“Dean! Kapan kamu kasih nenek cicit? Kamu mau nunggu nenek mati dulu baru menikah?” tanya seorang wanita yang rambutnya sudah memutih semua pada lelaki tampan di hadapannya yang hendak meminum kopinya.
“Astaga, nenek kok ngomong gitu? Gak baik buat kesehatan nenek. Nanti Dean kawin kok, nenek tenang aja,” jawabnya dengan santai sambil menyeruput kopi hitam yang berada di cangkir mewah berwarna putih.
“Kamu ini! Kalau kawin duluan, nenek bakalan sunat lagi kamu! Awas aja kamu sampai buat belendung anak orang!” marahnya sambil menggetok kepala Dean dengan tongkat kayu yang selalu di bawanya untuk berjalan.
“Aduh! Sakit nenek, nanti wajah Dean rusak dan gak ada yang mau nikahin Dean gara-gara udah gak ganteng lagi!” serunya mengaduh kesakitan dan sang nenek hanya menggelengkan kepala, heran dengan kelakuan cucu satu-satunya itu.
“Nenek sudah malas sama jawaban kamu yang bilang nanti-nanti terus, wanita itu butuh kepastian! Kalau kamu tidak memberinya kepastian, mereka tidak akan pernah percaya lagi!” Dean melongo mendengar curhatan sang nenek yang tidak seperti biasanya, apakah dunia sedang tidak baik-baik saja saat ini? Tolong jelaskan pada Dean! Ada apa dengan nenek terimutnya itu.
“Nenek sehat?” kalimat itu terlontar begitu saja dari mulut Dean.
“Kamu lagi nyumpahin nenek?” tanya sang nenek dengan mengangkat tongkatnya.
“Bu-bukan, Dean kaget, nenek bisa puitis begitu,” cengirnya tanpa dosa.
“Sudahlah, nenek sudah lelah. Nenek mau… kamu harus menikah bulan ini! Nenek yang akan carikan calon istri kamu,” putus sang nenek yang terlihat sudah putus asa.
Dean menghela nafas, sebelum tersenyum sangat menawan yang mampu memikat kaum hawa. Dean memang
sangat tampan dan selalu menjadi pusat perhatian setiap kali dia berada. Aura yang misterius, membuatnya menjadi incaran wanita-wanita diluaran sana. Namun, Dean akan berbeda saat bersama keluarga. Dia menjadi sosok hangat.
“Kalau begitu, aku akan menyetujui. Asalkan…,” ucapan Dean menggantung, membuat neneknya menunggu kelanjutan kalimat yang akan di ucapkan.
“Asalkan wanita itu cantik!”
Nenek pun tersenyum senang mendengarnya dan langsung memeluk Dean dengan hangat. Dean hanya tersenyum kecut dalam pelukan sang nenek. Ada gejolak yang membuat dirinya ingin berterus terang. Namun, dia tidak ingin membuat sang nenek jatuh sakit saat mendengar bahwa dirinya memiliki kekasih yang selamanya tidak akan bisa di terima di keluarnya sendiri.
“Ini baru cucu nenek.”
---***---
Ana sedang duduk di bangku depan toko kue Mentari, miliknya dan sahabat karibnya. Dia baru saja membersihkan halaman toko kue yang terbilang cukup besar, berkat usahanya selama dua tahun ini. Akhirnya dia dapat mewujudkan mimpinya untuk membuka kue bersama Sica, sahabatnya saat SMA dulu.
“Akhirnya bersih juga!” Ana menghela nafas senang. Dia baru membereskan toko kue yang tutup lebih cepat, karena Sica lupa untuk berbelanja bahan-bahan untuk kue.
“Sori, gue lupa gara-gara lupa sisa hitung stok sebelumnya,” ujar Sica yang baru saja duduk di samping Ana dengan peluh yang membasahi wajah mereka berdua.
“Santai aja, gue juga lupa ingetin lo. Kemarin emang sibuk banget, banyak pesanan,” balas Ana dengan tersenyum kecil. Mereka pun tertawa kecil mengingat kejadian kemarin, dimana banyak sekali pelanggan dan membuat mereka hampir ambruk.
“Kayaknya kita perlu nambah orang buat bantu deh, soalnya toko kita makin hari makin rame. Lo juga gak selalu bisa jaga toko kue,” saran Sica.
“Lo emang dabest! Gue juga masih ngurusi keuangan toko kopi, kita pasang pengumuman besok gimana? Sekalian gue buat nanti malam, setelah selesai hitung keuangan toko kopi Segarin.”
Setelah sukses dengan toko kuenya, Ana membuka bisnis lainnya. Yaitu, toko kopi yang bernama Segarin. Dia sendirian, karena Sica tidak begitu suka kopi seperti dirinya.
“Sip, nanti lo hubungi gue. Sekarang gue mau belanja dulu dan jangan lupa di kunci tokonya ya, cantik!” ucap Sica dengan nada mengejek, pasalnya Ana pernah lupa mengunci toko dan untungnya tidak ada barang yang hilang.
“Gue kunci sekarang deh, biar gak terlalu sore,” gumam Ana yang langsung bangkit dari duduknya dan berjalan masuk ke dalam toko untuk menyimpan sapu yang di pakainya. Setelah itu, dia mengunci toko dan meninggalkan toko.
Ana bersenandung kecil, menyusuri trotoar untuk menuju ke apartemennya yang tidak jauh dari toko kue. Sehingga, dia hanya perlu berjalan kaki kurang lebih lima belas menit dan akan sampai di lobi apartemen sederhana tempatnya tinggal.
Langkah kaki Ana terhenti saat melihat seorang nenek menyebrang jalan raya, dia tersenyum kecil. Teringat akan neneknya yang sudah meninggalkannya lima tahun yang lalu. Ana menghela nafas dan berjalan pelan menghampiri nenek yang memegang tongkat kayu untuk membantunya berjalan.
“ASTAGA!” pekik Ana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments