Setelah melihat daftar kamar, Ree menyeret koper dan barang-barangnya menyelusuri lorong yang sedang cukup ramai karena para penghuni baru termasuk Ree di dalamnya. Setelah mengecek kunci yang ia pegang bernomor 224, Ree pun mencari pintu kayu coklat yang memiliki nomor itu. Tidak berada di ujung dan di tepi, juga bukan dari pertengahan, Ree berhasil menemukan pintu bernomor 224. Jika dari lubang kunci yang sudah tidak ingin diputar ketika Ree ingin membukanya, itu berarti sudah ada orang di dalamnya.
“Permisi…” bisik Ree sembari membuka pelan pintu kamarnya dan langsung menampakkan ruangan yang memiliki luas 5 x 5 meter persegi dengan dua ranjang yang bersebelahan dan lemari dua pintu yang terletak di depan ujung ranjang.
Ree dapat membayangkan ranjang di asrama ini lebih empuk dari asrama lamanya dulu. Ia yakin dapat terlelap cepat jika langsung tidur.
Namun, abaikan itu. Ree tidak sendirian disini. Ada seorang gadis yang memiliki rambut coklat bergelombang sedang menatapnya di ujung ruangan.
Lalu kembali mengemasi barang-barangnya yang kebanyakan buku itu dalam satu detik kemudian.
Ree awalnya acuh tak acuh lalu nampak kaget sendiri.
“Kamu yang di kereta tadi bukan?” tanya Ree.
Gadis yang diajak bicara oleh Ree itu menunda pekerjaannya lalu menyeret sorot matanya untuk menatap seorang yang seumuran dengannya itu dari bawah hingga atas.
“Kulit kekuningan sedikit terbakar matahari dan berambut pendek. Akademi semi militer.” ucapannya bukan menyinggung atau bermaksud jahat menurut Ree, juga bukan untuk merendahkan.
Tiba-tiba gadis itu berdiri dan menghampiri Ree dengan sorot mata yang sangat tidak bergairah untuk berkenalan menurut Ree.
Ia pun mengulurkan tangannya.
“Ghea Friesesia Jackwood.”
Tanpa menunggu lama Ree langsung menyambut uluran tangan itu ketika mendengar nama dari teman sekamarnya.
“Ree Iunae Lumen dari Akademi Puteri Litore.” ucap Ree.
“Sudah kuduga, kamu nampak bercahaya namun terasa sangat dingin.” timpal Ghea.
“Maksudnya?” tanya Ree bingung.
Ghea hanya tersenyum tipis dan penuh misteri lalu kembali menyusun kembali barang-barangnya tanpa berminat menjawab pertanyaan janggal Ree.
“Eh? Eh? Lalu, Ghea. Darimana asalmu?” tanya Ree sembari mulai membereskan barang-barangnya sebelum makan malam dimulai.
“Akademi Puteri Desera.” jawab Ghea singkat.
“Itu adalah kota yang terkenal dengan gurun pasirnya dan ramalan...” ucap Ree pelan.
Ree tidak menyangka akan sekamar dengan murid akademi yang lebih fokus pada bidang sihir dan ilmu semacamnya. Ia sendiri bahkan tidak yakin apa sihir itu ada. Seperti yang Ghea katakan, Ree memang berasal dari akademi yang mempelajari ilmu maritim dan semi militer merupakan sesuatu yang nyata adanya. Perpaduan kamar ini benar-benar kacau, pikir Ree.
*
*
*
Ree baru saja selesai mandi. Ia melihat hari penyambutan sangat cerah sampai sinar matahari dapat masuk ke dalam kamarnya dan Ghea. Matanya menatap seragam yang tidak seperti miliknya di akademi lama. Seragam terusan berwarna coklat tua dan ditambah dengan mantel sepinggang serta topi yang menurut Ree akan sedikit kebesaran jika ia kenakan.
“Ree, apa kamu akan melewati sarapan?” tanya Ghea yang sudah berpakaian.
“Ah, tidak, tunggu sebentar.” ucap Ree lalu dengan cepat mengenakan seragamnya.
*
*
*
Sudah Ree duga, topi bundar yang diberikan akademi untuknya cukup besar hingga menutupi matanya dan setengah dari hidungnya. Ree hampir tertawa sendiri karena tingkah konyolnya. Ghea pun nampak tidak terlalu menggubris orang lain, jadi Ree nikmati saja upacara pembuka dengan senyamannya.
“Apa Ree tahu? Di sini ada matahari.” bisik Ghea di tengah-tengah upacara.
Ree melirik teman sekamarnya itu dengan heran, kali ini apa lagi yang dimaksud? Apa semua murid akademi ilmu supranatural seperti ini?
“Ini di dalam aula Ghea, matahari tentu ada, namun terhalangi oleh bangunan.” balas Ree tidak kalah pelan.
“Tidak, benar-benar ada.”
“Baiklah, selanjutnya penyampaian dari ketua senat, Frigid Ventfons Cali.” ucap pembawa acara dan disambut dengan tepuk tangan meriah dari seluruh penghuni termasuk Ree.
“Datang!” ucap Ghea.
Ree menatap Ghea jengah karena sejak tadi teman sekamarnya itu sudah banyak mengatakan hal-hal aneh secara tiba-tiba.
“Kali ini apa yang datang?” tanya Ree.
Ghea menoleh pada Ree dengan tatapan kosongnya.
“Eh? Apa aku mengatakan sesuatu?”
“Apa?!”
Keduanya saling menatap satu sama lain tanpa kata. Ree merasa semakin ia bertanya tentang maksud perkataan Ghea, semakin tampak tidak jelas arah pembicaraan mereka.
“Karena akademi ini telah berubah, maka mau tidak mau perubahan juga dialami oleh kami para anggota senat. Kami akan merekrut beberapa murid perempuan, silahkan datang berkunjung ke ruang senat dan mendaftar.” ucap Frigid sebelum ia menutup pidatonya.
Kesan lembut dan ramah langsung tersampaikan pada seluruh murid perempuan ketika mendengar pidato Frigid yang seperti seorang pemeran utama di cerita. Terlihat bersinar meski kulitnya pucat, kontras dengan rambut hitamnya.
Iya, semua orang yang berani berdiri di podium dan di depan orang ramai selalu memiliki aura pemeran utama. Mereka berani, percaya diri, dan mampu membuat semua orang memperhatikannya.
“Karena itu, selamat datang di Akademi La Priens. Semoga kita bisa membuat tahun terakhir dengan menyenangkan.” ucap Frigid lalu kembali ke tempat duduknya semula.
*
*
*
“Apa kamu akan langsung pergi ke kelas?” tanya Ree pada Ghea ketika mereka sedang makan siang di kafetaria.
“Begitulah, aku masih harus menyusun kelas yang harus ku ambil.” jawab Ghea lalu menghabiskan roti isinya.
“Sampai nanti Ree.” ucap Ghea melesat sembari membawa nampan makan siangnya.
Beruntungnya Ree sudah membuat daftar kelas yang ia ambil dan bersiap untuk kelas pertamanya hari ini. ia tidak ingin terlalu ambil pusing. Apa yang sudah di putuskan oleh akademi, ia tinggal mengikuti saja.
*
*
*
Sementara itu, berada sisi gedung yang berbeda namun tetap di tempat yang sama dengan keberadaan Ree sedang mengisi sebuah ruangan yang cukup luas dan diisi dengan beberapa murid yang nampaknya mengikuti kelas seni musik. Karena baru hari pertama, mereka yang ikut dalam kelas diperkenankan untuk melihat pertunjukan dari Yohan yang merupakan salah satu pianis terbaik di akademi.
“Baiklah, terima kasih Yohan sudah bersedia bermain untuk kami.” ucap seorang wanita yang dikenal sebagai nyonya Apple, ia adalah pengajar di kelas seni.
Yohan tersenyum kepada nyonyal Apple lalu pada murid perempuan yang mengikuti kelas seni.
“Lalu, bagaimana dengan para gadis? Apa kalian ada yang ingin dipertunjukkan juga?” tanya nyonya Apple pada deretan gadis yang pertama kali bergabung dalam kelas.
Tiba-tiba dari arah belakang terdapat tangan yang menjulur keatas sembari menyerukan namanya.
“Saya.”
Seluruh mata tertuju pada seorang gadis yang memiliki surai pirang seperti Yohan, wajahnya pun tidak ada bedanya dengan Yohan hanya saja ia mengenakan seragam perempuan dan memiliki rambut panjang yang bergelombang.
“Yohanna, silahkan.” ucap nyonya Apple senang.
Yohanna pun langsung mengambil sebuah biola yang tertata rapi bersama alat musik lainnya. Ia menghirup napas dalam lalu mulai mengisi ruang musik itu dengan permainan lembutnya.
Yohan menatap saudari kembarnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Inti dari tatapannya tidak menunjukkan bahwa ia tertarik dengan permainan itu dan lebih memilih untuk melihat rombongan kelas lain yang membawa berbagai macam alat berburu seperti panah, jebakan, bahkan pedang dari jendela kelas yang berada di lantai tiga gedung akademi. Terlebih di rombongan itu terdapat salah satu yang mencolok di matanya.
Siapa lagi jika bukan Frigid yang sudah berseragam berburu dan membawa busur dan anak panah di punggungnya.
“Eh!?” seru Yohan kaget hingga membuat permainan biola Yohanna berhenti dan membuat seluruh penghuni kelas menatapnya bingung.
“Ada apa Yohan?” tanya nyonya Apple.
Yohan langsung memutar pandangannya dan menatap seluruh teman sekelasnya lalu tersenyum canggung.
“Maafkan saya.” ucapnya sembari menyembunyikan fakta bahwa ia sedikit kaget karena terdapat beberapa murid perempuan meski perawakan mereka tidak seperti rata-rata murid perempuan lainnya.
Termasuk Ree di dalam rombongan kelas yang menuju ke gunung yang terletak di belakang gedung akademi dan diberi pagar cukup tinggi di sekelilingnya karena merupakan tempat berbahaya sumber dari sarang hewan buas.
“Bukankah keterlaluan jika kelas ini menerima murid perempuan?”
Alis Ree sedikit terangkat ketika mendengar beberapa bisikan di belakangnya yang tentu saja arah singgungan itu kemana. Memang benar berburu tidak banyak perempuan yang berani untuk ikut, namun bukan berarti hal itu tabu untuk dilakukan oleh perempuan.
“Apa mereka meremehkan kita?”
Ree mengalihkan pandangannya pada salah satu murid perempuan yang ikut kelas berburu bersamanya. Perempuan itu lebih tinggi dari Ree, memiliki bentuk tubuh tegap dan agak kekar serta gaya rambutnya sangat pendek dan terlihat seperti laki-laki. Ree pikir ia laki-laki pada awalnya karena seragam berburu mereka sama-sama mengenakan celana.
“Bagaimana menurutmu?” gadis itu melirik Ree tajam.
“Jika dihitung, jumlah murid perempuan di kelas ini tidak lebih dari lima. Hanya ada aku, kamu, dan dia.” tiba-tiba seorang gadis mungil muncul dari samping gadis kekar tersebut dan memberi komentar.
“Bukankah kita hanya ingin mendapat nilai tambahan di kelas ini?” tanya Ree.
Ketiga perempuan itu mengangguk setuju dengan perkataan Ree dan kembali hening.
“Mereka akan menjadi beban dan menyusahkan kita. Gunung ini bukanlah taman bunga.” sekali lagi komentar pedas berasal dari belakang dan membuat ketiga gadis itu kompak berhenti lalu memutar wajahnya untuk melihat mulut siapa yang berisik.
“Hey! Hey! Kamu sudah keterlaluan. Apa kamu buta? Apa benar di depanmu adalah perempuan? Lihat tubuhnya yang besar itu. Itu berarti hanya dua perempuan yang ada, sudah tugas laki-laki untuk melindungi mereka dari bahaya.”
Ree sedikit terkejut jika arah pembicaraan mereka akan lebih tajam dari sebelumnya. Bahkan tidak ragu untuk menyerang menggunakan kata-kata yang bisa jadi sangat menyakiti perasaan seorang perempuan.
“Antonio! Berhenti bicara omong kosong!”
Tiba-tiba Frigid dari arah depan muncul menengahi ketegangan yang sudah ada itu.
“Frigid, jangan bercanda. Aku hanya mengatakan apa yang ada di mataku.” jelas Antonio sembari menatap remeh perempuan kekar yang ada di depannya.
“Maglina Heavring.” ucap si gadis mungil menyebutkan sebuah nama dan pemilik nama yang disebutkan langsung maju melangkah menuju Antonio dan langsung menaruh anak panah pada busurnya lalu tanpa ragu mengarahkannya tepat di depan wajah Antonio.
“Apa yang kamu lakukan! Apa kamu tidak tahu siapa aku!” ucap Antonio sementara Maglina tidak peduli dan hanya mengeratkan tarikan pada busurnya.
Lalu melesat dengan cepat dan menjatuhkan sesuatu yang lewat di atas kepala rombongan kelas itu.
“Itu elang gunung ini! Bukankah burung itu sulit untuk diburu?!” seru salah satu peserta kelas setelah melihat apa yang telah panah Maglina jatuhkan.
Maglina pun langsung mendekatkan wajahnya pada Antonio yang sudah pucat pasi itu dengan senyum tipis di wajahnya.
“Aku sama sekali tidak perlu perlindungan dari siapapun.” ucap Maglina lalu kembali ke tempat ia semula.
“Profesor! Saya sudah dapat buruan! Apa saya boleh pulang!?” seru Maglina sembari menunjukkan hasil buruannya pada Millesimun.
“Nona Heavring, kita belum memulai kelas. Jadi simpan saja untuk bonusmu.” jelas Millesimun sembari melanjutkan perjalanan.
“Status keluargamu di sini tidak penting. Jika kamu bicara tidak penting seperti tadi, mungkin panah selanjutnya bukan kearah hewan di gunung ini, hihihi…” suara pelan gadis mungil itu lalu mengajak Ree untuk lanjut berjalan.
“Sialan…” ucap Antonio marah.
Tiba-tiba Frigid menepuk bahu Antonio dan menampakkan wajah yang sama sekali tidak nampak senang itu, hingga membuat seluruh orang yang memperhatikannya merinding ketakutan.
“Jika kamu melakukan hal yang tidak berguna, lebih baik berhenti dan pergi dari sini.” ucapan Frigid memang tidak setajam dengan apa yang dikatakan gadis mungil tadi, namun aura yang laki-laki itu bawa mampu membuat Antonio jatuh dan berlutut karena tak mampu.
“Apa kamu terkejut?” tanya Maglina pada Ree yang sejak tadi diam.
“Tidak. Aku hanya tidak ingin terlibat keributan dengan mereka. Namun bukan berarti tindakanmu salah. Jika aku mengalaminya tentu saja aku tidak akan mengarahkan panah itu pada elang yang tidak bersalah dan numpang lewat tadi.” timpal Ree.
Maglina tiba-tiba terkekeh.
“Kamu benar, namamu siapa? Aku Maglina Heavring dari akademi putri Southsea.” ucap Maglina.
“Dan aku adalah Liliana Flown dari akademi Brightwort.” lanjut si gadis mungil yang memiliki kata-kata pedas tadi.
“Ree Iunae Lumen, Akademi Litore.”
“Senang bertemu denganmu Ree.” ucap Maglina.
Ree tersenyum.
“Aku juga.”
Setidaknya Ree tidak sendiri di kelas berburu.
“Setiap kelompok akan berisi lima anggota. Kita akan membangun kemah disini, karena kelas berburu memiliki waktu khusus untuk bermalam. Karena kita terdapat beberapa murid perempuan yang mengikuti kelas ini, maka mereka akan satu tenda khusus meski berbeda kelompok.” jelas Millesimun.
“Jangan khawatir dengan pengawas, di sini saya juga bersama dengan professor Kyle. Beliau yang akan mengawasi para murid wanita.” ucap Millesimun sembari memperkenalkan rekan kerjanya yang nampak lebih tua dibanding Millesimun.
“Baiklah untuk kelompok pertama Antonio Carp, Maglina Heavring…”
“Apa?!”
Baru saja Antonio ingin protes tentang kelompoknya, ia sudah merasa tatapan Frigid dari arah sisi kanannya dan membuatnya bungkam seketika.
“Baiklah, selanjutnya kelompok dua. Frigid Ventfons Cali,…, Ree Iunae Lumen.”
Ree langsung tersadar dari lamunannya ketika namanya disebut dan bergabung bersama kelompok dua dan Liliana bergabung di kelompok lima bersama rekan berburu lainnya.
“Baiklah, kelompok sudah dibagi. Saatnya memberitahukan tugas apa yang akan kalian lakukan.” ucap Millesimun sembari mempersilahkan profesor Kyle untuk bicara.
“Terima kasih atas waktunya. Tugas kalian di kelas ini apa lagi jika bukan berburu. Gunung ini memiliki banyak fauna dan biasanya menjadi medan perburuan keluarga kerajaan setiap musim gugur. Karena ini baru awal musim semi, tangkaplah setidaknya seekor kelinci untuk pemanasan. Batas waktu kalian sampai besok siang. Jadi, telusurilah hutan ini sesuka kalian.” jelas profesor Kyle.
“Ah! Iya! Karena kita sama sekali tidak membawa bekal makanan, jadi pastikan kalian sendiri mencari makanan kalian.”
Meski dengan senyumannya yang manis, profesor Kyle tetap memberi tekanan pada semua muridnya.
“Tsk! Kenapa aku harus sekelompok denganmu.” sungut Antonio.
“Jika kamu tidak ingin, aku bisa meminta tukar.” balas Magnolia enteng.
“Antonio, jangan bertingkah.” pesan salah satu rekan sekelompoknya.
“Tsk! Dia lebih menyebalkan.” Antonio menatap punggung Frigid yang sedang sibuk membersihkan anak panahnya sembari berdiskusi dengan rekan sekelompoknya.
Maglina yang mendengar ikut menatap objek yang Antonio tatap karena ada Ree disana.
“Mari kita tangkap rusa jantan hidup-hidup.” ucap Liliana ketika ia dan kelompoknya sudah masuk ke dalam hutan.
“Eh? Rusa jantan? Bukannya itu terlalu sulit untuk di tangkap jika hanya berbekal panah? Minimal kita membutuhkan senapan.” timpal rekannya.
“Kita tidak akan melukainya sedikitpun.” ucap Liliana.
“Itu mustahil Lili.” Semua rekannya heran dengan ucapan Liliana. Bagaimana bisa berburu tanpa melukai?
Tiba-tiba Liliana berhenti melangkah dan menatap keseluruh sisi hutan yang mereka masuki. Hanya ada pepohonan rindang dan cukup lembab karena tertutupi dengan hutan pinus. Aroma lumut dan suara deru arus sungai yang cukup deras berada tak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Ada apa Lili?” tanya salah satu rekannya menanyakan gelagat gadis bersurai hitam lurus sepinggang itu.
“Kita pasang perangkapnya di sini.”
To Be Continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments