Ibu mengusap air matanya, mendengar cerita putrinya sungguh membuat hati wanita paruh baya itu teriris. Sungguh dia tidak bisa membayangkan jika dirinya yang ada di posisi Nara, mungkin saja dia sudah tidak kuat lagi.
Ibu kembali memeluk Nara dan memenangkannya, bahwa semua akan baik-baik saja. Saat ini, ibu Mira hanya bisa menenangkan Nara.
Air mata terus menetes membasahi pipi mulus Nara, pikirannya saat ini sedang kacau. Dia sudah ternoda, wanita seperti dirinya tidak lagi pantas untuk hidup.
Tapi, Nara masih belum cukup puas dengan kehidupan yang ada di dunia ini. Dia belum merasakan dunia yang sesungguhnya. Pikirannya kembali waras, tidak ingin mati lebih dulu dan malah menanggung dosa. Walaupun dirinya memang sudah berdosa, tapi Nara berusaha untuk tidak menambah dosanya.
Waktu berjalan begitu cepat, kesedihan Nara perlahan hilang. Aktivitas nya pun sudah seperti biasa walaupun rasa trauma itu masih ada. Tapi waktu ternyata bisa menghapus luka. Meski tidak sepenuhnya.
Pekerjaan serta kuliah Nara masih berlanjut. Dan tentu saja, kejadian saat itu hanya Nara dan Ibunya yang tahu. Siang ini, Nara dan sahabatnya Kiki sedang bekerja. Sebentar lagi waktunya makan siang.
Perut Nara berbunyi saat itu juga. Ternyata rasa lapar sudah lebih dulu datang. Tapi waktu istirahat masih ada sepuluh menit lagi. Hanya sepuluh menit, Nara masih bisa menahannya.
"Ki, buruan temenin aku beli martabak. Perut aku udah laper banget!" keluh Nara. Waktu istirahat sudah lebih dari lima menit yang lalu tapi Kiki masih santai dengan pekerjaannya.
"Iya, bentar lagi selesai." Kiki menaruh kardus berisi pakaian itu ke gudang. Kemudian kembali ke tempat Nara berada.
Mereka berdua berjalan keluar, Nara yang memimpin jalan itu membawa Kiki ke tempat penjual martabak di pinggir jalan. Kening Kiki berkerut kala mengetahui ada sesuatu yang salah.
"Eh ... eh ... tunggu dulu!" Kiki menahan pergelangan tangan Nara. Nara menatap Kiki dengan heran seakan berkata, ada apa?
"Mau beli martabak?" Nara mengangguk.
"Kok tumben?"
Nara sudah sangat kelaparan, dia mengabaikan pertanyaan Kiki. Kakinya melangkah ke tempat penjual martabak kemudian memesan dengan tiga rasa, keju, kacang, dan coklat.
Mereka berdua duduk di kursi yang sudah di sediakan. Tidak menunggu waktu yang lama, martabak pesanan Nara sampai. Dengan mata berbinar dan air liur yang hampir menetes, Nara langsung mengambil martabak panas yang baru saja di angkat dari loyang kemudian memakannya dengan lahap.
Kiki menelan ludah, melihat Nara yang baru pertama kali memakan martabak itu masih tidak percaya. Apalagi saat melihat bagaimana cara Nara memakannya. Perutnya sudah terasa kenyang sebelum di isi.
"Ra, enak banget ya?"
Nara mengangguk, mulutnya penuh jadi dia tidak menjawab pertanyaan Kiki. Sampai martabak itu habis di makan oleh Nara, dan Kiki hanya memakan dua potong kecil.
Mereka melanjutkan pekerjaan dengan perut yang sudah kenyang. Tapi Kiki masih tidak percaya, Nara yang sejak dulu tidak menyukai martabak sekarang malah dengan semangat menghabiskan tiga loyang martabak itu sekaligus.
Sampai waktunya pulang kerja, Kiki mengantar Nara pulang ke panti. Setelah itu, dia baru melanjutkan perjalanannya dan pulang ke rumahnya. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore saat mereka baru saja Sampai di panti asuhan.
"Makasih ya, Ki. Udah nganterin aku. Aku masuk dulu."
"Iya, sama-sama. Kalau gitu aku duluan, ya."
"Iya ..."
Setelah memastikan kendaraan Kiki sudah tidak terlihat Nara pun memasuki rumahnya. Di sana Nara sudah ditunggu oleh Ibu Mira serta adik-adiknya. Karena tubuh yang berkeringat Nara langsung pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Hari ini dia benar-benar merasa lelah.
Saat baru saja masuk kamar mandi perutnya tiba-tiba merasa mual, ibu Mira yang kebetulan sedang lewat itu mendengar suara Nara yang sedang muntah-muntah.
Khawatir dengan keadaan anaknya, ibu Mira dengan cepat memasuki kamar mandi dan melihat Nara sedang mengeluarkan isi perutnya. Ibu Mira membantu Nara dengan memijit tengkuk Nara, setelah beberapa saat tubuh Nara terkulai lemas di lantai.
"Kamu nggak apa-apa, Nak?"
"Nggak, aku nggak papa Bu. Aku cuman mual saja." Nara menjawab sekenanya, tubuhnya sudah lemas serta wajahnya pun terlihat pucat.
"Oh ya udah, sekarang kamu istirahat, ya. Nanti biar Ibu bawakan makanan kesini."
Nara mengangguk, tapi sebelum itu dia melanjutkan acara mandinya yang belum selesai.
Ternyata bukan di hari itu saja Nara merasa mual dan muntah-muntah. Di hari berikutnya pun begitu, sungguh Nara sendiri baru pertama kali merasakan kejadian seperti ini. Tentu saja hal itu membuat Nara begitu tersiksa akibat mual dan muntah nya yang sering terjadi di pagi hari.
Sudah lebih dari seminggu Nara mengalami muntah-muntah, tentu saja hal itu membuat Ibu Mira merasa curiga, Nara bukan sakit karena Ibu sudah pernah membawa Nara pergi berobat ke puskesmas. Tapi ada sesuatu yang lain.
Pagi itu, setelah selesai mengantarkan sarapan ke kamar Nara, ibu Mira pergi menuju apotek dan membeli sesuatu untuk memastikan kecurigaannya. Tapi, dalam hatinya berharap bahwa kecurigaannya salah.
Saat sudah sampai di rumah, dengan cepat ibu Mira masuk ke dalam kamar Nara. Terlihat kalau Nara sedang tertidur. Ibu mendekat, melihat wajah Nara yang pucat sungguh membuatnya tidak tega.
Sebagai seorang Ibu, yang dia inginkan hanyalah kebahagiaan bagi putrinya. Memang bukan dia yang melahirkan Nara, tapi kasih sayangnya sudah seperti kasih sayang seorang Ibu pada umumnya.
Ibu Mira menahan air matanya agar tidak menetes, sekali lagi, dia berharap bahwa dugaan nya salah. Ibu Mira tidak sanggup bila kedepannya Nara akan menanggung hinaan yang mungkin bisa melukai mental Nara.
''Ra, bangun, Nak.'' Ibu menggoyangkan tubuh Nara, dia ingin langsung memastikan dugaannya benar atau tidak.
Nara menggeliat, dia membuka matanya perlahan dan melihat Ibunya. Kemudian bangkit dan duduk.
''Kenapa, Bu?''
''Ibu mau tanya,'' sebenarnya sedikit ragu untuk bertanya tapi dia harus memastikan bahwa dugaannya salah.
''Tanya apa?''
''Bulan ini sudah PMS belum?''
Nara menatap Ibunya bingung, kemudian mulai mengingat-ingat. Seketika matanya membola. Nara baru menyadari kalau sudah telat hampir dua minggu.
''Ah! iya Bu, Nara udah telat hampir dua minggu. Tapi kenapa ya, Bu?''
''Apa?? Hampir dua minggu?'' kekhawatiran nya menjadi, tidak mungkin kan?
''Coba kamu ke kamar mandi terus tes pakai ini'' Ibu memberikan dua tespek kepada Nara, yang mana malah membuat Nara semakin terkejut.
''Bu, i-ini buat apa?''
''Kamu test aja dulu nak, habis itu kita lihat hasilnya'' walaupun ragu, tapi Nara tetap mematuhi perintah Ibunya.
Setelah beberapa saat, Nara keluar dan menghampiri Ibunya yang sudah menunggu dengan cemas. Dadanya berdegup dengan kencang.
''Gimana?'' tanya Ibu, Nara yang memang belum melihat hasilnya pun langsung mengangkat tangannya dan memperlihatkan hasil yang sudah ditunggu oleh sang Ibu.
Dan, kembali dikejutkan. Ternyata ... Dua Garis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Sumarni Al Fa
wanita yg kuat
2023-01-02
0
ynynita
Nara tangguh, semagat...
2021-11-16
2
Isma Wati
next👍
2021-11-11
1