“Bagaimana jika kita bertanding!!”
Langkah Maglina dan teman-teman sekelompoknya langsung berhenti ketika Antonio tiba-tiba berhenti berjalan dan memutar tubuhnya menghadap mereka.
Kali ini apa lagi? Pikir semua anggota kelompok kecuali Maglina.
Antonio tersenyum puas, saat ini tidak ada yang mampu mengontrolnya seperti yang dilakukan Frigid. Ia pikir adalah saat yang bagus untuk membalas perbuatan Maglina yang telah mempermalukannya tadi.
“Kita memang sedang bertanding dengan kelompok lain.” ucap Maglina seadanya.
“Tidak! Ini hanya untuk kita.” ucap Antonio sembari menunjuk Maglina.
“Berhentilah melakukan hal yang tidak penting. Untuk apa aku bertanding denganmu sementara itu tidak memberiku nilai tambah pada kelas ini.” jelas Maglina.
Apa yang dikatakan Maglina ada benarnya. Ia tidak akan mendapat nilai tambahan jika melakukan sesuatu di luar pelajaran. Terlebih tenaganya akan digunakan secara cuma-cuma.
semua anggota kelompok kompak menatap Antonio. Mereka juga lelah jika harus melihat salah satu teman kelompok mereka malah saling bersaing.
“Tidak makan malam! Yang paling lambat mendapat hewan buruan tidak akan makan malam! Bagaimana?” seru Antonio.
“Kamu yakin?” tanya Maglina.
Antonio mengangguk yakin.
“Haah… Baiklah jika kamu memaksa.” ucap Maglina sembari mulai menarik anak panahnya dan memasang di busur untuk langsung siap dilepaskan ketika melihat mangsa.
“Kamu gila Antonio. Bagaimana jika dia mendapat lebih dulu darimu?” tanya salah satu rekan sekelompoknya.
“Kamu pikir aku akan kalah begitu saja?! Aku juga akan mendapatkan sesuatu sebelum matahari terbenam.” ucap Antonio sembari mulai menyusul langkah Maglina.
*
*
*
Di sinilah Ree, di dalam hutan belantara bersama empat rekan satu kelompoknya. Ia tidak tahu mereka akan berbuat apa, karena ketua kelompok yaitu Frigid sedari tadi hanya diam dan berjalan melewati berbagai semak belukar sementara ia hanya mengikuti dari belakang.
“Frigid, menurutmu kita akan memasang perangkap atau tidak?” tanya salah satu rekan sekelompok dan ucapannya itu menghentikan langkah sang ketua kelompok termasuk Ree.
“Menurutmu apa perlu kita pasang?” tanya Frigid.
Ree menatap ketua kelompoknya itu heran. Jika orang tahu keputusannya apa, tidak mungkin ia bertanya. Lalu ia malah balik bertanya, itu terdengar sedikit menyebalkan bagi Ree.
“Hahaha… Kurasa tidak perlu, ya?” yang duluan bertanya malah nampak seperti orang bodoh.
“Menurutku, kita bisa memasang perangkap. Namun putuskan dulu, apa yang ingin ditangkap.” Akhirnya Ree bersuara setelah sekian lamanya mereka berjalan dan membuat semua orang memusatkan perhatian pada satu-satunya gadis di kelompok mereka itu.
“Namun sepertinya disini tidak bisa.” ucap Frigid singkat namun sedikit terasa tajam bagi Ree.
Laki-laki itu mengucapkan sanggahan dengan wajah seperti mata ikan mati, datar dan tidak berdosa.
“Ree, ayo kita lanjut berjalan saja.” ucap rekannya yang bertanya tadi.
“Haah… Baiklah.”
Kelompok itu pun melanjutkan perjalanannya untuk lebih masuk lagi ke dalam hutan dan udara yang mereka rasakan semakin lembab dan basah, menandakan mereka menapak di daerah rawa.
“Hey, apa dia memang kaku seperti itu?” tanya Ree pada rekan yang menghentikannya tadi.
“Panggil saja Marco.”
“Ah, baiklah. Marco, apa ketua kelompok kita memang selalu kaku seperti itu?” bisik Ree pada rekan sekelompoknya yang mengenakan kaca mata bulat dan bertubuh cukup tinggi itu. Mereka berdua kompak berjalan bersama di barisan paling belakang.
“Dia mungkin terlihat kaku, namun Frigid adalah orang yang baik. Tenang saja, ia tidak akan memperlakukanmu seperti Antonio.” jawab Marco.
“Kita akan memasang perangkap di sini.” ucap Frigid tiba-tiba dan berhenti tepat di tepi sungai.
Keputusannya benar-benar mengejutkan semua orang, termasuk Ree dan Marco yang barusan membicarakannya. Terlebih Ree, ketika melihat lokasi yang di maksud oleh Frigid membuatnya benar-benar terkejut.
Permukaan tanah yang lembab dan banyak tanaman rambat menutupi air di bawahnya, lalu aliran sungai yang tidak lebih dari dua meter di depan membuat Ree menelan ludah.
“Bukankah ini rawa-rawa? Apa yang kita tangkap di sini jika memasang perangkap?!” tanya salah satu rekan lain yang merasa dibingungkan oleh sang ketua.
“Jangan bilang,” ucap Ree menggantung ucapannya lalu menatap Frigid dengan tatapan tidak percaya.
“Ree? Apa kamu mengetahui sesuatu?” tanya Marco yang juga tidak tahu maksud dari keputusan Frigid.
Ree menghela napasnya lalu menatap Frigid yang sejak tadi sudah menatapnya.
“Kamu ingin menangkap buaya rawa?” tebak Ree menatap Frigid horror.
“Apa?!” seru Marco kaget dengan tebakan Ree yang tidak main-main.
“Jangan bercanda!” seru rekannya dan kompak menatap Frigid.
Namun Frigid hanya menatap satu orang saja yaitu Ree.
“Memangnya kenapa?” tanya Frigid seolah membenarkan tebakan Ree tentang apa yang akan mereka buru.
Ree sedikit mengernyitkan dahinya, ia tidak tahu jika mereka memiliki ketua kelompok yang sedikit ekstrim. Jika kelompok lain mungkin akan berpikir untuk menangkap hewan yang memamah biak, namun kelompoknya malah mengincar predator puncak di alam.
“Tidak masalah bagiku, namun bagi rekan lain?” tanya Ree sembari menatap rekan kelompoknya yang awalnya protes. Mengikuti arah tatapan perempuan yang ada di depannya, Frigid pun ikut menatap semua anggota kelompoknya dengan tatapan kosong namun terasa begitu tajam dan menuntut hingga membuat semua orang memilih bungkam.
“Ah, itu… apa kita pasang perangkapnya disini?” tanya Marco.
“Jangan.” ucap Ree tiba-tiba lalu melangkah maju beberapa langkah sembari dan mendekat dengan bibir sungai.
“Jika ingin menangkap sesuatu yang lebih sering berada di dalam air, ada baiknya kita pasang disini.” ucap Ree sembari menunjuk pinggir sungai yang sedikit berlumpur.
“Ku rasa kita disini menantang maut.” timpal salah satu rekannya pada Marco.
Menanggapinya Marco hanya tersenyum tipis lalu kembali menatap punggung Ree yang sedang menghadap sungai yang cukup dalam itu.
“Kamu benar.” timpal Frigid yang sudah berdiri di sisi Ree.
“Kita akan menangkap setidaknya satu buaya rawa disini.” lanjut Frigid.
Ree mengerti perasaan teman-temannya yang lain kecuali Frigid, mereka pasti harus mau tidak mau mengikuti kata ketua seperti Frigid. Entah kenapa harus begitu. Sebenarnya apa yang ada di dalam diri Frigid sehingga orang bisa menjadi penurut.
“Ehem! Aku sudah menebak ini, Frigid tidak akan pernah mau melakukan hal yang mudah, kamu pasti tidak ingin kalah dari kelompok lain.” Tiba-tiba seorang pemuda yang bertubuh kekar maju mendekati Frigid.
“Apa kamu kurang setuju, Heittblood?” tanya Frigid.
Ree tidak menyangka jika ada yang berani bersuara diantara mereka selain dirinya.
Pemuda yang dipanggil Heittblood itu hanya terkekeh sembari menatap aliran sungai yang bisa dibilang sangat tenang itu.
“Siapa bilang aku menolak? Aku hanya memperhitungkan situasi, jika kita memasang perangkap, bisa saja besok kita tidak akan mendapat apa-apa, terlebih jangan panggil aku Heittblood, aku memiliki nama sendiri yaitu Viovarand” timpalnya.
*
*
*
Masih di lokasi yang sama namun di titik yang berbeda dari tempat kelompok Frigid. Lokasi itu adalah lereng gunung tempat dimana Antonio dan Maglina sedang mengintai satu hewan buruan yaitu singa gunung yang sedang bersembunyi di salah satu lubang tempat ia tinggal.
“Apa kita biarkan saja seperti ini? Salah satunya tidak akan mendapat makan malam nantinya.”
“Biarkan saja, Antonio bukanlah orang yang mau mengalah dan ingin dikalahkan. Terlebih maglina juga mau meladeninya.”
Ketiga anggota kelompok satu itu hanya pasrah ketika melihat Maglina dan Antonio yang sama-sama mengintai hewan buruan yang sama.
Entah siapa yang menang, itu hanyalah hasil karena yang terpenting mereka harus kembali sebelum hari gelap.
Saat siang seperti ini mungkin hutan dan pegunungan tidaklah terlalu sulit untuk ditelusuri meski terdapat beberapa medan yang melelahkan ketika dilalui. Namun, semuanya akan berbanding terbalik ketika malam hari. Entah itu daratan atau perairan, tidak ada yang dapat dipercayai dan hanya menjadi tempat penuh ancaman. Semua kelompok harus kembali sebelum matahari terbenam untuk menyiapkan makan malam untuk mereka sendiri.
“Kelasmu memang tidak pernah mudah profesor Millesimun.” timpal Kyle ketika mereka sedang berjaga di tanah perkemahan sembari menunggu murid-murid yang sedang berburu di dalam hutan.
Millesimun terkekeh sembari memperbaiki kaca mata bulatnya ketika melihat beberapa kelompok yang baru saja kembali dengan membawa hewan buruan yang telah mereka dapatkan, bahkan salah satu kelompoknya adalah kelompok Liliana yang sudah membawa rusa jantan dengan kondisi masih hidup dan tanpa luka sedikitpun.
“Wah! Kalian luar biasa, bagaimana bisa mendapatkannya dengan kondisi seperti ini?” tanya Millesimun pada kelompok lima sembari menunjuk rusa yang sudah diikat kedua kaki dan matanya.
“Kami hanya menambahkan obat penenang pada jarum yang ingin ditembakkan padanya, lalu mengikatnya.” jelas Liliana tenang.
“Walaupun melakukannya sangat tidak mudah.” timpal anggota kelompoknya.
“Itu benar, namun kalian melakukannya dengan baik.” ucap Liliana sembari tersenyum tipis pada anggota kelompoknya.
Liliana sejak awal memang selalu menampakkan wajah datar tanpa minat untuk mengeluarkan berbagai macam ekspresi. Selama perburuan ia hanya menunjuk dan menunjuk, entah itu orang atau barang. Meski begitu ia akan tetap turun tangan ketika terdapat halangan atau masalah. Anehnya semua orang mau saja menurutinya. Karena itu, setelah bekerja keras dan membawa beban berat akan lebih sempurna ketika mendapat pujian dan senyuman.
*
*
*
Satu, dua, tiga!
Dua buah anak panah melesat bersamaan dan langsung mengenai objek yang sama hingga membuat mangsa mereka langsung terjatuh karena kalah dengan dua panah yang benar-benar mengenai titik vitalnya.
“Grrhhh…”
Seluruh kelompok Antonio dan Maglina terkejut satu sama lain dan menatap tidak percaya bahwa keduanya kompak melempar anak panah pada seekor singa jantan gunung itu hingga hewan itu tidak mampu lagi untuk lari.
“Cih! Sial!”
Timpal Antonio kesal karena panah mereka kompak melesat.
“Nampaknya tidak ada yang tidak makan malam kali ini.” timpal Maglina sembari mengikuti langkah teman-teman sekelompoknya untuk mengangkut hewan buruan mereka ke perkemahan.
*
*
*
Ree tahu betul bahwa seluruh mahkluk hidup pasti memiliki kekurangan, entah itu manusia atau hewan. Sebuas-buasnya hewan pasti ada satu atau beberapa cara untuk menanganinya. Sejak tadi kelompoknya yaitu kelompok dua sudah mengintai seekor predator puncak di sungai yang sedang berenang santai di dekat pinggiran sungai yang memiliki aliran tenang itu.
“Aku tidak tahu sampai kapan kita harus di sini, air sungai akan semakin naik ketika hari sudah gelap.” bisik Marco yang berada di dahan yang sama dengan Ree.
Dahan? Iya, dahan pohon. Mereka memantau mangsanya dengan memanjat pohon yang memiliki dahan yang cukup kuat dan mengarah ke tengah sungai. Tugas Ree dan Marco adalah memancing keberadaan buaya itu dan mengarahkannya pada daratan dimana Frigid dan Viovarand berada dengan tali dan pengait di tangan mereka.
Hewan yang mereka targetkan tidaklah besar, bisa dibilang masih muda karena mereka tidak ingin mengambil risiko tinggi dan membuang banyak waktu.
“Tenanglah Marco, kita bisa menyelesaikannya sebelum air naik dan hari gelap. Pegang pancingannya dan mulailah memancing untuk makan malam kita. Aku akan mengurus predator itu.” timpal Ree sembari perlahan berpindah dari dahan satu ke yang satu lebih rendah untuk memasang umpan pada tombak pengait.
Berkat keahlian anggota lain, mereka bisa mendapatkan beberapa bebek hutan untuk dibawa pulang dan menjadi umpan.
“Dia muncul.” ucap Ree pada Frigid dan Viovarand.
Kedua laki-laki itu mengangguk dan langsung bersiap ketika sebuah moncong berwarna gelap dan panjang muncul ke permukaan. Sementara Ree dengan perlahan berjalan menuruni dahan yang ia pijaki untuk semakin rendah dan dekat dengan permukaan tanah sementara satu tangannya masih memegang tombak yang membawa umpan untuk memancing buaya itu keluar. Perlahan tapi pasti, Marco dan yang lainnya sudah berkeringat dingin dengan apa yang mereka lakukan sekarang.
Krek!
“Ah!”
“Ree!!”
Nyaris saja. Jika tidak berpegang erat dengan dahan yang cukup kuat di depannya, Ree mungkin sudah menjadi pengganti bebek hutan untuk menjadi umpan buaya. Kakinya sedikit salah menginjak dahan membuatnya sedikit terpeleset namun masih bisa ia kembali ke tempat semula.
“Aku baik-baik saja.” ucap Ree tenang sembari menatap Frigid yang menunggu gagang umpan yang Ree pegang agar ia dapat membawa buaya itu jauh dari air untuk Marco dan Ree bisa turun dari pohon.
Situasi begitu hening karena tidak seorangpun bersuara kecuali erangan dari kerongkongan buaya berukuran 5 meter itu.
“Ree.” panggil Frigid agar perempuan itu menyerahkan gagang tombak padanya.
Perlahan Frigid mendekati Ree untuk mengambil tombak itu dengan umpan yang masih terarah di depan mulut buayanya.
“Ketika kami sudah mengikat mulutnya, kalian berdua harus turun dengan cepat.” ucap Frigid lalu kembali ke posisi semula.
*
*
*
“Apa kamu khawatir?” tanya Liliana pada Maglina yang sedang duduk melamun menatap gerbang masuk ke dalam hutan.
Sebentar lagi matahari akan benar-benar tenggelam, seluruh hutan akan menjadi tempat gelap dan berbahaya. Bahkan beberapa sisi sudah gelap dan suara-suara hewan buas malam mulai bermunculan.
Semua kelompok sudah kembali dengan buruannya masing-masing dan mulai memasak makan malam dengan hasil tangkapan mereka. Sementara satu kelompok belum kembali.
“Dia satu-satunya perempuan di sana membuatku sedikit khawatir, bagaimana jika ia di ganggu oleh teman sekelompoknya.” ucap Maglina sedikit resah.
“Walaupun aku tahu murid perempuan yang mengambil kelas ini pasti tidak selemah itu.” lanjut Maglina.
Liliana mengerti dengan kekhawatiran dan keyakinan Maglina, ia juga sempat bertanya-tanya tentang betapa lamanya Ree dan kelompoknya kembali.
“Huh! Ia satu kelompok dengan orang itu, pasti mereka menangkap sesuatu yang merepotkan.”
Liliana dan Maglina kompak menatap siapa yang ikut bergabung dengan obrolan mereka. Ia adalah Antonio, laki-laki yang hari ini sedikit memiliki masalah dengan Maglina.
“Maksudmu ketua senat yang melerai tadi?” tanya Maglina.
Antonio menatap gerbang hutan dengan wajah ketusnya ketika yang dimaksud adalah Frigid.
“Apa bagusnya murid dengan wajah seperti boneka porselen itu? Jika dilihat dari penampilannya nampak sangat rapuh.” timpal Liliana yang bisa dikatakan tidak memuji penampilan Frigid yang banyak dikagumi oleh murid perempuan di La Priens itu.
“Wah! Baru kali ini aku mendengar seorang perempuan tidak memujanya.” ucap Antonio kaget.
“Jika semua selera wanita sama, tidak akan ada kisah si cantik dan si buruk rupa.” sambut Maglina.
Baru saja Antonio ingin menyambut ucapan Maglina yang sedikit membuatnya kesal harus dihentikan karena suara seruan dari teman sekelas yang melihat kedatangan kelompok terakhir itu dengan membawa seekor buaya yang sudah diikat dengan erat mulut dan tangan-kakinya dalam keadaan masih hidup.
“Apa yang ku katakan, mereka pasti diajak untuk menangkap hewan yang cukup merepotkan.” timpal Antonio.
“Aku pikir kita akan datang setelah hari gelap.” ucap Marco dengan penuh rasa khawatir. Wajah laki-laki itu seperti sudah kehilangan setengah nyawanya hingga membuat Ree yang berjalan di sampingnya sedikit terkekeh geli.
“Ree!! Oh tidak! kenapa kamu penuh lumpur!!” seru Maglina ketika menghampiri kelompok Ree dan melihat seluruh pakaiannya basah kuyup dan berlumpur.
“Ah, Itu karena Marco terpeleset di sungai.” jawab Ree sembari mengingat kejadian setelah mereka berhasil memasukkan tali pada mulut buaya dan bersiap untuk mengikatnya, namun ternyata Frigid dan yang lainnya membutuhkan bantuan membuat Marco dan Ree juga harus turun.
“Marco terlalu panik dan akhirnya malah terpeleset ke sungai, tapi syukurlah semuanya baik-baik saja.” lanjut Ree sembari menatap Marco yang berdiri di sampingnya.
Namun berbeda dengan cara Ree menatap Marco, di sisi lain Viovarand nampak menatap tajam kearah laki-laki yang sedang tertawa bersama Ree karena mengingat kejadian konyol tadi.
*
*
*
Setelah berbenah dan membersihkan diri, Ree masih berdiam diri di dalam tendanya sembari duduk dan memegang dada kirinya lalu dengan tenang menarik napas.
“Ree? Ayo makan malam.”
Ree dikejutkan dengan kedatangan Maglina dari arah pintu masuk.
“Aku akan menyusul sebentar lagi.” ucap Ree dengan senyum ringan di wajahnya. Maglina hanya mengiyakan tanpa bertanya lebih lanjut lalu pergi dari tenda meninggalkan Ree sendirian.
“Haah!!” Ree menarik napasnya cukup dalam dan menghembusnya secara perlahan. Ia melakukannya berulang-ulang sampai rasa sesak di dadanya menghilang.
Ree sudah tahu jika rasa sesaknya akan kambuh ketika terlalu banyak melakukan kegiatan dan dikelilingi oleh orang-orang asing. Rasa sesak dan gelisahnya harus kambuh ketika ia mulai mengikuti kelas berburu dan berkelompok dengan laki-laki. Ia memang tidak berpikir bahwa orang-orang di kelompoknya adalah orang jahat, namun nalurinya malah mengatakan sebaliknya. Ia gelisah dan mulai panik sendiri hingga merasa sesak seperti ini, hal yang membuatnya semakin buruk ialah ketika ia harus membopong Marco yang terjatuh ke sungai.
“Hidupku terlalu aneh.” timpal Ree lalu pergi dari tendanya untuk makan malam.
Perasaannya mungkin terasa sangat gelisah, namun ia juga perlu energi dari makanan untuk menjalani hari dan menguatkan dirinya.
Hingga langkah Ree terhenti ketika melihat dua orang yang ia kenal ternyata belum bergabung di tenda makan dan malah nampak satunya seperti mengganggu lawan bicaranya.
Ree memutuskan untuk mengajak mereka, maka ia sedikit mendekat dan semakin jelaslah siapa yang berdiri di belakang tenda laki-laki kelompok dua itu.
“Apa itu yang bisa kamu lakukan? Berhenti saja jika kamu masih memasang wajah konyol seperti tadi.” ucap Viovarand pada laki-laki yang sedikit rendah darinya itu.
Nampaknya jelas Marco sedang berusaha membalas tatapan tajam Viovarand padanya dengan gelisah dan gelagapan.
“B-bagaimana bisa aku berhenti, kelas ini sangat penting untuk diikuti.” jawab Marco panik.
“Jangan berpikir kelas ini semudah kelas seni atau yang lainnya. Di sini kentara dengan pertaruhan nyawa, Apa kamu tidak malu ditolong oleh seorang perempuan seperti tadi? Itu karena Ree bisa menangani situasi dengan baik maka kalian berdua tidak hanyut dan tenggelam. Lebih baik kamu berhenti dari kelas ini dan cari kelas yang bisa kamu tangani.”
Ree mematung ketika namanya disebut oleh Viovarand. Ia pikir mereka hanya mengobrol hal ringan saja. Ree tidak tahu, apa hubungan keduanya hingga Marco seperti ditegur habis-habisan oleh Viovarand.
“Hmmp!”
To Be Continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments