Duit alias uang tak bisa dipungkiri memiliki peran penting dalam kehidupan. Apalagi di zaman sekarang, apa pun serba mengandalkan uang untuk mendapatkannya.
Bukan hanya untuk membeli kebutuhan saja, tak jarang orang menggunakan uang untuk mendapatkan jabatan, ketenaran, kemenangan, tak terkecuali untuk mendapatkan cinta.
Pastilah kita sering mendengar ungkapan ‘Ada uang abang, sayang … tak ada uang abang ditendang’. Hal itu nampak seperti ucapan dari wanita yang materialistis, padahal kita semua membutuhkan uang. Karena tak bisa dipungkiri, dengan cinta saja tak akan membuat mu kenyang atau pun bisa membeli apa saja, baik itu kebutuhan pokok atau pun yang lainnya.
Namun setiap orang memiliki cara pandang berbeda- beda akan hal itu, karena kondisi ekonomi dan cara berpikir setiap orang beraneka ragam. Ada kalanya yang memiliki banyak uang selalu merasa kurang, apalagi yang tak punya uang. Namun keduanya akan merasa cukup jika mereka selalu mensyukuri sekecil apa pun rezeki yang mereka miliki.
Sama halnya dengan Ning yang selama ini selalu hidup serba kekurangan, namun tak membuatnya selalu mengeluh. Justru hal itu menjadi dorongan untuknya agar bekerja lebih keras lagi. Bahkan saat masih sekolah pun, ia rajin membantu bibinya berjualan, baik berkeliling ataupun membawa dagangannya ke sekolah.
Awalnya ia hanya iseng mengancam teman sekelasnya sembari mengunci pintu kelas supaya mereka mau membeli dagangannya. Namun setelah mencicipi makanannya enak, mereka pun berlangganan jajan pada Ning.
“Iya, dan lo menjadikan kentut lo itu sebagai ancaman, supaya mereka mau membeli dagangan lo. Sampai teman sekelas menjuluki lo si Le Petomane. ” Ocha mengungkit kelakuan konyol Ning dan ternyata Ning memiliki julukan aneh dari teman- teman sekolahnya.
“Hahaha, gak apa- apa lah yang penting dagangan gue laku dan dapat untung banyak.” Ning tertawa mengingat kejadian itu.
“Dasar, duit mulu di otak lo …” Ocha mendumel.
“Karena pada kenyataannya, hidup itu perlu duit, Cha ... duit duit duit ....” ucap Ning dengan santainya.
“Ya ya ya … itu memang benar sih.” Ocha pun setuju dengan ucapan sahabatnya.
Ning menghela nafas panjang. Setelah mendengar kata duit, ia kembali terpikir soal pekerjaan.
“Gue musti cari kerja kemana lagi ya? bingung gue ...."
“Itu anaknya tetangga sebelah katanya kerja jadi pengasuh di rumah orang gedongan. Kenapa lo gak coba aja ngelamar jadi pengasuh.” Ocha memberi saran.
“Ogah ah, males banget kudu ngusrusin anak kecil apalagi bayi. Gue kan gak punya pengalaman sama sekali.” Ning langsung menolak saran Ocha.
“Katanya kalau berminat lo harus masuk yayasan agen penyalur baby suster. Jadi lo bakal ngikutin pelatihan dulu sebelum disalurkan untuk bekerja.” Ocha seolah jadi makelar yayasan.
“Kalau ada pelatihan berarti pakai biaya dong?” tanya Ning.
“Iya sih katanya … ya lo pikir aja kali, zaman sekarang mana ada yang ngasih ilmu pendidikan khusus secara gratisan. Kan tadi lo bilang, hidup itu perlu duit serba duit.”
“Terus kalau gue ikut pelatihan, duitnya dari mana, Ocha?”
“Kalau gitu lo ngelamar aja langsung ke rumah orang gedongan, gak usah lewat yayasan.”
“Ngelamar jadi baby suster?” Ning kembali bertanya.
“Iya, kan ini kita lagi bahas itu, Ning nong.”
“Gue kan udah bilang, gue gak bisa ngurus anak kecil atau pun bayi ….”
“Siapa bilang jadi baby suster cuman ngurusin anak kecil atau bayi?” Ocha spertinya tahu sekali soal pekerjaan pengasuh.
“Lah dari namanya aja baby suster, yang artinya perawat bayi. Berarti ngurusin bayi, Ocha. Oon banget sih lo!” Ning kini balik mengejek Ocha.
“Ada juga kali yang ngurus lansia, kayak nenek- nenek atau kakek- kekek yang udah uzur gitu.”
“Eh busyet dah, apalagi itu. Kalau gue ngurusin mereka, yang ada bakalan mempersingkat umur mereka di dunia ini.”
“Hahahaha … iya lo bener. Bukannya jadi baby suster, eh lo malah jadi malaikat maut buat mereka.” Ocha terus saja menemukan celah untuk mengejek Ning.
“Nah itu lo tahu … Apa gue jadi TKW aja ya, ke Arab gitu.” Ning malah terpikir bekerja ke luar negeri.
“Yah sama aja, boloning … ke Arab juga kalau gak jadi pembokat ya ngurusin anak- anak. Malahan yang gue denger tuh dari Mpok Asih, para majikan disana anaknya banyak. Lo yakin bakal sanggup?” Ocha seolah menakut- nakuti Ning.
“Hufh … udah mah susah, kok ribet amat sih nyari kerja.” Ning menghela nafas berat. Raut wajahnya berubah sedih.
“Perjuangan untuk bertahan hidup tuh susah banget ya, kenapa gue harus selamat sih waktu itu. Kenapa bapak sama ibu gak ngajakin gue pergi bersama mereka, Cha?” lirihnya sedih.
“Ning … lo jangan ngomong kayak gitu? Mendiang orang tua lo bakalan sedih kalau mereka mendengar ucapan lo ini.” Ocha pun turut sedih.
“Kenapa mereka ninggalin gue sendirian disaat gue sangat membuthkan mereka, Cha? Kenapa hidup ini rasanya ga adil buat gue? Gue emang pembawa sial, Cha. hiks hiks hiks.“ ucapnya terisak.
Ocha mendekat pada Ning, ia merangkul sahabatnya. “Ning, lo jangan ngomong kayak gitu. Lo gak sendirian. Lo masih punya keluarga lo, Mang Asep, Bi Marni, sama Renita.”
“Mereka gak pernah peduli sama gue, Cha. Gue bener- bener ngerasa sendirian, Hiks hiks hiks ….”
“Lo anggap gue ini apa, hah? Lo masih punya gue, sahabat lo yang akan selalu ada buat lo, Ning.”
“Makasih, Cha. Hiks hiks hiks.” Ning memeluk sahabatnya dengan berderai air mata.
Saat Ning sedih dan merasa sendiri, ia selalu teriangat pada mendiang orangtuanya. Ocha yang sedari tadi mengejek dan menertawakan Ning pun ikut menangis, karena ia tahu betul begitu banyak hal yang dialami Ning dalam perjalan hidupnya setelah kematian orang tuanya.
Sejak kecil harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup, namun itu tak membuatnya menjadi orang yang selalu mengeluh atau meratapinya.
Ning adalah anak yang tangguh dan tak mudah menyerah. Meski ia terkadang ceroboh dan memiliki kebiasaan aneh yang tak jarang membuatnya malu. Namun setidaknya itu bisa menjadi hiburan untuk dirinya sendiri, karena mampu membuat tertawa orang lain. Walau tak jarang ada orang yang merasa terganggu dengan kebiasaan anehnya itu. dia masih bisa tertawa, ya tertawa diatas penderitaan hidung orang lain.
Ocha melepaskan pelukannya dari Ning. “Diam lo … jangan cengeng kayak gini. Udah diam, eneg gue denger lo nangis.”
“Kalau eneg, ya tutup aja kuping lo?”
“Eneg tuh keluarnya dari mulut, bukan dari kuping. Bego …” Icha menjitak kepala Ning.
“Aww ... lo ganggu konsentrasi nangis gue aja, sih.” Ning menggerutu kesal ambil terisak.
“Apaan lo, sedih aja pakai konsentrasi segala. Sayang kan tenaga lo kalau dipakai nangis. Mendingan dipakai nyari info lowongan kerja. Udah ah jangan mellow- melow lagi.” Ternyata itulah cara Ocha mencairkan suasana saat Ning merasa sedih.
Ning menghapus air matanya, kemudian memeluk sahabat yang selalu mengerti dirinya. “Makasih ya, Cha … Lo emang sahabat terbaik gue.”
“Iya iya, gue tahu itu kok. Udah ah jangan nangis, sayang kan air mata gue juga ikutan keluar. Mahal tahu ..." Icha menepuk punggung Ning.
Tok tok tok …
Terdengar suara pintu diketuk.
“Ocha !!” Teriak seseorang dari balik pintu. Ning dan Ocha pun saling melepaskan pelukan mereka.
“Iya ….” Sahut Ocha yang kemudian bangkit dan berjalan untuk membukakan pintu.
Ceklek ….
“Bang Ipung … ada apa Bang?” sapa Ocha pada tamu nya yang berdiri di depan pintu.
“Gawat Cha … itu, anu … aduh.” Ipung bicara ambigu.
“Kalau ngomong tuh yang jelas dong, Bang … itu itu anu anu aja. Ayok masuk dulu,” ajaknya, Ipung pun melangkah masuk.
“Itu Cha, Mang Asep mau dilaporkan ke kantor polisi,” ucapnya saat baru melewati pintu dan berjalan di belakang Ocha.
Ocha yang terkejut langsung membalikan tubuhnya mendengar berita yang diucapkan Ipung
“Apa?”
jedukkk ...
Jidat Ocha dan Ipung saling beradu dengan cukup kencang.
"Aduh... ngapain sih bang pakai ngadu jidat segala?" Ocha mengusap jidatnya yang sakit.
"Lo pake tiba- tiba balik kanan segala sih, kan Abang ngikutin dari belakang." Ipung pun mengusap jidatnya.
Ning yang mendengarnya ikut terkejut, ia berdiri lalu menghampiri Ocha dan Ipung.
"Bang Ipung tadi bilang apa? Mang Asep kenapa?" tanya Ning.
“Iya Ning, Mang Asep mau dilaporkan ke kantor polisi.” Ipung mengulangi ucapannya.
“Apa…? Bang, lo kalo ngomong yang bener dong, kok bisa Mang Asep di laporkan ke kantor polisi? Apa dia berkelahi sama orang? Apa dia ngebacok orang? Atau nyulik orang? Atau bagaimana, Bang?” Ning yang terkejut menjadi panik dan melontarkan banyak pertanyaan.
“Itu Ning … Mang Asep_______”
Duuuttt … duut ….
“Hoekk bau banget sih lo.” Ipung langsung keluar dengan menutup hidungnya.
“Iya, ih Bau banget … pantesan aja bos lo ampe pingsan.” Ocha juga ikut keluar diikuti Ning dari belakangnya, karena ia sendiri pun tak tahan dengan bau kentutnya sendiri.
“Dasar si Le Petomane, lo!!” ucap Ipung kesal.
“Hehehe, maaf Bang, tadi diriku panik banget … Jadi kenapa Mang Asep bisa dilaporkan ke polisi, Bang?” Ning kembali bertanya sambil cengengesan.
“Sebaiknya kita langsung saja ke rumah mang Asep, yuk.” Ipung mengajak keduanya pergi.
“Iya ayok kita kesana.” Ocha menutup pintu rumahnya.
Ketiga orang itu pun pergi bersama- sama menuju rumah Asep yang merupakan pamannya Ning, dan tentunya itu adalah tempat tinggalnya Ning. Jaraknya hanya sekitar 200 meter dari rumah Ocha, sehingga dengan jalan kaki pun bisa cepat sampai.
Saat hendak sampai, ia melihat ada sebuah mobil yang terparkir tidak jauh dari rumahnya. Setelah melewati mobil tersebut, terlihat ada seorang lelaki tengah bersimpuh di depan seorang wanita di teras rumah.
Nampak para tetangga yang rumahnya berdempetan dan di seberang, berdiri di teras masing- masing melihat ke arah rumah itu seolah sedang menonton pertunjukan.
“Saya mohon Bu, tolong jangan laporkan saya pada polisi,” ucap lelaki yang tengah bersimpuh itu, yang ternyata adalah pamannya Ning.
“Kalau begitu, anda harus membayar biaya perbaikan mobil saya.” Wanita itu bicara dengan nada tegas sembari berpangku tangan.
“Ada apa ini?” tanya Ning yang baru saja tiba di depan teras rumah, ia menghampiri pamannya yang sedang berlutut di depan wanita yang terlihat asing baginya.
“Mamang kenapa memohon gitu?” Ning kembali bertanya.
“Orang ini sudah merusak mobil saya, tapi tidak mau membayar ganti rugi untuk memperbaiki mobil saya,” ucap wanita itu dengan angkuhnya.
Ning berjongkok untuk mensejajarkan dirinya dengan sang paman. “Apa itu benar Mang?” tanyanya yang merasa tidak percaya.
“Iya, Ning.” Asep mengangguk dengan raut wajah lesu.
“Tapi, bagaimana bisa?” Ning kembali bertanya.
“Gerobak orang ini sudah menabrak mobil saya,” ucap wanita itu menunjuk ke arah Asep.
Ning yang mendengar perkataan itu langsung berdiri dan menatap wanita yang berpenampilan modis tersebut.
“Hei, Bu … gak usah ngarang ya. Mana mungkin gerobak bisa menabrak mobil?” ucap Ning dengan nada kesal.
“Kamu tuh kalau bicara yang sopan ya, buat apa saya bohong? Memangnya saya ada tampang seperti seorang penipu apa?” Wanita itu merasa tersinggung.
“Mana ada sejarahnya gerobak yang di dorong orang menabrak mobil dikemudikan dengan menginjak gas saja. Saya yakin kalau mobil ibu yang menabrak gerobak paman saya, itu baru masuk akal. Ibu yang nabrak, kok minta ganti rugi sama paman saya … Dasar orang kaya aneh.” Cerocos Ning semakin kesal.
“Heh, makin kurang ajar kamu ya … Apa orang tua mu tidak mengajarkan sopan santun, hah?” Wanita itu marah dan menunjuk- nunjuk wajah Ning.
Ning menepis tangan wanita itu dengan perasaan geram. “Jangan bawa- bawa nama orang tua saya!! Ini hanya urusan antara anda, paman saya dan saya.” Ning menatap tajam wanita itu.
Asep yang melihat keponakannya tersulut emosi, kemudian bangkit dan mendekat padanya. “Ning, sudah atuh jangan menambah masalah lagi. Ini mah memang salah Mamang … Tadi teh pas di jalan turunan, Mamang tidak bisa menahan gerobak. Sehingga lepas kendali dan menabrak mobil ibu itu yang sedang parkir di pinggir jalan.” Asep menjelaskan kronologinya.
“Apa?” Ning kembali terkejut.
“Iya, Ning.” ucapnya dengan nada pasrah.
“Tuh dengar sendiri kan? Saya tidak berbohong … Untung saja saya sedang tidak berada di dalam mobil saat itu,” ucap wanita itu dengan nada ketus.
“Memangnya berapa yang harus dibayar oleh paman saya?” tanya Ning.
“Tiga puluh juta ….” ucap Wanita itu.
“Apa? Mana mungkin biaya perbaikan mobil saja sampai semahal itu … Ini sih pemerasan namanya,” ucap Ning tak terima.
“Jangan sembarangan bicara kamu ya!! Untuk apa saya memeras kalian? Harta yang saya miliki saja tidak akan habis sampai tujuh turunan … “
“Tapi kan, Bu … mobilnya teh hanya lecet dan ada goresan saja. Kenapa atuh bisa sampai sebesar itu?” Asep pun ikut protes.
“Anda lupa ya, kaca spionnya juga patah … Dan perlu anda ketahui, mobil saya itu seharga 1M … Masih untung saya hanya minta biaya perbaikan mobil saja, tidak dengan yang lainnya. Kalau kalian tidak percaya, silahkan kalian datangi bengkel tempat saya memperbaiki mobilnya,” cerocos wanita itu.
Ning yang masih terkejut, menghela nafas berat sembari mengusap- usap kepalanya seolah merasa pusing.
“Ya Allah, darimana kami mendapatkan uang sebanyak itu,” gumam Ning dalam hati.
“Kalau begini caranya, saya tidak hanya akan melaporkan anda ke kantor polisi. Tapi juga anak kurang ajar yang tidak punya sopan santun ini, atas perbuatan yang tidak menyenangkan hati karena memfitnah saya.” Wanita itu menunjuk ke arah Ning dengan tatapan tajam.
“Jangan atuh Bu, saya mohon jangan laporkan kami ke kantor polisi. Tolong beri kami waktu untuk membayar ganti rugi nya. Saya mohon ….” Mang Asep kembali memohon. Ia menoleh ke arah Ning.
“Ning, ayok atuh kamu teh minta maaf.”
“Maaf, Bu,” ucap Ning dengan nada jutek.
“Heh, kalau minta maaf itu yang benar!” Wanita itu memprotes Ning.
Ning mendengus kesal. “Saya minta maaf, Ibu yang terhormat.”
“Baik, saya akan beri kalian waktu sampai besok. Kalau tidak, pengacara saya akan mengurus laporan ke kantor polisi.”
“Apa? Besok? Mana mungkin atuh saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu hanya dalam satu hari, Bu. Tolong beri kami waktu lebih lama lagi.” Asep mencoba bernegosiasi.
“Heh, dasar modus … Anda pikir saya tidak tahu, kalau anda minta waktu lama supaya bisa kabur kan?” Wanita itu seolah bisa membaca pikiran Asep.
“Tidak atuh, Bu … saya tidak akan kabur. Kami teh hanya punya tempat tinggal disini, tidak ada sanak saudara kami di kota ini.”
“Baik, menurut orang bengkel mobil saya akan selesai diperbaiki dalam waktu tiga hari. Jadi saya akan beri kalian waktu tiga hari, tidak ada negosiasi lagi.”
“Ba baik, Bu.” Mang Asep hanya bisa pasrah.
“Kalau begitu saya minta KTP anda sebagai jaminan.”
“Baik, Bu.”
“Sekalian nomor yang bisa dihubungi.”
Asep pun memberikan KTP nya dan juga nomor kontaknya pada wanita tersebut.
“Ini kartu nama saya. Saya tunggu kedatangan anda tiga hari lagi,” ucapnya memberikan kartu namanya, kemudian beranjak pergi.
Ning menuntun Asep masuk ke dalam rumah, sedangkan Ocha dan Ipung pulang karena merasa tak enak jika mereka ikut campur dalam masalah keluarga Ning.
Saat Ning dan pamannya masuk, di dalam sudah ada Marni, istrinya Asep tengah duduk di kursi dengan raut wajah kesal dan marah.
“Bapak gimana sih? Kok bisa sampai gerobaknya menabrak mobil orang itu? Bagaimana caranya kita bisa mendapatkan uang sebanyak itu? untuk makan aja pas- pasan ...." cerocos Marni.
“Bapak juga tidak menginginkan hal seperti ini terjadi atuh, Bu. Namanya juga musibah.”
“Ning, kenapa kamu ada disini? Bukannya kamu bilang hari ini mulai kerja?” tanyanya yang menyadari keberadaan Ning.
“A aku … aku dipecat, Bi.” Ning bicara dengan terbata- bata seolah takut menerima kemarahan Bibinya itu.
“Apa? Dipecat lagi? Ini sudah ketiga kalinya kamu dipecat, Ning … kamu memang tidak berguna, bisanya hanya menyusahkan kami … Dasar pembawa sial !?” Marni bangkit lalu pergi ke kamarnya.
Jebred …
Marni menutup pintu kamar dengan kencang. Sementara Ning hanya duduk sembari menundukkan kepalanya setelah mendengar makian dari bibinya.
“Aku memang pembawa sial ….” Lirihnya dalam hati.
------------- TBC ------------
******************
Happy Reading …
Jangan luva tinggalkan jejak mu …
Aylapyu all ….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Asngadah Baruharjo
hoalah Ning Ning apes temen
2023-09-04
0
Andriani Riani
lucu
2023-05-06
0
liberty
bengek 🤣🤣...yg jadi jodonya harus terima apa adanya Ning nih 😅
2023-04-02
0