Reader tercinta
Author coba perbaiki dan kurangi typo.
Mohon koreksinya di kolom komentar.
Terimakasih.
...🙏🙏🙏...
Selamat membaca
...........
Sudah cukup lama aku berada di situ dan sudah saatnya pulang untuk menyiapkan bibit tanaman yang akan aku tanam besuk. Agar bisa mengejar dead line waktu yang di berikan. Aku pun pamit kepada pak Zulkifly dan segera pulang ke rumahku. Karena masih harus menyelesaikan permasalahan Sidiq yang kemarin berantem sama teman sekolahnya.
Semoga saja orang tua anak tersebut bisa diajak bicara baik baik, batinku.
Sampai di rumah disambut Nisa dan Jafar yang sedang bermain berdua.
“Ayaah… pulang, bawa oleh oleh gak buat Nisa yah ?” Tanya Nisa yang selalu menanyakan oleh oleh saat ayahnya pulang dari manapun. Sedang Jafar hanya diam tidak berkata apapun kecuali menjabat tangan ayahnya dan menciumnya.
“Aah kamu ini yang di tanyain oleh oleh terus tiap ayah pulang…!” jawabku ke Nisa anak gadisku.
“Kan Nisa anak ayah.” Sahut Nisa yang merasa sebagai anak harus diperhatikan dengan oleh oleh tiap ayahnya pulang. Pembawaan anak memang beda beda meskipun lahir dari orang tua yang sama.
“Iya iya, ayah bawakan makanan khas daerah kulon progo nih, Nisa mau gak. Mas Sidiq kemana ?” tanyaku pada nisa sambil menyerahkan bungkusan oleh oleh ke Nisa dan Jafar.
Nisa tidak menjawab melainkan langsung membuka bungkusan Growol dan Geblek khas daerah Kulon Progo tersebut.
“Mas Sidiq di dalam yah, baru main Gitar.” Jafar yang menjawab.
“Main Gitar ? sama Siapa ?” tanyaku ke Jafar. Sementara Nisa protes dengan oleh oleh yang ku bawa.
“Ini apa yah, jagung dikasih kelapa, sama satunya namanya apa kok gak enak ?” protes Nisa yang tak begitu suka makanan daerah.
“Itu namanya Growol sayang, satunya namanya geblek ( baca geble`k / vocal e yang kedua dengan melebarkan bibir ) makanan daerah. Bunda udah pulang belum Nisa ?” tanyaku pada Nisa.
“Udah lagi nemenin mas Sidiq sama temennya di dalam.” Jawab Nisa.
“Yaudah Jafar sama Nisa main diluar dulu ya, ayah sama bunda mau bicara sebentar dengan mas Sidiq.” Kataku kepada Jafar dan Nisa.
“Iya yah, mas Sidiq juga sudah nungguin ayah dari tadi.” Kata Jafar.
Aku masuk ke rumah dan langsung menuju ke kamar mandi cuci kaki dan tangan. Kebiasaan membersihkan diri setelah bepergian. Kemudian mencari Sidiq ke kamarnya. Aku mengintip dari celah pintu yang terbuka sedikit.
Aku mendengar Sidiq sedang belajar main gitar dengan membaca buku cord gitar bersama kawannya.
Kulihat Fatimah istriku ikut mengawasi Sidiq dan kawannya itu, aku sangat bersyukur Fatimah tulus dalam merawat Sidiq anak tirinya. Namun kadang juga berlebihan dan memanjakan anak anaknya.
“Bukan begitu pegang Cord nya Sidiq…!” kataku member tahu Sidiq.
“Eeh ayah, memang ayah bisa main gitar Yah ?” Tanya Sidiq.
“Bisa dong, coba pinjam dulu sini…!” kataku meraih Gitar yang dipegang Sidiq dan temennya.
Kemudian aku memetik senar gitar satu persatu mendengarkan nada per nada senar gitar tersebut.
“Ini namanya suara senar gitarnya belum Stem atau belum pas, harus di pas kan dulu nadanya Sidiq.” Kataku kemudian mencoba menyetel nada gitar tersebut secara manual.
“Nah ini baru pas nadanya.” Kataku pada Sidiq.
“Caranya gimana yah ?” Tanya Sidiq.
Rencana mau bertanya tentang masalah Sidiq jadi tertunda karena ada teman Sidiq dan karena sedang bermain Gitar. Kemudian aku jelaskan cara menyetem gitar dari senar no satu sampai terdengar nada e, kemudian disamakan dengan senar atasnya dengan menekan senar atas pada freet ke lima dan seterusnya.
“Tapi hati hati senar bisa putus bahaya kena mata, jadi jangan terlalu kencang dan mata jangan memandang ke arah senar.” Jelasku pada Sidiq.
“Mas mau minum apa ?” Tanya Fatimah.
“Buatin aku teh tubruk saja, perutku agak kurang baik kebanyakan ngopi dari tadi.” Jawabku.
“Memang mas tuh, ngopi melulu gak kenal waktu punya asam lambung juga…!” jawab istriku sambil jalan keluar kamar.
“Nah Sidiq main gitarnya nanti lagi ya, ayah mau bicara. Ini temen sekolah Sidiq, namanya siapa ?” tanyaku.
“Namanya ichal yah, mau ikutan belajar gitar boleh ya yah ?” Tanya Sidiq.
“boleh saja tapi sekarang Sidiq siap siap dulu nanti ikut Ayah dan bunda ketempat temen Sidiq yang kemarin Sidiq pukul. Sidiq harus minta maaf.” Kataku pada Sidiq.
“Tapi bukan Sidiq yang mulai Ayah, dia duluan yang mulai.” Kata Sidiq.
“Iya pak, saya juga lihat bukan Sidiq yang mulai mukul.” Bela Ichal temen Sidiq.
“Gak papa, mengaku salah bukan berarti salah. Lebih baik menghindari pertikaian dari pada harus bermusuhan. Yuk pindah ke ruang depan saja bicaranya.” Ajak Ku ke Sidiq dan Temennya.
Kemudian Sidiq dan temennya ikut aku ke ruang tamu, sambil membawa gitarnya.
Setelah berada di ruang tamu sambil menunggu Fatimah yang belum juga membawa minum aku bertanya pada Ichal temen Sidiq.
“Itu Gitar kamu Ichal ?” tanyaku pada Ichal.
“Iya pak, eeh punya kakak Ichal.” Jawab Ichal dengan polos bahasa anak anak.
“owh,, ya sama saja itu punya kamu. Memang kakaknya Ichal suka main gitar juga ?” tanyaku.
“Dulu pernah belajar tapi terus berhenti gak mau belajar lagi. Jadi Ichal pinjam saja buat belajar sama Sidiq.” Jawab Ichal.
Kemudian Fatimah datang membawa minum dan makanan ringan buat Ichal dan Sidiq juga.
“Tadi Fatimah yang ijinkan mereka main gitar mas, dari pada pergi jauh jauh.” Kata Fatimah.
“iya gak papa kok, aku juga gak melarang.” Jawabku.
“Tadi mas bisa ngajarin Sidiq, memang bisa main gitar mask ok Fatimah gak pernah lihat ?” Tanya Fatimah.
Aku tidak menjawab, karena memang sudah beberapa tahun tidak pernah memegang gitar sejak masuk pesantren dulu sampai sekarang. Tapi aku meminjam gitar yang di pegang Ichal dan kemudian memainkan instrumen klasik karya Keny.G buat menjawab pertanyaan Fatimah.
Hanya sekali aku aku memainkan sekedar menjawab pertanyaan Fatimah dan juga mencoba apakah aku masih bisa memainkan gitar. Ternyata masih cukup ingat, meski ujung jari kiri ku terasa sakit saat memencet senar gitarnya.
“Wah ayah bisa main gitar, ajarin Sidiq ong Yah ?!?” seru Sidiq kegirangan.
Dan tak kuduga Nisa dan Jafar pun ikut mendengar dan ikutan bergabung.
“Nisa juga ya yah ajarin bareng mas Sidiq..!” pinta Nisa.
Sementara Jafar tidak berkomentar apapun, bahkan tidak ada ketertarikan sama sekali. Aku hanya membatin, “Jafar ini karakternya sangat aneh, Sidiq main bola dia hanya menonton, Sidiq sekarang mau belajar Gitar dia tertarik juga tidak. Apa sih kesukaan anakku yang satu ini.” kataku dalam hati.
Aku tidak memberikan perhatian khusus kepada salah satu anak ku. Tapi karena jafar terlihat berbeda dengan anak sebayanya aku terpaksa mengamati dan mengawasi secara khusus. Meski tetap memberikan perhatian yang sama kepada Sidiq dan Nisa dengan porsi yang sama menurutku.
Setelah Ichal temen Sidiq pamit pulang kemudian aku mengajak Sidiq dan Fatimah untuk bersiap siap menemui orang tua anak yang kemarin berantem dengan Sidiq.
“Jafar, kamu di rumah dulu sama Nisa ya. Nanti kalo ada apa apa bilang saja sama mas Amir. Minta bantuan mas Amir, tapi jangan lupa kalo gak boleh nyuruh. Tapi bahasanya minta tolong dan harus bilang terimakasih sesudahnya. Faham kan Jafar Nisa juga begitu ya..!” kataku pada Jafar dan Nisa.
“Iya yah, Jafar ngerti.” Jawab Jafar.
Iya yah, nanti bawain kebab ya Yah…!” pinta Nisa. Anak ini memang gak boleh ayah ibunya keluar dikit tanpa bawa oleh oleh, pikirku. Kadang tingkahnya terasa lucu tapi kadang juga bikin pusing, kalo dibawakan oleh oleh makanan juga habis di bagiin temen temennya. Bukan sayang makanannya, hanya takut jadi sebuah kesombongan saja bagi Nisan anti.
Aku pun berangkat bersama sidiq dan Fatimah menuju ke rumah orang tua anak tersebut. yang ternyata kampungnya adalah kampungnya Margono yang dulu pernah selisih paham denganku beberapa tahun yang lalu.
“Kamu tahu gak Fat, kalo anak yang berkelahi dengan Sidiq kemarin adalah tetangga margono yang dulu pernah mengeroyok Rendy ?” tanyaku pada Fatimah.
“Lah terus bagaimana mas ? kan orang orang disitu terkenal agak bar bar ?” Tanya Fatimah khawatir.
“Gak papa, yang jelas kita kan tujuannya datang baik baik bukan mau bikin ribut. Kan aku ngajak kamu dan Sidiq untuk menunjukkan bahwa kita datang degan niat baik.” jawabku.
“Iya tapi Fatimah yang jadi ngeri mas.” Jawab Fatimah.
“Kita nanti ke tetua kampungnya dulu, jangan langsung ke rumah anak tersebut. biar gak jadi salah paham ada yang jadi penengah.” Jawabku pada Fatimah.
“Terserah kamu saja mas, yang penting angan ribut Fatimah udah capek dan mas juga harus ingat udah makin tua dah punya anak Tiga sekarang.” Kata Fatimah.
“Iya, lagian siapa yang mau ribut, mending mikirin cari duit buat biaya anak anak.” Kataku.
Kami pun segera menuju ke tetua Kampoeng dimana Cheko anak yang berkelahi dengan Sidiq kemarin tinggal.
Saat sampai di depan rumah tetua Kampoeng tersebut ( Orang yang disegani di kampong itu ) ternyata Mbah Kidi ( nama panggilannya ) sedag berada di teras rumahnya.
“Kulo nuwun Mbah Kidi !” sapaku pada orang tua tersebut.
“Koweki Ahmad, putune kang Sidiq Ali to ?” Tanya mbah Kidi.
(Kamu ini Ahmad cucunya kang Sidiq Ali kan )
“Iya mbah, ini anak istri saya, sehat to mbah ?” tanyaku.
“Iya Sehat, kalo gak sehat apa bisa duduk duduk nyantai begini.” Jawab mbah Kidi berkelakar.
“Owh iya ya mbah, maaf mbah saya mau bicara ada perlu sedikit.” Kataku pada mbah Kidi agak keras karena beliau sudah agak berkurang pendengarannya.
“Ono opo ? kalo ada yang mengganggu keluargamu bilang aku saja biar ku habisi sekarang juga. Gak usah kamu yang turun tangan, aku ingat jasa jasa bapakmu dan kakek mu padaku. Wis to omong o wae. [ sudah bilang saja].” Kata mbah Kidi.
“Gak kok mbah, justru ini anak saya kemarin berbuat salah, sudah memukul anak yang bernama Cheko. Dan kami mau minta maaf, kalo memang harus di obati biar kami ganti ongkos berobatnya. Karena anak saya yang salah.” Kataku pada mbah Kidi yang mantan penjudi dan mantan preman itu.
“Owalah Cheko bocah anyar kui to, [cheko anak baru itu to], biar ku suruh kesini saja orang tuanya kalo gak mau bicara baik baik nanti mbah mu ini yang akan kasih pelajaran sama dia.” Kata mbah Kidi.
“Gak usah mbah, bicara baik baik saja, eman eman tenagane simbah [ sayang tenaga nya simbah] kalo harus main fisik.” Kataku pada mbah Kidi. Yang paling disegani di Kampoeng itu, sampai ke anak anaknya pun ikut di segan i.
Kemudian mbah kidi menyuruh seseorang yang sedang lewat untuk memanggil Cheko dan orang tuanya.
“Le celukno Cheko sak bapak ibune kon neng omahku saiki ugo…!” perintah mbah Kidi.
[ le panggilin Cheko dan bapak ibunya suruh ke rumahku sekarang juga.]
“Njih mbah.” Jawab anakitu langsung berlari memenuhi perintah mbah Kidi. Meski sudah sepuh tapi ternyata mbah Kidi ini tetap di takuti dan dan di segan i warga, batinku. Hingga timbul penasaranku bagaimana dulu sepak terjang orang tua ini.
Tak berapa lama kemudian datanglah seorang anak sebaya Sidiq bersama kedua orang tuanya.
“Itu pak yang kemarin mukuli saya.” kata anak itu menunjuk Sidiq.
“Sidiq diam saja di depan ayahnya dia gak berani macam macam.
Orang tuanya pun sempat hampir emosi, kelihatan mukanya memerah menahan amarahnya. Dalam hati aku berkata, “urusan anak anak kenapa orang tuanya mau ikut campur ke sesame anak. Dasar mental mental cemen.” Kataku dala hati.
Untunglah mbah Kidi melihat respon orang tua Cheko cepat bertindak.
“Di bicarakan baik baik, kalo gak mau bicara baik baik musuhnya saya.” Bentak mbah Kidi yang membuat nyali orang itupun lantas menjadi ciut. Nah dasar mental cemen. Baru begitu saja sudah berubah total jadi ciut nyalinya.
Kemudian mbah Kidi mengajak kami semua msuk ke rumahnya untuk berunding. Aku dan Fatimah juga Sidiq masuk lebih dulu sementara kedua orang tua Cheko Nampak ragu ragu untuk masuk ke rumah mbah Kidi.
Hingga akhirnya mbah Kidi memanggilnya paksa, barulah mereka mau masuk.
“Nah sekarang kalian bicarakan baik baik disini, kalo ada yang ngeyel aku yang akan buat perhitungan !” kata mbah Kidi, meski aku yakin kalimat itu hanya ditujukan kepada orang tua Cheko saja bukan untukku.
“Ini mbah, kemarin anak saya di pukuli sama anak ini katanya.” Kata bapaknya Cheko kepada mbah Kidi.
“Bener begitu po le ?” Tanya mbah Kidi kepadaku.
“Kalo pastinya saya gak tahu mbah, tapi informasi dari gurunya tadi pagi kedua anak ini berkelahi yah namanya juga anak anak. Dan anak saya juga sudah saya nasehati dan jika bersalah juga saya suruh minta maaf sekarang juga. Makanya saya ajak kesini, biar nanti jadi anak yang bertanggung jawab, dan mau mengakui salah jika memang dia salah.” Kataku pada mbah Kidi.
“Anak kamu memang salah, anakku gak apa apa dipukuli sampai terluka begini…!” bentak bapaknya Cheko.
Kemudian mbah Kidi yang angkat bicara.
“Kowe ngerti dewe opo mik jarene ?” Tanya mbah Kidi ke bapaknya Cheko.
[Kamu melihat sendiri atau hanya katanya]
Bapaknya Cheko hanya diam saja tak bisa menjawab, aku pun gak mau angkat bicara dulu menunggu suasana agak reda dulu. Dari pada malah menimbulkan maslah baru.
“Anakmu itu namanya siapa ?” Tanya mbah Kidi padaku.
“Namanya Sidiq Sekar Tadji mbah.” Jawabuk.
“Aku mau bertanya ke anak mu, kamu diam saja ya !” perintah mbah Kidi padaku.
“Iya mbah.” Jawaku singkat.
“Ngger Sidiq, kenapa kamu memukul Cheko ?” Tanya mbah Kidi pada Sidiq anakku. Aku percaya Sidiq akan bisa menjawab karena dia punya nyali meskipun masih kecil juga.
“Dia yang mukul saya duluan mbah.” Jawab Sidiq.
“Bohong kamu kecil kecil juga…!” bentak bapaknya Cheko. Aku biarkan saja asal gak main fisik ke Sidiq, pikirku.
“Sidiq gak bohong om, Cheko duluan yang mukul Sidiq banyak kok saksinya teman teman Sidiq.” Jawab Sidiq tegas.
“kamu diam dulu, siapa yang menyuruh kamu bicara ?” bentak mbah Kidi pada bapaknya Cheko. Yang kemudian diam tertunduk.
“Cheko, bener kamu dulu yang mukul Sidiq ?” Tanya mbah Kidi pada Cheko.
Cheko diam tidak langsung menjawab, hanya pandangan matanya yang melihat bapak dan ibunya seakan minta persetujuan.
“Ayo jawab Cheko, jangan hanya diam saja !” kata Mbah Kidi.
“Iya mbah…!” jawab Cheko ketakutan.
“Kenapa kamu memukul Sidiq ?” Tanya mbah Kidi lagi.
“Dia menganggu saya mbah ?” jawab Cheko.
“Mengganggu bagaimana ?” Tanya mbah Kidi.
Cheko kembali diam tak berani menjawab, bahkan hanya tertunduk memandang lantai yang dia injak. Kemudian Mbah Kidi berbalik menanya Sidiq.
“Sidiq kamu mengganggu Cheko apa ?” Tanya mbah Kidi pada Sidiq.
“Soalnya dia mengganggu adik saya Jafar, dia mau merampas uang Jafar adik saya mbah.” Jawab Sidiq.
Bapaknya Cheko yang mau angkat bicara di bentak lagi oleh mbah Kidi.
“Kamu diam dulu, sekarang aku yang bicara sama anak anak kalian…!” bentak mbah Kidi. Menciutkan kembali nyali bapaknya Cheko.
“Apa benar yang dikatakan Sidiq Cheko ?” Tanya mbah Kidi.
Anak yang bernama Cheko pun makin ketakutan, dan semakin tertunduk saja.
“Jawab Cheko kalo gak mbah hukum nanti kamu.” Kata mbah Kidi.
Cheko tetap tidak bersuara hanya menganggukkan kepala, tanda mengakui perbuatanya.
“Coba di jawab ora mik mantuk tok.” Kata mbah Kidi.
[ coba dijawab gak hanya mengangguk saja ]
“iya mbah…!” jawab Cheko pelan.
“Nah kan sudah jelas sekarang mau bagaimana terserah kalian saj.” Kata mbah Kidi kemudian.
“Tapi anak saya jadi terluka mbah, siapa orang tua yang tega melihat anaknya di sakiti…?” kata bapaknya Cheko pelan namun justru membuat aku yang sudah bersabar dari tadi jadi naik pitam juga.
“Sebentar pak saya sudah diam dari tadi, karena saya merasa ini urusan anak anak biasa. Namanya anak anak sekarang berantem nanti sore rukun itu hal biasa. Kalo orang tua ikut campur itu namanya orang tua kekanak-kanakan. Disini saya tidak melihat ada yang di sakiti, tapi perkelahian anak anak itu biasa, kecuali kalo orang tua ikut mencampuri urusan anak. Kalo cheko dan Sidiq berantem kemudian saya melihat pasti saya lerai. Tapi kalo Cheko sama Sidiq berantem bapaknya cheko mau membela cheko maka musuhnya bukan Sidiq tapi bapaknya Sidiq…!!!” kataku pada bapaknya Cheko…..????
...Bersambung...
Jangan lupa mohon dukungan
Like
Komentar
Vote
dan lainya, episode awal belum masuk ke konflik.
...🙏🙏🙏...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 256 Episodes
Comments
Abdul Rozak
nah loh...
2022-10-29
0
Mat Grobak
kuapok mas yasin mulai marah
2022-09-14
0
Sugiri
anak 2berantem ud biasa orang tua ya jangan membela anaknya walau benar atau salah cukup dinasehati agar mereka bisa rukun kembali
2022-06-05
1