Semua berjalan sesuai dengan takdirnya masing-masing. Manusia hanya bisa menjalani nya seperti air mengalir. Walaupun tidak ingin seperti ini dan itu, tapi jika takdir sudah berkata, maka tidak ada yang bisa mengubahnya.
Satu hal yang tidak pernah terpikirkan oleh Nara adalah mempunyai anak di luar nikah, tanpa suami yang menemani. Menanggung hinaan seorang diri. Dan menjadi ibu di usia muda.
Dulu, Nara sangat ingin merasakan memiliki keluarga kandung. Tuhan memang mengabulkan keinginan nya, tapi dengan cara yang tidak pernah ada di dalam benak Nara.
Nara melanjutkan langkahnya dan kemudian membuka pintu, dilihatnya kedua anaknya sudah bangun dan sedang duduk didepan televisi.
''Kalian udah bangun?'' tanya Nara tanpa berhenti dan menuju dapur untuk menaruh sayuran yang baru dia beli di kulkas.
''Udah, Bun, pagi ini kita udah ada janji mau pergi sama om Fahmi,'' jawab Nessa sambil mengikuti langkah Ibunya.
Nada bicara kedua anak Nara sudah lancar, padahal usianya baru empat tahun lebih. Tapi, Nara pikir bahwa pertumbuhan mereka memang cepat. Jadi Nara tidak memusingkan hal itu.
"Ya sudah, sekarang lebih baik kalian mandi."
Mereka mengangguk, kemudian berjalan masuk ke dalam kamar. Setengah jam berlalu dan kedua anak Nara keluar dari kamar dengan memakai pakaian santai.
Nessa adalah anak pertama Nara, wajahnya sangat putih dan cantik. Hampir sama dengan dirinya, tapi wajah Nessa dan Nara tidak begitu mirip. Nara berpikir, mungkin wajah Nessa kebanyakan mirip dengan ayahnya.
Apalagi saat melihat wajah Nevan, hidung yang mancung dengan kulit yang putih serta bibir yang merah itu tidak ada kemiripan dengan Nara sama sekali.
Nara yang sedang membuat roti untuk kedua anaknya mendengar pintu rumahnya di ketuk. Nevan yang juga mendengar itu segera pergi membuka pintu.
''Om Fahmi, udah dateng? Masuk dulu Om.'' Kemudian Nevan dan Fahmi duduk diruang tamu.
''Mau minum dulu nggak, kak?''
''Enggak, usah. Kita mau langsung aja.'' Fahmi menoleh ke arah Nevan. Dan Nevan hanya mengangguk.
''Ya sudah, tapi kalian berdua makan roti dulu, yang udah Bunda siapin tadi,'' ucap Nara seraya menunjuk ke arah Nevan dan Nessa.
Mereka mengangguk, hanya dalam waktu lima menit, Kedua anak Nara sudah menghabiskan roti buatan Nara dan meminum segelas susu yang sudah disiapkan.
Nara mengantarkan mereka sampai depan pintu dan kemudian kembali masuk kedalam rumah. Matanya melirik ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi.
Sebentar lagi waktunya Nara untuk berangkat ke butik, tapi dia masih belum mandi. Rumah juga belum dia sapu dan bersihkan.
Nara mendesah pelan, tadi dia bangun kesiangan karena semalam dia tidur terlalu malam dan sekarang tubuhnya masih terasa lelah. Tidak apalah sekali-kali dia sedikit terlambat, begitu pikirnya.
Saat sedang bersih-bersih, bola mata Nara sempat melirik kearah kalender. Seketika dia baru teringat kalau hari ini adalah hari minggu, pantas saja Kedua anaknya tadi masih santai dan pergi dengan Fahmi.
"Ah, masa aku udah kena faktor U? Umur tiga puluh juga belum." Nara menggelengkan kepalanya.
Efek kelelahan membuatnya sedikit lebih pelupa. Butik nya juga setiap hari minggu akan tutup, jadi buat apa dia pergi ke butik? Sungguh, kali ini Nara benar-benar merasa lelah hingga mempengaruhi daya ingatnya.
Terdengar suara motor mendekati rumah Nara saat Nara sedang duduk santai di depan televisi dengan camilan di depannya, setelah selesai membersihkan seluruh rumahnya, dia tidak mempunyai ART karena rumah yang Nara punya juga hanya satu lantai. Membersihkan rumah sendiri masih sanggup Nara lakukan.
''Ara, sayang ...''
Nara menutup kedua telinganya saat tau siapa yang menjadi tamunya, suara Kiki yang dari dulu tidak pernah berubah dan masih sama, cempreng.
''Masih pagi, nggak usah ribut di rumah orang,'' Nara menurunkan tangannya dari telinga dan melanjutkan acara ngemilnya yang sempat tertunda karena suara teriakan Kiki.
Kiki hanya nyengir mendengar ucapan Nara, dia ikut mendudukkan dirinya di samping Nara dan ikut memakan camilan yang ada di depan Nara.
''Yaelah, sama sahabat sendiri aja gitu amat, Ra!''
Nara tidak mendengarkan ucapan Kiki, dia hanya diam sambil menyimak berita yang sedang di tonton nya.
''Eh ... Ki!'' Kiki menoleh ke arah Nara saat Nara memanggilnya.
''Kenapa?''
''Itu ...'' Nara menunjuk ke arah televisi, yang mana membuat Kiki keheranan.
''Kenapa emangnya?''
''Itu, laki-laki yang lagi viral, yang katanya pengusaha sukses yang masih muda.''
''Terus kenapa?'' Kiki masih belum menangkap inti dari pembicaraan Nara. Apakah ada yang salah dengan pengusaha itu?
''Masih nggak nyadar juga?'' Kiki hanya menggeleng, dia memang belum menyadari apa maksud perkataan Nara. Dan Nara hanya bisa menghela napas.
''Laki-laki yang lagi viral itu, menurut kamu, keliatan mirip sama Nevan nggak sih?''
Sontak perkataan Nara membuat Kiki ikut melihat apa yang tadi Nara lihat. Ah! ternyata benar, Kiki juga merasa kalau apa yang dikatakan oleh Nara itu tidak salah. Pengusaha yang sedang viral di televisi itu wajahnya hampir sama dengan Nevan putra Nara.
''Beneran deh Ra, dia mirip banget sama Nevan. Jangan-jangan, dia ayah kandungnya Nevan?!''
Nara diam, benarkah laki-laki yang sedang dia tonton adalah Ayah dari anaknya? Tapi, buru-buru Nara menggelengkan kepalanya, tidak ingin berpikir macam-macam. Mungkin saja mereka hanya mirip. Mirip bukan berarti keluarga kandung, 'kan?
''Bukan berarti dia Ayahnya anak-anak 'kan? Palingan cuma mirip doang!"
Kiki menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ''iya juga sih. Tapi beneran mirip lho Ra.''
''Kalau dia beneran Ayahnya anak-anak, terus aku bisa apa? Minta tanggung jawab? nggak mungkin.'' Nara tersenyum kecut, hidupnya sudah penuh dengan drama tapi masih belum bisa mencapai kesempurnaan.
Nara berpikir, mungkin hidupnya memang sudah ditakdirkan begini. Menyedihkan menurutnya, dari kecil tidak pernah mendapatkan kasih sayang seorang Ayah, walaupun dia juga mendapat kasih sayang Ibu dari Bu Mira, tapi tetap saja rasanya masih kurang.
Nara juga tidak pernah merasakan rasanya memiliki orang tua kandung. Dan saat ini dia juga masih tidak bisa membuat anaknya mendapatkan seorang Ayah.
Kiki mengerutkan dahi, heran. ''Kenapa nggak bisa minta tanggung jawab? Harusnya kan dia nikahin kamu biar status Nevan sama Nessa jelas. Terus kamu juga udah nggak harus nanggung hinaan lagi, Ra.''
''Mau minta tanggung jawab gimana? kamu nggak tau kalau laki-laki itu udah punya istri?''
''HAH!!''
Teriakan Kiki membuat telinga Nara merasa berdengung. Apalagi saat ini Kiki tepat berada di samping kanannya dan hanya berjarak beberapa centimeter saja. Nara mengusap-usap telinganya saat masih terasa berdengung. Menurutnya reaksi Kiki sangat berlebihan
''Tapi, kamu tau dari mana kalau laki-laki itu udah punya istri?''
Nara memutar bola matanya malas. ''Makanya, liat dulu baru ngomong. Kamu liat sendiri ... ''
Nara menghentikan ucapannya dan tangannya menunjuk ke arah TV. Kiki dengan reflek ikut mengarahkan pandangannya.
''Kamu liat perempuan di sana?'' tanya Nara.
Kiki mengangguk. ''Dia istrinya!'' ucap Nara singkat, lagi-lagi Kiki menoleh ke arah Nara. Merasa kasihan dengan kehidupan sahabatnya. Seharusnya laki-laki itu bertanggung jawab dengan menikahi Nara dan memberikan status dengan jelas kepada anaknya.
Tapi sekarang malah laki-laki itu sudah menikah. ''Ra, sekarang aku berharap bukan dia ayahnya anak-anak.''
Nara menatap Kiki dengan heran. ''Kenapa? bukannya tadi kamu yang minta dia yang jadi Ayah kandungnya anak-anak?''
''Nggak jadi. Kalau dia beneran Ayah kandungnya anak-anak, terus nasib kamu gimana? Sedangkan dia udah punya istri. Nggak mungkin kan kamu minta dia buat jadiin kamu istri kedua?''
Sontak Nara memukul lengan Kiki dengan keras sampai Kiki meringis merasakan pukulan dari sahabatnya.
''HEH!! Kamu pikir aku perempuan apaan? Walaupun dia ayah kandungnya anak-anak juga udah terlambat buat kasih tau. Gimana kalau dia juga udah punya anak? Terus nasib anak aku gimana? Mereka bakal diketawain. Mendingan nggak usah kasih tau dia, aku masih sanggup buat ngerawat anak-anak sendiri.''
Kiki merasa bersalah setelah mendengar ucapan Nara, padahal niatnya tadi hanya bercanda, tapi Nara malah menganggapnya serius. Apa perkataannya keterlaluan? sampai reaksi Nara seperti itu.
''Ma-maaf Ra, aku tadi cuma bercanda jangan di anggap serius.''
Nara mendengus, ''kamu bercandanya keterlaluan, tau nggak?''
''Iya, aku kan udah minta maaf."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
♔︎𝐐𝐮𝐞𝐞𝐧♔︎ ఌ︎𝐳𝐡𝐞𝐞☻︎
𝙗𝙤𝙤𝙢 𝙡𝙞𝙠𝙚 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙢𝙪
𝙨𝙪𝙠𝙨𝙚𝙨 𝙨𝙚𝙡𝙖𝙡𝙪 💞
2021-11-08
3
Jans🍒
likee kak
2021-08-17
1
Muara
bagus thor lanjutin aj, nanti jg bakal byk yg baca
2021-08-16
1