NINGRAT Antara Dia Dan Duda
“Ning … kamu dipecat !” ucap Riska, atasan Ning dengan nada tegas.
“Loh, kok saya dipecat sih, Bu? Saya kan baru pagi ini mulai kerja.” Ning tak terima dirinya tiba- tiba dipecat begitu saja.
“Justru karena itu, belum sehari kerja saja kamu sudah membuat masalah dengan Pak Direktur. Apalagi jika saya terus mempertahankan kamu … Bisa- bisa nanti saya yang akan dipecat ....” cerocos Riska.
“Yaelah, Bu … itu kan bukan salah saya.” Ning terus membela diri.
“Terus, kamu mau menyalahkan direktur sekaligus anak dari pemilik perusahaan ini, hah?” Riska menaikan nada suaranya.
“Salah siapa tiba- tiba masuk kamar mandi dan mengagetkan saya, Bu. Saya juga gak tahu kalau Pak Direktur memiliki penyakit yang aneh seperti itu. Ibu juga sih gak ngasih tahu saya.” Ning malah menyalahkan atasannya.
“Apa? Jadi sekarang kamu menyalahkan saya?” Riska mulai tersulut emosi.
“Seharusnya kan ibu ngasih tahu saya, jadi saya bisa berhati hati saat membersihkan ruangan Pak Direktur. Kalau sudah begini, jadinya kan saya yang disalahkan.” Ning dengan berani membela dirinya sendiri.
“Diam kamu! Bukannya mengakui kesalahan, malah menyalahkan orang lain. Tinggalkan perusahaan ini sekarang juga!” sentak Riska marah sembari menunjuk ke arah pintu.
“Iya, Bu …” Ning hanya bisa pasrah dan tak ingin berdebat lagi. Karena ujung- ujungnya ia tetap disalahkan dan dipecat secara tidak hormat.
Ning membalikan tubuhnya hendak pergi. Namun, tiba-tiba ia teringat sesuatu dan kembali balik kanan.
“Bu Riska ….” ucapnya menatap sang atasan dengan melempar senyuman termanisnya.
“Apalagi?” tanya Riska nyolot.
“Kalau saya dipecat, berarti saya dapat pesangon dong, Bu?” ucap Ning malu- malu.
“Jangankan pesangon, gaji pun kamu tidak akan mendapatkannya. Kerja juga baru dua jam, dasar !“ Riska nampak geram.
“Tapi, Bu___”
“Sudah pergi sana ! bisa darah tinggi saya ngadepin kamu.” Riska semakin kesal dibuatnya.
“Ibu benar- benar gak akan ngasih saya satu kesempatan lagi, gitu?” Ning masih berusaha bernegosiasi penuh harap.
“Jangan harap … sudah sana pergi !” teriak Riska yang kesabarannya sudah habis.
Ning pun kembali memutar arah dan melangkahkan kakinya untuk keluar dari ruangan atasannya itu dengan wajah sedih dan lesu.
“Ning ….” Riska kembali memanggil Ning.
Ning langsung memutar tubuhnya. “Apalagi, sih Bu!?” Kini giliran Ning yang marah.
“Kurang ajar kamu, beraninya bentak- bentak saya!” Riska tak terima dibentak.
Ning menghela nafas panjang untuk menetralkan kekesalannya. “Iya, Bu … ada apa?” Ning mengubah nada bicaranya menjadi lemah lembut.
“Itu baju seragam OB jangan dibawa pulang, ganti baju dulu sebelum pulang!” ucapnya dengan nada tegas.
“Baik Bu … Apakah sudah selesai? Saya udah kebelet nih pengen pulang,” ucap Ning seolah mengejek.
“Sudah sana pergi !” Riska menyadari Ning yang tengah mengejek dirinya.
Ning mendengus kesal, kemudian beranjak pergi keluar dari ruangan atasannya itu. Ia berjalan menuju pantry OB yang terdapat lemari lokernya.
Selama perjalanan dalam hatinya terus menggerutu dan menyumpahi Riska juga direktur yang sudah menyebabkannya dipecat.
Sesampainya disana ia mengambil pakaiannya dari dalam loker, lalu pergi ke toilet untuk berganti pakaian. Ia keluar setelah beberapa saat dengan membawa baju seragam OB.
Ditatapnya seragam itu dengan raut wajah sedih dan lesu, seragam yang baru ia kenakan dua jam yang lalu dan kini sudah dilepas lagi.
Ning menghela nafas panjang, ia kemudian menyimpan baju itu di atas meja di ruang loker itu.
"Selamat tinggal seragam … ternyata kita berjodoh hanya dua jam saja. Semoga kamu mendapatkan jodohmu yang langgeng. Asalamu’alaikum, dadah babay …” Ning seolah menganggap baju seragam itu layaknya seorang pasangan yang terpaksa diputuskannya, lalu ditinggalkan pergi olehnya.
Dengan berat hati, ia pun beranjak pergi meninggalkan ruangan tersebut. Langkahnya terasa sangat berat meninggalkan gedung yang terdiri dari dua puluh lantai itu.
Padahal ia baru saja diterima kerja kemarin dan mulai kerja dua jam yang lalu. Namun, kesedihannya memperlihatkan seolah ia sudah bekerja bertahun- tahun disana.
Ternyata bukan masalah berat meninggalkan mantan tempat kerjanya tersebut, namun lebih kepada reaksi orang rumah saat mengetahui jika ia sudah dipecat untuk yang ketiga kalinya di tempat yang berbeda dalam dua minggu ini.
Ia pulang dengan menaiki angkot yang jurusannya melewati daerah tempat tinggalnya. Bukannya pulang ke rumah, ia malah minta sang sopir menghentikan angkot di taman kota.
Ia pun turun dan masuk ke taman tersebut. Ia terus berjalan dengan langkah gontai.
“Hufh … zaman sekarang tuh cari kerja susahnya minta ampun. Ini malah dipecat sampai berkali- kali, sial banget sih hidup gue ….” Kakinya dengan reflex menendang benda yang tak sengaja dilihat di depan kakinya.
Kempleng …
“Woy !?” terdengar suara orang berteriak, namun Ning terus saja melangkah dan tak menghiraukannya.
“Woy, cewek baju kuning !?” orang itu kembali berteriak, namun Ning seolah tak mendengar teriakan tersebut. Orang itu pun berlari menghampiri Ning .
“Woy … cewek baju kuning!?” ia berteriak tepat di sebelah Ning dan mampu menghentikan langkahnya.
“Hei Bang … biasa aja dong, gak usah teriak- teriak … memangnya saya ini tuli apa?” ucap Ning nyolot.
“Dari tadi gue teriak manggil lo. Tapi lo ga denger sama sekali, berarti lo beneran tuli?” Orang tersebut tak kalah nyolot nya sembari mengusap- usap keningnya yang terasa sakit.
“Kapan anda manggil saya? Kenal aja enggak, apalagi tahu nama saya ....” Ning merasa heran dibuatnya.
“Karena gue gak tahu nama lo, makanya gue panggil lo si baju kuning,” ucap lelaki yang wajahnya brewok itu.
Ning melihat ke arah bajunya yang ternyata memang benar ia memakai baju berwarna kuning. Mungkin karena terlalu meratapi nasibnya yang baru saja kehilangan pekerjaan, hingga ia tak menyadari warna baju yang dipakainya.
“Terus, anda ada urusan apa manggil- manggil saya?” Ning mempertanyakan tujuan pria tak dikenalnya itu, yang tiba- tiba nyolot.
“Pakai nanya lagi … lo kan tadi yang nendang kaleng bekas minuman sampai kena kepala gue nih, sakit tahu. Gimana kalau gue sampai geger otak?”
Ning kembali terkejut, mulutnya ternganga dan membuka matanya lebar- lebar.
”Alamak … kok bisa kaleng sialan itu mengenai kepala si brewok ini, perasaan tadi gak ada orang," gumam Ning dalam hati.
“Heh … malah ngelamun lagi ! Lo harus bayar ganti rugi !!” bentak orang itu.
“Apa? Ganti rugi apaan?” Ning merasa heran.
“Ya ganti rugi buat biaya ke rumah sakit lah, ngobatin jidat gue, nih,” ucapnya menunjuk ke arah jidatnya yang masih terasa sakit.
Ning melangkah mendekat pada pria yang berdiri di hadapannya itu. Ia mengangkat kepalanya lalu mendekatkan wajahnya pada wajah orang yang lebih tinggi darinya itu. Ia memperhatikan jidat orang tersebut secara seksama.
“Heh, ngapain lo mendekat? Lo mau nyium gue?” Si Brewok kembali nyolot sambil melotot.
Sontak Ning segera mundur untuk menjauhkan dirinya dari orang itu.
“Sembarangan … ogah banget nyium orang brewok seperti anda. Apaan itu jidatnya juga gak apa- apa kok. Jadi saya gak usah ganti rugi.”
“Gak apa- apa gimana? Ini sakit tahu ….” orang itu kekeuh.
“Gak usah ngarang ya, pemerasan ini namanya.” Ning pun kekeuh tak mau ganti rugi.
“Oh, jadi lo gak mau bayar ganti rugi … sini serahin barang- barang lo.” Orang tersebut menarik tas milik Ning.
Ning mengeratkan pegangan pada tasnya. “Eh, apa- apaan nih … jangan main asal tarik aja dong ….”
“Karena lo gak mau ngasih uang ganti rugi secara baik- baik … terpaksa gue ambil sendiri, sini berikan tas lo !!”
Terjadilah aksi tarik menarik tas antara Ning dan orang brewok tersebut, dengan tarikan kuat dari keduanya. Yang satu ingin merampas paksa, yang satu ingin mempertahankan miliknya.
“Eh jangan kurang ajar ya … lepasin!!” Ning mengarahkan pandanganya ke sana kemari yang ternyata di taman itu nampak sepi.
Duuutt ….
Terdengar bunyi yang cukup nyaring disertai bau menyengat.
“Heh, dasar perempuan jorok kamu!” si brewok itu memaki dengan tangan sebelahnya menutup hidungnya sedangkan tangan yang satunya lagi tetap menarik tas Ning.
“Pak polisi … tolong … saya mau dirampok!!” Ning berteriak dan sontak pria itu pun melepaskan tangannya dari tas milik Ning.
Pria itu melihat ke arah belakangnya. Dengan segera Ning pun melarikan diri, mumpung pria itu lengah.
Si brewok melihat ke segala arah dan ia tak menemukan polisi yang dikatakan Ning. Ia baru menyadari jika ia telah dikibuli oleh Ning yang berhasil kabur. Namun ia masih melihat Ning yang tengah berlari, kemudian ia pun mengejarnya.
“Woy jangan kabur lo …!!” teriaknya sambil berlari.
Ning berlari sekencang yang ia bisa dan keluar dari area taman tersebut. Hingga ia melihat ada beberapa orang tengah mengantri di depan pedagang kaki lima di pinggir jalan. Ia pun menghampiri orang- orang itu dan ia bersembunyi di balik deretan antrian.
Ning segera mengambil sweater dari dalam tasnya dan segera memakainya serta memasangkan penutup kepala dari sweater nya tersebut.
Ia menyelinap pada antrian dua baris tersebut hingga melihat ada pria yang tinggi, dan berdiri di sebelahnya, seolah ia mengenali pria tersebut.
“Kemana wanita itu?” Si pria brewok yang baru saja tiba di dekat antrean itu, mengarahkan pandangan ke sekelilingnya. Namun ia tak menemukan keberadaan Ning. Hingga ia melihat ke sebrang jalan ada angkot yang baru saja melaju.
“Argh ... sial, jangan- jangan wanita itu sudah naik angkot barusan!” ucapnya merasa kesal. Akhirnya ia pun beranjak pergi sembari mengusap- usap jidatnya yang masih terasa sakit.
Tanpa orang itu sadari, Ning ternyata memperhatikannya diam- diam dari tempat persembunyiannya.
“Hufh, selamet selamet … akhirnya tuh si brewok pergi juga,” ucapnya sembari mengelus dada dan bernafas lega.
“Anda sedang apa disini? Kenapa mepet- mepet terus pada saya?” tanya Pria yang berdiri di sebelahnya.
Ning mengarahkan pandangannya pada pria yang berdiri di sampingnya. Ia mengangkat kepalanya untuk melihat wajah orang jauh lebih tinggi darinya tersebut.
“Eh busyet ni cowok gantengnya pake banget.” Ning bergumam dalam hati. Bukannya menjawab, ia malah terpesona mengagumi pria tersebut.
“Heh … kamu copet ya?” Pria itu kembali bertanya hingga memberi tuduhan pada Ning.
Ning merasa tersentak dan membuyarkan lamunannya.
“Bu bukan Mas … justru saya tadi dikejar copet yang mirip preman, makanya saya sembunyi di sini…” ucapnya gelagapan. Ia mengira jika pria brewok tadi adalah seorang preman.
“Oh, jadi Mbak ini bukan datang bersama Mas ini ya?” ucap seorang wanita yang berdiri di antrian tepat di belakang pria itu.
“Saya tidak mengenalnya…” Pria itu menjawab tanpa melirik.
“Jangan nyelinap donk, Mbak. Saya juga udah dari tadi ngantri.” Wanita itu malah nyolot pada Ning.
“Iya bener, jangan seenaknya nyelinap antrian orang dong! Semua orang juga pengen cepet- cepet.” Wanita yang satunya lagi ikut berkomentar.
“Maaf … maaf Bu, saya gak niat beli kok. Cuman tadi saya sembunyi dari preman yang mau merampok saya. Maaf ya Bu, saya permisi .” Ning pun keluar dari antrian tersebut, sebelum mendapat omelan dari yang lainnya.
Ia menyebrang lalu menghentikan sebuah angkot dan menaikinya.
“Hari apa dan tanggal berapa sih ini, perasaan dari pagi sial terus,” Ning menggerutu dalam hati meratapi kemalangan nasibnya.
“Kiri, Bang ….” Ning meminta sang sopir menghentikan angkotnya. Ia pun turun kemudian membayar ongkos pada sang sopir.
Ning berjalan memasuki gang kecil untuk lebih cepat sampai di tempat tujuannya. Bukannya pulang ke rumahnya, ia malah ke rumah sahabatnya.
“Ning, kenapa muka lo kusut gitu? Harusnya kan lo senang karena udah keterima kerja.” Ocha, sahabat Ning melempar pertanyaan saat baru saja duduk di ruang tamu bersama Ning.
“Gue udah dipecat.”
“Apa? Lo udah dipecat lagi?” Ocha terkejut mendengarnya.
“Hmmm ….” Ning nampak santai, padahal jelas- jelas tadi ia merasa sangat sedih.
“Hahahahaha, emang dasar gila lo, dalam dua minggu ini lo dipecat sampe tiga kali. Yang pertama, di restoran baru kerja tiga hari, dipecat gara- gara nyembur wajah pelanggan yang ternyata adalah gebetan lo yang jalan sama cewek lain. Yang kedua, di tempat laundry baru kerja dua hari dipecat gara- gara nyetrika baju sampe gosong, karena kepikiran terus gebetan lo. Lah sekarang baru sehari udah dipecat lagi.” Ocha mendata penyebab sahabatnya dipecat dan menertawakan nasib sahabatnya yang tak pernah lama bekerja itu.
“Bukan sehari, tapi dua jam.” Ning mengoreksi.
“Lebih parah lo … terus yang sekarang ini gara- gara apa? Jangan bilang lo masih mikirin si Rifat, gebetan lo itu” Ocha penasaran dengan alasan dipecatnya Ning dan menduga- duga sendiri.
“Bukanlah … Sorry ya, gue udah move on dari tuh cowok nyebelin.” Ning malah menjawab soal mantan gebetannya.
“Terus kalau bukan karena si ketupat basi itu, kenapa lo bisa sampai dipecat?” Ocha masih penasaran.
“Gara- gara gue kentut,” ucap Ning dengan santainya sembari memainkan kuku jemari tangannya.
“Apa? Hahahahahahaha .…” Ocha tertawa dengan renyahnya.
“Ketawa aja lo, ketawa sepuasnya diatas penderitaan gue ….” Ning merasa kesal, sejak tadi sahabatnya terus menertawakan dan mengejeknya.
“Sumpah ya gue gak nyangka, lo dipecat cuman gara- gara kentut. Hahahahaha ….”
“Masalahnya gue kentut saat membersihkan kamar mandi yang ada di ruangan Direktur.”
“Lah, itu udah bener berarti … Lo kan kentut udah pada tempatnya. Terus kenapa lo bisa sampai dipecat, heran gue.” Ocha merasa ada yang aneh.
“Soalnya pas gue baru aja selesai membersihkan kamar mandi, si Direktur masuk secara tiba- tiba dan bikin gue kaget. Makanya kentut gue reflex keluar begitu saja sampai tiga kali bunyinya juga… Terus si direktur itu langsung mual- mual sampai sesak nafas, akhirnya pingsan deh.” Ning menceritakan lebih jelas.
“Hahahahahha … kentut lo emang beracun ternyata. Ning ….” Ocha kembali menertawakan Ning.
“Ah, perasaan gak bau bau amat deh kentut gue. Si direkturnya aja yang lebay.” Ning berdalih.
“Itu kan menurut lo, tapi kan kalau menurut orang lain beda rasanya.”
“Maksud lo, kentut gue jadi wangi kasturi gitu kalo udah dihirup orang lain?”
“Hoek … kasturi dari neraka jahanam iya, kali.”
“Hufh … yang gue gak habis pikir tuh, kok ada ya penyakit aneh kayak gitu.” Ning masih tak percaya ada penyakit macam itu di dunia ini.
“Penyakit apaan emangnya?” tanya Ocha penasaran.
“Jadi si direktur tuh punya penyakit alergi terhadap bau kentut.” Ning memberitahukan apa yang ia ketahui dari mantan atasannya, pasca insiden penyebab ia dipecat.
“Apa? Hahahaahhaahah … ini lebih gila lagi ….” Ocha tertawa dengan renyahnya.
“Emang … dan untungnya gue udah dipecat dari perusahaan itu. Kalau enggak, gue bisa tambah gila karena harus nahan kentut selama membersihkan seluruh ruangan direktur aneh itu.” Ning seolah bersyukur atas pemecatannya.
“Harusnya lo tadi pagi sarapan sama jengkol, biar gak tanggung bau nya.” Ocha malah memberi saran konyol.
“Lo salah, Cha … Harusnya tadi pagi, gue sarapannya makan ular. Biar kentut gue berbisa.” Ning ikut meladeni kekonyolan sahabatnya.
“Hahahahahaha … udah udah ah, lo jangan ngomong lagi. Bikin gue sakit perut tahu gak.” Ocha terus tertawa sembari memegang perutnya.
---------------- TBC ----------------
***************************
Assalamu’alaikum para reader yang kece badai …
Mari kita mulai story perjuangan Ning si gadis ceroboh yang memiliki kebiasaan aneh, dalam mendapatkan kebahagiaan sekaligus melepaskan predikat yang sejak lahir telah disandangnya….
Happy Reading ….
Jangan luva tinggalkan jejak mu …
Terimakasih …..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Asngadah Baruharjo
ha ha 🤣🤣🤣🤣, seruuuuuu thoorrr 👍👍👍👍👍
2023-09-04
0
Nani Rahayu
baru ban pertama udah ngakak
2023-05-01
0
adelliaalexa
assalamualaikum kakak, coba mampir di karya aku juga dong.
judulnya tahta semesta, ceritanya masih ongoing. ceweknya super nyebelin tapi dapet most wanted plus ceo perusahaan ternama. bukan cuma cinta segitiga tapi cinta segibanyak hehehe
2023-04-10
0