Dario menggendong Julie yang pingsan menuju ranjangnya. Ia menepuk-nepuk pipi Julie dengan pelan, berusaha membangunkannya.
Dario pergi ke dapur dan mengambil segelas air. Ia kembali dengan cepat.
Julie terbangun tapi kepalanya masih terasa sakit. Dario membantunya bangun dan memberinya segelas air. Julie terbaring lagi.
"Saya panggil Dokter," kata Dario cepat lalu meraih ponsel di saku celananya.
Julie meraih tangan Dario dengan tak kalah cepat. "Jangan telepon atau panggil siapapun," pintanya dengan suara lirih.
Dario meletakkan ponselnya di meja lalu beralih memandangi Julie dengan tatapan iba sekaligus cemas.
"Jujur sama saya, Julie," kata Dario terus mendesaknya.
" Ya, saya jujur," jawab Julie masih mengelak. Saat ini hanya ingin sendiri saja. Ia begitu tak ingin berdebat ataupun bahkan sekedar berbicara dengan Dario.
"Kamu tidak pernah punya pacar. Kamu hampir 15 jam sama saya seharian, kadang lebih. Kamu kerja ikut saya kemana-mana. Pulang diantar sopir dan begitu terus setahun terakhir ini. Saya tahu kamu bohong," kata Dario menatapnya dengan tajam.
"Saya punya pacar. Bapak saja yang tidak tahu," katanya berkelit. Julie memegangi kepalanya yang makin pusing.
Dario menghela nafas panjang. Ia melihat sekeliling apartemen itu. Tempat yang kecil tapi cukup rapi. Pandangan matanya tertuju pada barang-barang di kotak dan koper yang terbuka berisi pakaian. Ia beralih memandang Julie lagi dengan tatapan bertanya-tanya.
"Kamu mau pindah?" Tanyanya heran.
Julie tak menjawab. Matanya setengah terpejam sambil tangannya memegangi perutnya. Rasa mualnya datang lagi.
Julie bergegas ke kamar mandi tanpa memperdulikan Dario. Rasa mual itu hanya perasaan saja. Tak ada setetespun yang bisa dimuntahkan. Ia merasa lelah dan sensitif. Dario membantunya memegangi lengannya. Julie menampiknya. Ia berjalan lagi menuju ranjangnya lalu duduk di tepinya dengan lemas.
Dario mengambil air putih di gelas lagi. Julie menerimanya dan meminumnya. Dario berjongkok di depan kakinya. Julie merasa tak nyaman.
"Jawab saya, Julie. Berapa bulan kamu hamil?" Dario bergerak memegang perut Julie yang terasa sedikit membuncit. Julie lagi-lagi menampiknya.
Ia ingin mendorong pria itu keluar apartemennya. Kehadirannya membuatnya makin mual, tak nyaman dan kesal. Entah mengapa.
"Kalau benar itu anak saya, berarti setelah kejadian malam itu, seharusnya dua bulan," kata Dario. Ia masih berlutut di bawah, memandangi Julie dengan tatapannya yang teduh. Julie merasa muak.
"Tidak ada yang terjadi malam itu," kata Julie dengan singkat dan ketus.
"Saya melihat darah di ranjang dan kamu pergi, barang-barang milik kamu juga tidak ada dan kamu tidak muncul di kantor dari detik itu sampai sekarang," kata Dario tegas. Matanya menatap langsung ke arah Julie.
"Saya hanya tidak enak badan dan kembali ke kota dengan taksi," jawabnya sambil menatap ke arah lain.
"Saya lihat CCTV hotel. Saya masuk kamar dengan mabuk dan kamu keluar tak lama setelahnya. Tengah malam, Julie. Kamu tahu kan besoknya konferensi itu masih berlangsung. Saya kenal kamu, kamu profesional. Kamu tidak pernah meninggalkan pekerjaan kamu begitu saja. Pasti saya berbuat sesuatu dan kamu pergi meninggalkan saya. Itu anak saya kan?" Katanya sekali lagi. Digenggamnya tangan Julie. Julie masih tak ingin memandang ke arahnya.
"Julie, saya ingin bertanggungjawab. Kamu tahu kan saya tidak punya anak? Saya sangat senang bisa punya anak," katanya serius.
Julie mendengus dengan sebal mendengarnya.
"Maaf, maksud saya bukan dengan cara yang seperti ini. Tapi sudah terlanjur terjadi, saya akan menikahi kamu dan membesarkan anak itu," katanya dengan mantap.
Julie merasa sangat terkejut mendengarnya. Ia melepaskan tangannya dari genggaman Dario.
"Sudah saya bilang ini bukan anak Bapak dan Bapak tak perlu bertanggung jawab atau melakukan apapun. Tolong pergi dari apartemen saya atau saya panggil polisi," katanya dengan mulut bergetar.
"Itu anak saya," tegas Dario.
"Bukan," jawab Julie. Matanya sekarang berkaca-kaca. Ingin rasanya Julie memukuli lelaki itu. Hidupnya hancur karenanya.
"Buktikan di rumah sakit. Kita tes DNA janin itu," kata Dario tegas.
Julie tak tahan lagi. Ya, tentu saja ia tak bisa apa-apa. Rumah sakit pasti akan menunjukkan fakta sebenarnya kalau bayi yang dikandungnya adalah darah daging Dario. Ia tak pernah punya pacar dan tak pernah melakukan hubungan intim dengan siapapun. Tapi Dario yang merengut semua darinya.
Julie menggeleng. Ia kumpulkan tenaganya kuat-kuat. Ia berdiri. Dario ikut berdiri. Julie mendorong Dario keluar pintu apartemennya dan menguncinya. Dario mengetuk-ketuk pintunya, memanggil-manggil namanya dengan putus asa.
Julie terduduk di lantai di balik pintu itu sambil menangis sejadi-jadinya. Ia mengadu mengapa nasibnya seburuk ini.
Dario tak menyerah begitu saja. Ia menunggu di depan pintu. Lorong apartemen itu kebetulan sepi. Balkon menghadap ke bawah. Ia menengok ke bawah dan melihat mobilnya terparkir di situ. Ia buru-buru pergi tadi dan pergi tanpa sopir.
Ia pura-pura pergi menuruni tangga. lalu ia melepas sepatunya dan kembali mengendap-endap lalu duduk di depan pintu tertutup itu.
Didengarnya gadis itu menangis tersedu-sedu. Ia mendengarnya tanpa bisa berbuat apa-apa. Jelas-jelas ia ditolak.
Dario sangat yakin sekarang. Gadis itu benar hamil dan anak yang dikandungnya adalah anaknya.
Apa yang bisa ia lakukan sekarang. Tak ada. mungkin Julie butuh waktu sendiri. Tapi ia tak bisa meninggalkannya sendirian juga. Bagaimana kalau Julie kabur. Jelas-jelas ia tadi melihat tumpukan barang-barang dalam kotak dan kopernya yang berisi baju. Julie pasti ingin lari.
Dario merasa putus asa. Ponselnya tertinggal di dalam. Tadi sewaktu Julie melarangnya menelpon dokter, ponsel itu ia taruh di atas ranjangnya.
Dario berpikir keras. Jarak apartemen dari kantornya cukup dekat. Ia memperhitungkan perjalanan dan waktu yang diperlukan Julie untuk lari. Ia sedang hamil. Ia tak bisa pindah sendiri.
Dario lari turun. Ia mengendarai mobilnya dengan cepat seperti orang kesetanan. Ia tiba di gedung tinggi itu. Ia meminta anak buahnya mengawasi Julie di gedung tinggalnya. Ia memberi alamat lengkapnya dan memintanya menahannya kalau ia akan pergi.
Dario naik ke lantai atas, tempat kantornya berada. Ia menunggu lift terbuka dengan tak sabar. Ia masuk dengan cepat.
Dario keluar dari lift dan lari menuju meja kerjanya. Di sana ada ponselnya yang satu lagi. Dario bergegas menelpon ponselnya sendiri yang tertinggal di apartemen Julie.
Dario meminta semua orang di lift menyingkir dan ia bergegas turun. Pandangan matanya tajam dan terlihat cemas. Nada sambung teleponnya berbunyi, tapi tak diangkat.
Dario mengemudikan mobilnya lagi menuju ke apartemen. Lututnya terasa lemas. Bagimana kalau gadis itu menghilang lagi?
...----------------...
Jangan lupa tinggalkan jejak ya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Uti Gaol
seruuuu
2021-09-01
1
bunda fz
lanjut
2021-08-27
1
tri m
ikut ngos ngosan
2021-08-20
2