Masih Mencari

Hari terus berganti dan tidak terasa lima bulan telah berlalu. Tapi Devan masih belum juga menemukan keberadaan Serra. Devan juga telah menyewa seseorang untuk menemukan keberadaan wanita itu namun hasilnya tetap nihil.

Devan tidak tau lagi kemana Ia harus mencari Serra, wanita itu seperti lenyap di telan bumi. Sudah berkali-kali Devan mendatangi bar tempat Serra bekerja tapi hasilnya sama saja, semua mengatakan bila gadis itu masih mengambil cuti dan tidak ada yang tau kapan dia akan kembali. Dan tentu saja hal itu membuat Devan semakin frustasi.

Seperti malam-malam sebelumnya. Selalu kekosongan yang Devan rasakan, ibarat langit malam tanpa bulan yang selalu tertutup awan dan juga gemerlip bintang. Masih tetap menunggu, meskipun sebenarnya menunggu adalah hal yang paling Devan benci namun kali ini Ia akan tetap menunggunya. Menunggu gadis itu kembali. Meskipun Devan sendiri tidak tau sampai kapan Ia akan tetap menunggu.

Angin malam bertiup lirih, mengibarkan helaian rambutnya. Di dalam remangnya kegelapan malam, iris matanya yang di lapisi lensa abu-abu menatap para pejalan kaki maupun kendaraan yang sedang berlalu lalang.

Awan hitam bergerak perlahan, membuka tirai tipis yang menghalangi cahaya bulan untuk sampai ke bumi. Menghantarkan rasa hangat yang menenangkan hati, menghela nafas berat.

Ingatannya membawa Devan kembali pada kejadian lima bulan yang lalu. Malam panjang di mana Ia mengetahui satu fakta bahwa wanita yang selama ini Ia kira ****** yang tidak ada bedanya dengan para penjajah cinta di club tempatnya bekerja.

Namun dugaan Devan ternyata salah. Serra masih perawan dan parahnya lagi dialah yang merengut keperawanannya. Ia merasa seperti orang yang paling jahat di dunia karena telah merenggut sesuatu yang paling berharga yang selama ini berusaha Serra jaga. Tapi ada satu hal yang menjadi pertanyaan Devan yang hingga detik ini sampai mengganggu fikirannya.

Apa alasan wanita itu sampai rela memberikan harta paling berharga miliknya pada Devan? Mungkinkah Ia ingin memberikan hukuman pada Devan? Atau karena ada alasan lain? Itulah jawaban yang harus Devan cari.

"Aarrgghhh," Devan menggeram frustasi.

Menjambak rambutnya lalu mengacaknya kasar. Devan mendesah lelah, mendongakkan wajahnya memandang langit malam yang di taburi bintang. Kepulan asap putih menguar seiring nafas yang Devab hembuskan. Sungguh ini bukan dirinya, kadang ia berfikir apa yang terjadi pada dirinya.

Drettt .. drettt .. drettt ...

Atensi Devan teralihkan saat merasakan getaran pada benda tipis yang ada di saku celananya. Devan mengeluarkan benda itu dan mendapati nama Aron tertera di layar ponselnya. Devan menyernyit, tidak biasanya Aroan menghubunginya di waktu-waktu seperti ini.

"Ada apa?" Tanyanya tanpa basa basi.

'Dev, aku dan Hwan, ada di klub. Segeralah kesini, sudah lama kita tidak kumpul-kumpul,'

"15 menit lagi aku tiba di sana," Devan memutuskan sambungan telfonnya secara sepihak.

Dan bisa Devan tebak, pasti di seberang sana Aron menggerutu tidak jelas karna ulahnya. Dan Devan terlalu malas untuk memikirkannya.

Devan memperhatikan penampilannya. Ia mendengus lelah, masih dengan pakaian kantornya karena Ia belum sempat pulang kerumahnya. Devan langsung mampir ketaman ini untuk bersantai dan menjernihkan fikirannya. Mungkin sebaiknya Ia pulang lebih dulu, Ia butuh mandi dan mengganti pakaiannya yang lebih santai.

.

.

.

Devan terlihat lebih segar setelah membersihkan tubuhnya, tubuh atletisnya hanya terbalut handuk yang melilit di pinggangnya. Rambutnya basah dan jatuh menempel di wajah tampannya. Devan berjalan menuju ruangan khusus dimana Ia menyimpan semua pakaiannya.

Berdiri di antara pakaian-pakaian yang berjajar rapi, memilih pakaian mana yang Ia kenakan malam ini.

Matanya terus memilih, dan pilihannya jatuh pada jeans hitam panjang, kemeja putih berlengan dan waistcoat lengan terbuka panjang bergaris putih.

Setelah dress up dengan pakaian pilihannya. Devan segera berdiri di depan cermin untuk melihat jika ada yang kurang. Tak lupa dia juga memasang tiga pierching di kedua telinganya sebagai sentuhan terakhir pada penampilannya.

Lengan kemeja yang di gulung sampai atas siku, dua kancing teratas yang di biarkan terbuka. Di jamin, para wanita di luaran sana akan menjerit histeris melihat bagaimana tampannya seorang Devan Alvaro.

"Hyung, kau mau pergi?" tegur Rio yang baru saja keluar dari kamarnya di ikuti Rico yang kemudian berdiri di sampingnya.

Alih-alih menjawab pertanyaan Rio, Devan malah memperhatikan penampilan sikembar. Mereka terlihat rapi seperti bersiap untuk pergi. Oya, Hyung kita hampir lupa. Kita berdua mau mengerjakan pr di rumah Hwan hyung, bersama Evan, dan Minna."

Seolah mengerti isi kepala kakaknya, Rio segera menjelaskan sekalian meminta ijin.

Devan melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Hanya sampai jam 9 malam. Kalian harus tidur lebih cepat karena besok harus bersekolah. Jangan kebut-kebutan jika tidak ingin kusita mobil kalian," nasihat Devan memperingatkan.

Rio dan Rico hormat siaga dengan tubuh tegap setelah mendengar ceramah Devab. "Tentu, Hyung! Kalau begitu kita pamit dulu. Daaa, Hyung." Devan menggelengkan kepalanya melihat tingkah Rio dan Rico. Tersenyum kecil menyadari jika kedua adiknya itu bukan lagi balita berusia lima tahun.

Tidak terasa sudah 5 tahun Ia menjadi orang tua pengganti untuk si kembar semenjak kedua orang tuanya meninggal. Devan sangat keras dalam mendidik mereka agar menjadi orang yang berguna di masa depan. Devan selalu menanamkan nilai kedisiplinan dan rasa tanggung jawab yang besar. Seperti apa yang dulu di ajarkan kedua orang mereka padanya.

.

.

.

Devan tiba di bar tempat di mana Ia akan bertemu dengan kedua sahabatnya. Pria itu menyapukan pandangannya kesegala penjuru arah, namun Ia tak kunjung melihat batang hidung mereka berdua.

Tak ingin ambil pusing, Devan memutuskan untuk menunggu mereka di counter bar. Memesan segelas vodka pada bar tender didepannya.

"Lama tak datang, bagaimana kabarmu?" tanya bartender itu sambil memberikan minuman pesanan Devan. Ceo muda itu mengangkat wajahnya, menatap bartender itu datar tanpa berminat menjawab pertanyaannya.

"...."

"Aku fikir kau datang untuk bersenang-senang. Lima bulan terakhir ini bar menjadi sedikit sepi sejak Serra memutuskan untuk cuti,"

Dahi Devan berkerut mendengar ucapan sibartender. Ia bertanya-tanya apakah sebesar itu pengaruh Serra pada bar ini? Lalu bagaimana cara dia memuaskan para pelanggannya jika dia sendiri belum tersentuh sma sekali, setidaknya sampai malam itu.

Kemudian teringat pada perbincangan Serra dengan sahabat blondenya saat pertama kali Ia bertemu gadis itu, dan mereka membahas mengenai Serra dan kerja kerasnya untuk tetap menjaga kesuciannya meskipun dia bekerja di tempat yang tak seharusnya.

"Pasti kau lupa? Gadis yang sempat berbincang singkat denganmu sekitar lima bulan yang lalu. Dia adalah primadona di bar ini, banyak pelanggan yang memilih dirinya. Ya meskipun mereka tidak tau jika...!! Ahh sebaiknya kita tidak usah membahasnya."

Chen nama bartender. Pria itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Hampir saja Ia membuka kebenaran tentang Serra yang tanpa Chen sadari jika Devan telah mengetahui segalanya.

"Oh? Bukankah kau adalah orang yang datang kemari untuk bertemu, Serra?" Tegur Mino yang entah dari mana datangnya tiba-tiba sudah ada antara Devan dan Chen.

Chen tampak terkejut. "Benarkah? Kenapa aku tidak tau?" Mino mengangguk sebagai jawabannya.

"Malam itu kau tidak masuk dan kebetulan aku yang ada di sini," sahut Mino menjelaskan.

Chen mencoba mengingat-ingat mengapa Ia tidak masuk kerja malam itu. Seketika wajah Chen memerah setelah Ia mengingat semua kejadian malam itu hingga Ia membolos kerja.

"Aahhh, pasti saat aku mengalami diare parah," cicitnya tersipu

"Cihh," Mino mendecih, Ia tau benar apa alasan Chen tidak masuk malam itu hanya saja Ia terlalu malu untuk mengatakan yang sebenarnya.

Devan terdiam untuk beberapa saat, jika kedua pemuda ini adalah teman dekat Serra itu artinya mereka mengetahui di mana gadis itu tinggal. Dan itulah yang Devan fikirkan.

"Bisakah kalian memberitauku dimana, Serra, tinggal," ucap Devan tanpa basa-basi.

"Ehh?" Membuat kedua bartender itu terkejut dan menatap Devan bingung.

"Ada sesuatu yang ingin aku selesaikan dengannya, selama lima bulan terakhir ini aku mencarinya tapi nihil hasilnya,"

Devan menjawab kebingungan Chen dan Mino, tapi sebenarnya bukan itu yang menjadi pertanyaan mereka berdua melainkan alasan Devan ingin bertemu dengannya. Apakah telah terjadi sesuatu antara mereka berdua? Chen. memandang Devan dengan pandangan penuh selidik.

"Untuk apa?" tanyanya ingin tau.

Devan mendengus dan menatap Chen tidak suka. "Bukan urusanmu," katanya ketus Chen seperti tertikam belati melihat tatapan tajam Devan yang penuh intimidasi.

Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kemudian Chen mengambil secarik kertas dan menulis sesuatu di kertas tersebut yang kemudian Ia berikan pada Devan. "Ini adalah alamat baru tempat tinggal, Serra, kau bisa menemuinya di.....??"

"MIA, CUKUP. TAHAN EMOSIMU,"

.

.

BERSAMBUNG."

Terpopuler

Comments

Chika

Chika

Serra menghilang karena mamanya meninggal ya?

2021-08-14

2

Sesilia

Sesilia

Devan frustasi

2021-08-14

1

Ray

Ray

Devan prustasi

2021-08-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!