“Aduh ya Allah … berat pisan orang ini teh,” keluh Asep saat tertimpa tubuh pria kekar di atas tubuhnya.
Pria kekar itu langsung bangkit dan berdiri secepat kilat. Ia bergidik ngeri karena sudah menimpa tubuh seorang pria dan satu sentimeter lagi saja bibinya hampir mengenai bibir orang itu.
“Mas kekar … bantuin saya bangun atuh.” Asep mengulurkan tangan meminta bantuan.
“Heh, bangun kamu!!” bentak Rosmala saat masuk ke dalam rumah dengan kedua bodyguardnya berdiri di depan pintu rumah itu untuk berjaga.
“Astagfirullah … ibu kenapa bisa ada disini?” Asep dengan segera bangkit dan langsung berdiri layaknya mayat yang bangkit dari liang kubur dengan ekspresi terkejut.
“Tentu saja untuk menagih uang ganti rugi perbaikan mobil saya. Dasar penipu!!” cerocos Rosmala dengan bekecak pinggang.
“Sa saya minta maaf, Bu. Bukannya saya mau menipu Ibu, tapi saya teh sudah ikhtiar kesana kemari sampai mau menggadaikan rumah ini, tetap saja saya teh belum bisa mendapatkan uang sebanyak itu,” ucap Asep berterus terang.
“Baik, kalau begitu saya akan segera menjebloskan anda ke dalam penjara!” Rosmala menunjuk wajah Asep sembari melotot.
“Jangan atuh Bu, saya mohon jangan penjarakan saya.” Asep memohon dengan bersimpuh di hadapan Rosmala.
Marni pun melakukan hal yang sama, memohon sambil berlutut.
“Iya, Bu … saya mohon jangan penjarakan suami saya. Kami akan melakukan apa pun asalkan suami saya tidak dipenjara.”
Mendengar ucapan Marni, Rosmala menatap tajam padanya. “Apa? Kamu bilang apa tadi? akan melakukan apa pun?” Rosmala mempertanyakan penawaran Asep.
“Iy iya, bu … kami teh akan melakukan apa pun. Bahkan jika kami harus bekerja pada ibu tanpa di gaji pun kami bersedia.” Malah Asep yang menjawab, dan itu membuat Marni melotot pada suaminya.
“Oh ya? apa kau yakin dengan ucapan mu itu?” tanya Rosmala memastikan.
“Iy iya ….” Asep mengangguk.
“Baiklah, kebetulan saya sedang membutuhkan orang .… “
Marni nampak terkejut dengan ucapan Rosmala. Ia tak ingin melakukan apa yang ditawarkan oleh suaminya.
“Pak, ibu gak mau ya kalau harus kerja rodi tanpa di gaji. Bapak jangan asal ngomong gitu. Masa yang salah Bapak, yang nanggung harus kami semua?” bisik Marni pada suaminya.
“Heh kamu !! mau membuat rencana apalagi?” bentak Rosmala yang nampak kesal karena Marni bicara berbisik- bisik di hadapannya.
“Eng enggak, Bu.” Marni menjawab dengan terbata- bata karena takut melihat tatapan tajam Rosmala.
“Jadi siapa yang akan bekerja untuk saya tanpa dibayar?” Rosmala ternyata tak main- main.
Marni menyikut tangan suaminya. Keduanya saling bermain mata.
“Hoam … ada apa sih pagi- pagi gini sudah berisik?” Renita yang baru keluar dari kamarnya menggeliat karena baru bangun tidur.
Semua mata tertuju padanya, termasuk Rosmala.
“Apa dia yang akan bekerja untuk saya?” Rosmala melempar pandangan pada Renita.
“Hah? Kerja ?” tanya Renita heran.
“Bukan … bukan … anak saya baru saja masuk kuliah, tidak mungkin dia bekerja untuk Ibu.” Marni dengan segera menampik.
“Jadi siapa? Apakah anda?” tanya Rosmala menunjuk ke arah Marni.
“Sa saya saya juga tidak bisa. Karena saya tiap hari harus berjualan untuk memenuhi kebutuhan kami.” Marni pun menolak.
“Lalu siapa hah?” bentaknya jengah. “Kalian itu benar- benar tidak bisa dipegag omongannya!” ucap Rosmala ketus.
“Kan yang bermasalah dengan ibu, suami saya. Jadi dia yang akan bekerja untuk ibu,” Marni melirikan matanya pada suami yang bersimpuh di sampingnya.
“Apa? Kok kamu teh malah negomong gitu? Kalau bapak kerja di sana terus jualan siomay nya gimana atuh?” Asep pun tidak bersedia.
“Loh, kan tadi bapak sendiri yang bilang bersedia bekerja tanpa dibayar?” Marni mengembalikan ucapan Asep yang menawarkan dirinya pada Rosmala.
“Iya tapi maksud bapak teh kita, bukan bapak sendiri atuh, Bu.” Asep tak mau susah sendrian.
“Kalau kita semua bekerja di sana tanpa dibayar, terus untuk kebutuhan sehari- hari kita dapat uang dari mana, Bapak? belum lagi biaya kuliah Renita.” cerocos Marni.
“Heh, kenapa kalian jadi berdebat?! Sudahlah saya laporkan anda saja ke kantor polisi. Malas saya kalau dipermainkan seperti ini.”
“Tu tunggu, Bu … Bagaimana kalau keponakan saya saja yang bekerja untuk Ibu. Kebetulan dia sedang mencari pekerjaan.” Marni teringat pada Ning yang sedang disuruhnya pergi ke pasar setelah subuh tadi.
“Ibu !!” Asep melotot pada istrinya, ia nampaknya keberatan dengan usulan Marni.
“Maksud mu anak yang tidak punya sopan santun yang waktu itu menuduh saya memeras kalian?” Rosmala ternyata masih mengingat Ning.
“Iy iya Bu.” Marni mengangguk.
Rosmala tak berkata apa pun lagi. Ia hanya tersenyum licik nampak memiliki sebuah rencana untuk memberi Ning pelajaran yang tempo hari sudah menuduhnya berbohong serta melakukan pemerasan.
**
Ning yang baru kembali dari pasar dengan menggunakan sepeda motor metic berwarna putih biru, merasa heran melihat ada sebuah mobil dan motor gede terparkir di pinggir jalan yang tak jauh dari rumahnya.
Ia pun turun dari motir dengan membawa kantong belanjaan yang berisi sayuran serta bahan- bahan lainnya. Ning kembali terkejut saat melihat ada dua orang pria bertubuh kekar telah berdiri di luar, nampak sedang menjaga pintu.
Rosmala keluar dari rumah tersebut dengan diikuti oleh Marni yang berjalan di belakangnya dengan membawa tas pakaian serta sebuah boneka yang terdapat tali gendongnya.
“Hah … kenapa wanita kaya itu ada disini?” gumam Ning dalam hati. Dan betapa terkejutnya Ning saat melihat barang yang dibawa oleh Marni. Ia pun segera menghampiri.
“Bi, kenapa bibi membawa tas ku dan si onta?” tanyanya merasa heran dan aneh.
Rosmala tersenyum kecut dan berjalan melewati Ning begitu saja.
“Bawa dia!” Rosmala memberi perintah pada kedua anak buahnya. Mereka pun menghampiri Ning hendak menangkapnya.
“Eh tunggu!! Apa- apaan ini?” Ning mundur dan menghentikan kedua orang itu.
Rosmala membalikan badannya dan mengarahkan pandangan pada Ning.
“Paman dan Bibi mu sudah menyerahkan mu pada ku sebagai ganti agar paman mu tidak masuk penjara.” Rosmala berkata dengan santainya.
“Apa?” Ning terkejut bukan main. “Mamang, Bibi … apa itu benar?” tanya Ning memastikan.
“Maaf Ning ….” Asep menundukkan kepalanya, nampaknya ia merasa bersalah.
“Hah … maksudnya apa ini? Kalian menjualku pada wanita itu?”
“Heh, anak kurang ajar! Jangan bicara sembarangan kau! Aku bukan orang yang suka menjual belikan manusia!” bentak Rosmala menatap tajam pada Ning. “Cepat bawa dia!” ia kembali mengeluarkan perintah saat berdiri di sebelah mobil Alphard nya.
Kedua anak buahnya pun menarik tangan Ning dan membawa paksa Ning untuk ikut masuk ke dalam mobil.
“Lepaskan .. lepaskan … jangan bawa aku …!!” Ning berontak, namun kedua orang itu begitu kuat dan ia tak mampu melepaskan diri dari mereka.
“Mamang, Bibi …!” teriak Ning meminta pertolongan pada paman Bibi nya, namun mereka tak bisa berbuat apa-apa. Marni pun menahan Asep agar tidak menolong Ning.
“Lepas ... lepaskan aku !!” Ning terus berontak hingga kebiasaan anehnya muncul.
Plepes … tuut …
Aroma bau yang menyeruak dan menyengat membuat kedua pria kekar itu melepaskan Ning dengan suka rela, karena tanganya dipakai untuk menutup hidungnya. Ning langsung menginjak kaki salah seorang yang masih kekeuh mencengkram tangannya.
Ning berlari dan kedua orang itu pun mengejarnya, hingga terjadi kejar kejaran layaknya dua orang yang tengah memburu ayam jago yang berlari kesana kemari. Ning berlari berputar putar saja di sana karena ia pun takut jika berlari ke dekat mobil ada sopir yang wajahnya terlihat seram.
Para tetangganya hanya menonton saja tanpa membantu Ning. Mereka mengira Nng sedang bermain- main seperti biasanya jika sedang bersama temanya. Mungkin juga mereka takut melihat wajah- wajah pria kekar yang terlihat menyeramkan itu.
“Hei kalian !! Sudah biarkan saja dia kabur … Hubungi teman- teman kalian untuk menghancurkan gubuk itu!” teriak Rosmala yang jengah melihat anak buahnya yang tak kunjung bisa menangkap Ning yang licin bagai belut. Ia lalu masuk ke dalam mobil.
Cekiiiiitt …
Ning langsung ngerem mendadak kakinya saat mendengar ucapan Rosmala. Ia membalikan tubuhnya menatap tajam pada paman dan bibinya yang berdiri di depan rumah. Deru nafasnya terdengar gusar yang dipenuhi amarah.
“Heh, kalian berdua tunggu apalagi! Saya banyak urusan!” Rosmala kembali berteriak pada kedua anak buahnya.
Ning yang tak ingin rumah peninggalan orang tuanya di serahkan bahkan akan dihancurkan oleh wanita itu, akhirnya menyerahkan diri.
“Tunggu …” teriak Ning lalu ia berjalan mendekat ke arah mobil Alphard tersebut.
“Baiklah, aku akan ikut dengan Ibu,” ucapnya dengan penuh keterpaksaan.
“Masuk !!” titahnya pada Ning dari dalam mobil yang kaca pinunya diturunkan.
Ning membuka pintu mobil, namun saat hendak masuk ia kembali di hentikan.
“Mau apa kamu?” tanya Rosmala ketus.
“Apa?” Ning malah balik bertanya.
“Mau apa kamu masuk ke sini?” Rosmala memperjelas pertanyaannya.
“Ibu pikun apa geger otak? Tadi nyuruh saya masuk, sekarang melarang saya masuk … gimana sih?”
“Kurang ajar kamu … berani- beraninya membentak saya!?”
“Hah, ibu saja berani- beraninya merintah- merintah saya, pakai acara ngancam segala lagi, meyebalkan.”
“Kamu …” Rosmala menunjuk wajah Ning.
“Apa?” Ning menantang.
“Kamu tuh benar- benar gak punya sopan santun, ya … Dasar begajulan!!”
“Dari pada Ibu, lintah darat!” Ning tak mau kalah.
“Apa kamu bilang?” Rosmala semakin kesal dibuatnya.
“Lalu apa julukan yang pantas buat orang yang memau merampas rumah orang lain hanya gara- gara belum membayar ganti rugi 30 juta… Cih, Katanya orang kaya yang hartanya gak akan habis tujuh turunan. Halahhhh, kalau iya tajir melintir mah uang 30 juta cuman seujujung upil aja kali buat ibu. Sekali bersin juga ludes. Ini kok malah nyekik orang miskin seperti kami,” cerocos Ning yang merasa kesal dan emosi.
“Diam kamu!! Setiap kesalahan itu pasti ada konsekuensi nya … Lagi pula saya tidak akan memaksa kamu untuk ikut saya. Tinggal mengusir kalian saja dari rumah itu lalu meratakannya dengan tanah, perkara yang mudah bagi saya.” Rosmala ujung- jungnya memberi ancaman seolah menekan Ning.
Ning menatap tajam pada Rosmala. Ia mendengus kesal karena marah sekaligus tak berdaya.
“Jadi gak sih nih saya dibawa pergi? Kalau enggak saya mau kabur lagi nih!?”
Rosmala ternganga mendengar ucapan Ning yang malah jadi lebih galak dari dirinya.
“Gimana? Jadi enggak?” Ning kembali membentak Rosmala.
Rosmala terperanjat oleh bentakan Ning. “Iy iya, ayo masuk.” Bicara pun sampai gelagapan.
Ning lalu masuk dan duduk di jok sebelah Rosamala.
“Heh, apa-apaan kamu … kenapa duduk disini?” Rosmala seolah baru tersadar setelah terkena sawan.
“Ya ampun… ibu itu punya penyakit sakalor apa?” Ning semakin kesal.
“Penyakit macam apa itu?” Rosmala terheran-heran.
“Penyakit yang menyerang sitem syaraf dan kalau udah kambuh suka tidak ingat semenit.”
“Apa? Kamu pikir saya gila?” Rosmala tak terima.
“Saya gak ngomong gitu? Itu mah ibunya aja ngaku sendiri.”
“Dasar kurang ajar … sana keluar!” Rosmala malah mengusir Ning.
Ning kembali mendengus kesal. “Dasar plin plan .…” Ning keluar dari mobil lalu ia menutup pintu mobil dengan keras saking kesalnya.
Jebred …
Ning nampak murka seolah Rosmala telah mempermainkan dirinya. Ia hendak melangkah pergi, namun Rosmala kembali menghentikannya.
“Mau kemana kamu?” hardiknya.
“Mau masuk ke rumah lah, ibu pikir saya mau kemana?” jawab Ning sewot.
“Hei, kamu tadi sudah setuju untuk ikut dengan saya. Ingat ya saya gak akan main- main untuk mengambil dan menghancurkan gubuk kalian itu.”
“Hei, barusan ibu sendiri yang sudah menyuruh saya keluar. Dasar sakalor ….”
“Saya menyuruh kamu keluar karena saya tidak mau duduk berdampingan dengan kamu. Duduk di depan sana!” Rosmala memerintahkan Ning.
“Apa?” Ning semakin kesal.
“Kamu tuli ya … cepat masuk! Anak buah saya sudah memasukan barang- barang sampah mu itu ke dalam bagasi mobil,” ucap Rosmala jengah.
Ning yang tak punya pilihan lain akhirnya masuk ke dalam mobil dengan perasaan kesal yang teramat nyesek. Tak ada satu pun yang bisa menolongnya, termasuk paman dan bibinya yang merupakan biang keladi dari kejadian yang dialaminya.
Mereka hanya menonton, bahkan tak menanyakan pendapat Ning sama sekali yang diserahkan begitu saja pada Rosmala. Ia seolah dijadikan sebagai gadis penebus hutang.
Sang sopir pun melajukan mobilnya meninggalkan kediaman Ning. Matanya terus memnadangi rumahna hingga tak terlihat lagi.
“Kenapa kalian begitu kejam pada ku??” lirih Ning sedih.
Betapa berat rasanya ia harus meninggalkan rumah yang ia tempati sejak kecil bersama orang tuanya. Pikirnya itu lebih baik daripada ia harus menyerahkan rumah itu pada Rosmala.
Ning menatap kesal pada kaca spion yang berada di depan tepat di atas antara joknya dengan jok sopir. Disana terlihat bagian wajah Rosmala.
“Eh, tunggu … omong – ngomong gue dibawa pergi mau diapain? Tadi dia bilang gak akan menjual gue ….” gumam Ning dalam hati.
“Alamak … jangan- jangan gue mau dinikahkan sama kakek- kakek atau dijadikan istri kedua dari suaminya ibu Rosmalampir itu karena dia sudah tidak bisa melayani suaminya …”
“Aduhh, ini sih lebih parah dari dijual … Gimana ini? Mana gue gak bisa kabur lagi … Kalau kabur rumah melayang, kalau gak kabur____ Argh … gimana ini?” Ning menjerit dalam hati dengan segala pemikiran negatif di benaknya.
Ia kini mulai ketakutan jika Rosmala akan melakukan hal buruk padanya. Bahkan tak ada satu pun yang bisa menolongnya. Keluarganya saja tidak perduli, apalagi orang lain.
Plepes …. Tutt …
Ning tak bisa menahan efek dari kepanikan berlebihnya. Beruntung suarnya tak senyaring bisanya.
“Hoek … bau apa ini … uhuk uhuk.” Rosmala mencium gas beracun yang dikeluarkan Ning.
“Iya, Bu … bau apa ini? Bau sekali ….” Sopir pun mengebas- ngebaskan tangan di depan hidungnya.
Ning yang mendengar hal itu, hanya tersenyum menyeringai.
“Rasakan kalian … pingsan- pingsan deh nyium bau kentut gue, hahahahaha,” gumam Ning dalam hati. “Emmm, gila ya ternyata bau banget kntut gue.” Ning pun menutup hidungnya karena tak tahan dengan bau kentutnya sendiri.
“Heh anak kampung … kamu kentut ya?” Rosmala langung bisa menebak darimana bau itu berasal.
Ning menoleh pada Rosmala. “Hehehe, maaf bu kelepasan … peace,” ucap Ning sambil nyengir kuda. Ia mengangkat dua jari sebagai tanda perdamaian.
“Kurang ajar kamu! Benar- benar gak punya kesopanan … Hoek … hoek … Diman hentikan mobilnya, saya gak tahan sama bau nya.” Rosmala menggerutu kesal, ia tak tahan dengan bau yang membuat nya mual ingin muntah.
Pengharum mobil pun terkontaminasi oleh bau kentutnya Ning bak gas beracun. Diman menghentikan mobilnya, ia dan majikannya pun segera keluar dari mobil itu. benar saja Rosmala memuntahkan isi perutnya di pinggir jalan.
Ning tertawa dengan renyahnya di dalam mobil saat melihat wanita yang disebutnya sebagai lintah darat terserang mabuk kendaraan lebih tepanya mabuk karena gas beracun.
“Hahahaha … rasakan kau!!!”
-------------- TBC ---------------
******************************
Happy Reading .....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Asngadah Baruharjo
aduh Ning Ning
2023-09-04
0
liberty
bangke 🤣🤣🤣🤣
2023-04-02
0
liberty
ngakak oii..plepes tut terusss 🤣🤣🤣🤣
2023-04-02
0