplak Friska kencang.

"Omongan lo dijaga. Udah ah, gue mau ke kamar. Capek. Mau tidur."

"Gak ikut buat acara nanti malam?"

"Ngapain? Diundang kagak."

"Ini nih manusia kudet. Buat kita kita yang VIP bisa ikut acara itu. Rugi banget kalau gak ikut. Kali aja ada pria kaya raya yang terpikat sama gue. Lo juga, move on dari mantan lo yang katanya teladan sekolah tapi ngena di labor. Miskin amat."

Maura tidak mempedulikan perkataan Friska lagi dan bergegas menuju kamarnya.

"Maafin gue, Ra."

Gumam Friska setelah kepergian Maura.

Saat berjalan menuruni tangga, Maura tidak sengaja menyenggol seseorang sampai dia hampir saja terjatuh. Untungnya orang itu segera menangkap pinggang Maura.

"Kamu.."

Maura menjauhkan tubuhnya dari orang itu, yang tak lain adalah Hans.

"Hai sayang.."

"Gue kesini tujuannya biar lupain masalah. Tapi malah ketemu mantan yang buat hidup gue uring-uringan."

Maura mendecih,

"Sayang? Lo masih manggil gue sayang? Udah gak ada otak lo, ya?"

"Maafkan aku, Maura."

Hans menarik tangan Maura sebelum gadis itu pergi.

"Mulai sekarang kita gak ada urusan apa-apa lagi. Jangan pernah lo tunjukin muka lo di hadapan gue. Kita, end!!"

Maura menghempaskan tangan Hans, berlari secepat mungkin sambil menghapus air matanya yang terus mengalir.

"Lo gak boleh menangisi cowok brengsek itu, Maura!!"

Maura terus menyemangati dirinya.

Malamnya, sebuah ruangan khusus telah di desain seelegan mungkin. Banyak tamu tamu penting dari berbagai kalangan hadir.

Sedangkan di sebuah kamar, Maura masih tiduran sambil membaca komik favoritnya.

Tentu saja untuk melupakan kejadian tadi.

"Ra.. ayo!! Gue mau liat acaranya."

"Males ah. Gue mager. Lagi asik baca komik juga."

"Gak ada tapi tapian. Nih, dress buat lo. Kita kesana sekarang. Gue tunggu 10 menit."

"Tapi--"

Friska sudah meninggalkan Maura sambil tersenyum puas.

"Anak itu.."

.

.

.

"Hai."

Sapa seorang pria. Dia sangat kagum pada gadis di hadapannya. Cantik dan seksi.

"Hai om."

Balas Friska setelah melihat Maura tidak menjawab sama sekali.

"Jangan panggil om, manis."

"Hahah.. maaf ya--"

"Aldo. Call me Aldo."

Pria bernama Aldo itu mengulurkan tangannya.

"Friska. Dan ini Maura."

"Nama yang sangat cantik."

Maura memutar bola matanya malas. Jujur saja dia risih harus berada di tengah pesta seperti ini. Apalagi tatapan para pria tak hentinya mengarah padanya. Semua karena Friska, yang memberikan dress cukup terbuka.

.

.

"Lihatlah wanita yang disana, mereka sangat cantik."

Ujar Mr.Gibran pada rekan bisnisnya, Bryan Keanu. Di Samping Bryan juga ada Devano. Sedangkan Steve, dia izin ke toilet katanya.

Bryan lalu mengarahkan pandangannya pada gadis yang ditunjuk Mr. Gibran. Pria beristri itu ternyata juga buaya.

"Dia.."

Gumam Bryan terkejut.

"Aku tidak menyangka ada tamu secantik mereka. Apalagi yang itu, leher jenjang dan baju polosnya sangat menggoda."

Puji Mr.Gibran lagi sambil menunjuk gadis yang ternyata Maura.

"Sepertinya mereka bukan tamu khusus acara ini."

Komentar Devano yang diangguki Mr.Gibran.

Bryan masih menatap tajam gadis yang ditunjuk Mr.Gibran.

Dari kejauhan, Maura merasa ada pasang mata yang mengawasinya.

"Ra, arah jam 10. CEO ganteng itu liatin lo dari tadi."

Bisik Friska. Maura melihat sekilas dan benar saja. Untuk beberapa saat mata mereka bertemu dan Maura segera mengalihkan pandangannya.

"Ka, gue mau ke kamar."

"Kan acaranya baru aja mulai."

"Gue mau ke kamar pokoknya."

"Ya udah deh. Tapi kita minum dulu. Gue haus. Lagian rugi gak cobain makanan sama minuman disini. Pasti mewah dan enak banget."

"Terserah deh. Yang penting kita cepat pergi dari sini."

.

.

Pukul 21.00

"Aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Aku mau kita seperti pasangan lainnya. Meskipun kau menolak, aku mau kita tetap melakukannya."

Steve merencanakan sesuatu untuk Bryan. Menjebak pria itu agar mau melakukan hubungan seperti pasangan pada umumnya.

"Malam ini, Bryan akan jadi milikku seutuhnya."

***

"Friska dimana, ya? Apa dia udah ke kamar duluan? Kenapa gue ditinggal sendiri? Mana kepala gue pusing banget lagi."

Maura berjalan sempoyongan menuju kamarnya. Setelah minum tadi, Friska pergi berbicara dengan seorang pria. Maura pun memutuskan untuk ke kamar sendiri.

Tapi baru beberapa langkah, kepalanya sudah sangat pusing. Dan dia.. mengambil arah jalan yang salah. Maura menuju kamar orang lain.

Disisi lain..

"Dimana Bryan?"

Tanya Steve pada Devano.

"Dia ke kamar sebentar. Katanya ada barang yang ketinggalan."

"Oh bagus. Jadi aku tidak perlu susah payah mengajaknya."

"Maksud anda?"

"Kau tidak perlu tau."

Steve menyeringai. Namun beberapa saat kemudian, wartawan datang entah darimana dan menyerbu Steve. Steve yang tidak ada persiapan kewalahan meladeni para wartawan itu, apalagi dia seorang diri. Ekspresi senangnya tadi, berubah jadi ketakutan.

"Aku akan memanggil Tuan Bryan segera."

Ucap Devano lalu meninggalkan Steve. Dia tau kekasih bosnya itu dalam keadaan panik. Dan kalau sudah seperti itu, Steve akan diluar kendali.

"Rasakan."

Bathin seorang wanita yang berdiri disudut ruangan.

Terpopuler

Comments

Zahira

Zahira

Buset Steve pacarnya Bryan 😲😪 pokoknya kawal Bryan Maura thorrr

2021-09-28

0

~ziaaa~

~ziaaa~

duh..msh banyak yg bikin penasaran thorr...

2021-09-22

0

Helen Apriyanti

Helen Apriyanti

lnjutttt... wahh Bryn mlihat fhoto siapa yh ...
trz ada Cwek yg mmndang dr jauh siapa kh dia .. pnsran ....smngtttt thorr

2021-08-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!