Di sepanjang lorong sebuah gedung besar berdesain klasik yang khas dengan dinding coklat dan jendela besar di sepanjang koridor, serta karpet merah yang menjalar di sepanjang koridor bergema dentingan permainan piano klasik dari sebuah ruangan bertulis ‘ruang musik’ di ujung koridor dengan warna pintu yang selaras dengan dinding sedikit terbuka.
Jari-jarinya yang putih pucat itu nampak lugas ketika menekan tuts piano dan menghasilkan melodi yang sangat indah ketika melewati telinga.
Surai keemasannya sangat berkilau ketika disirami oleh cahaya matahari sore yang masih bersinar terang. Bola mata sebiru laut itu menatap tenang jemarinya yang sibuk bermain piano.
“Mau sampai kapan kamu disini? Apa kamu tidak ingin pulang?”
Seketika permainannya berhenti dan membuat ruang dan lorong kembali sunyi tanpa suara.
Seorang pria bersandar di daun pintu ruang musik dengan melipat lengannya di depan dada.
Intonasi suara datar dan sorot mata kosong seperti tak bergairah dalam menjalani hidup, namun masih bisa dikatakan tampan oleh murid perempuan akademi luar.
Apa yang tampan dari seorang pria seperti vampir itu?
“Aku menunggumu.” pemilik surai keemasaan itu terkekeh dan mengatakan maksudnya memainkan piano ketika seluruh kelas pada hari ini selesai.
“Haah…Kembalilah ke asrama sebelum makan malam.” tanpa menatap mata orang yang diajak bicara, laki-laki pemilik surai hitam itu langsung berbalik dan pergi dari ruang musik.
Wajahnya nampak lelah, namun malu mengakui dengan sifat dinginnya itu. Bola mata coklat itu menatap langit sore yang berwarna jingga dan keunguan dari koridor gedung akademi tempat ia menempuh pendidikan selama kurang lebih 4 tahun itu.
“Frigid!”
Namanya terpanggil oleh manusia yang ia tegur di ruang musik tadi membuatnya menghentikan langkah kaki dan menatap hampa laki-laki seumurannya yang berjalan menyusulnya dari arah belakang.
“Wajahmu nampak lelah sekali. Apa kamu bekerja keras akhir-akhir ini?” tanya laki-laki yang nampak seperti vitamin itu, karena selalu ceria dan tidak ada kata lelah dari wajahnya.
“Banyak yang harus di urus tentang percobaan akademi khusus menjadi akademi umum. Yohan, kamu bisa kembali ke asrama sendirian.”
Laki-laki yang dipanggil Yohan itu terdiam.
“Apa kamu tidak terganggu?” tanya Yohan sedikit khawatir.
Frigid melirik teman bicaranya yang nampak sedang menunggu jawaban yang akan diberikan.
“Semuanya tidak ada yang berubah.”
“Entah itu akademi.”
“Maupun apa yang di dalamnya.” ucap Frigid singkat.
*
*
*
“Ree, kamu seperti kentang rebus saat ini.”
Perempuan muda yang di tegur itu tiba-tiba ingin menyembur tawanya. Ia tidak tahu atas dasar apa temannya memanggilnya kentang rebus.
“Maksudmu Henny?” tanya Ree heran.
Henny terkekeh sembari membantu Ree sahabat sekamar asramanya itu duduk di kasur milik Ree.
Besok perempuan muda bernama Ree Iunae Lumen itu akan pergi meninggalkan Litore untuk pertama kali dalam hidupnya. Ree yang sudah terbiasa dengan kota Litore dengan bisingnya pelabuhan dan burung camar akan pergi jauh ke ibukota kerajaan yang berada jauh ke pegunungan sana bernama Crystallo.
“Aku tidak bisa membayangkan kamu akan pergi dalam waktu lama Ree.” timpal Henny.
Jangankan teman sekamarnya itu, Ree sendiri juga tidak menyangka akan pergi dalam satu tahun dan kembali dalam keadaan lulus.
“Terlebih kamu akan dikelilingi laki-laki!!”
“Ucapanmu mengarah pada dua arti, antara kamu mengkhawatirkanku atau iri.” timpal Ree sembari menampakkan dua jari kanannya dalam bentuk v.
“Bagaimana aku iri dengan hal yang mustahil ku capai. Justru aku mengkhawatirkan bagaimana jika kau tidak mendapat teman sementara 95% penghuni La Priens nantinya laki-laki.” ucap Henny.
“Ya… meskipun di satu sisi aku iri denganmu yang akan bertemu dengan salah satu pangeran muda di sana.” lanjut Henny kesal.
“Aku sudah memikirkannya.” ucap Ree percaya diri.
Henny terlihat penasaran.
“Apa itu?” tanyanya.
Ree tersenyum manis.
“Untuk apa repot-repot memikirkan hal yang tidak penting. Aku hanya perlu mengabaikan mereka dan bergabung dengan murid perempuan dari akademi lain.” ucap Ree riang.
Henny memang tidak heran dengan pola pikir sederhana Ree dalam menghadapi sesuatu.
“Apa kamu sudah berpamitan dengan keluargamu?” tanya Henny.
Ree tiba-tiba berhenti mengemas barang-barangnya.
“Tentu saja! Meskipun mereka sibuk dengan pekerjaannya, setidaknya mereka tetap memberiku uang untuk pergi.”
Henny tahu keadaan Ree yang tidak terlalu akrab jika harus membahas rumah maupun keluarga.
Keluarga Lumen dikenal sebagai pelaut yang selalu mengarungi lautan dalam waktu yang lama. Membuat Ree harus jarang bertemu kedua orang tua dan saudaranya yang selalu berlayar.
Ree yang terbiasa hidup sendiri sejak usia belia karena hanya dititipkan pada saudari ibunya membuatnya harus masuk asrama lebih awal di usia 12 tahun dan belajar di akademi sampai detik ini.
*
*
*
“Jangan lupa kirimkan surat padaku ketika sampai.” ucap Henny ketika Ree sudah bersiap untuk menaiki kereta uap yang akan membawanya menuju Crsytallo.
“Iya.” ucap Ree seadanya.
“Hanya itu? Hanya itu kata-katamu pada temanmu ini? kamu benar-benar berhati dingin.” timpal Henny sedikit kesal.
Ree tersenyum sembari menggenggam kopernya erat lalu berjalan memeluk Henny dan tentu saja pelukan itu dibalas dengan hangat seakan tidak ada hari esok.
“Aku akan merindukanmu, sungguh.” suara Ree sudah berubah menjadi sedikit berat karena menahan air matanya.
Banyak kekhawatiran yang kini harus ia rasakan tentang keputusannya untuk pergi. Ia akan banyak belajar hal baru, bertemu dengan orang-orang asing, suasana baru, bahkan masalah yang mungkin tidak pernah ia bayangkan.
Deru roda yang bergerak di atas rel serta suara mesin uap bersuara bersama dengan lambaian pengantar Henny dan orang-orang lain pada mereka yang menaiki kereta itu. Entah dengan senyuman atau malah wajah yang penuh dengan air mata.
Ree yang baru naik harus mencari kursinya dengan tiket yang ia pegang saat ini sembari menyeret koper besarnya melewati deretan kursi yang sudah terisi oleh beberapa penumpang. Cukup padat namun tidak menyulitkan Ree untuk menemukan kursinya yang ada di ujung gerbong.
Perjalanan Litore menuju Crystallo akan memakan waktu kurang lebih lima jam dengan kereta uap. Dengan waktu sebanyak itu untuk duduk, apa lagi yang harus Ree lakukan jika bukan untuk membaca buku lalu tidur.
*
*
*
“Semua yang hadir adalah murid-murid akademi putri dari seluruh negeri. Selama satu tahun ke depan sampai kelulusan, akademi kita akan benar-benar diuji kualitasnya untuk menjadi akademi campuran.”
Frigid yang mendengar arahan dari kepala akademinya tuan Jeremy hanya mengangguk mengerti lalu langsung pergi keluar dari ruangan itu dan terlihat Yohan sudah berdiri di depan pintu.
“Bagaimana?” tanya Yohan.
“Para pelajar akan hadir sore nanti. Kementerian pendidikan akan mengurus sisanya.” ucap Frigid.
Yohan mengangguk paham lalu menatap koridor yang cukup ramai dengan laki-laki akan berakhir hari ini juga.
“Mungkin besok akan menjadi hari yang aneh.” ucap Yohan.
“Kenapa begitu?” tanya Frigid.
“Kita tidak akan melihat semua orang memakai celana.”
Itu terdengar kocak dan menggelikan, namun Frigid hanya tersenyum tipis.
“Karena ini semua adalah tujuan dari kerajaan, mereka ingin membuat jenjang sosial yang ada di masyarakat sedikit menghilang.”
“Namun, bukankah itu malah merusak citra La priens?” timpal Yohan.
“Selama puluhan tahun dan selama banyak pergantian kekuasaan, sekolah ini tetap kukuh menjadi akademi putra dan tiba-tiba saja…”
Frigid berhenti melangkah hingga membuat Yohan juga berbuat hal yang sama.
“Aku tidak punya hak untuk melawan dan seharusnya kamu bisa tanyakan itu pada dirimu sendiri jika ‘kenapa’.” ucap Frigid tanpa menatap Yohan dan langsung masuk ke dalam ruangan bertuliskan ‘Ruang Senat’.
*
*
*
Ternyata perjalanan Ree tidak sesederhana itu, setelah berhasil mencapai stasiun di kota yang ia tidak mau tahu namanya, ia langsung transit ke kereta yang khusus untuk murid utusan ke La Priens. Memang tidak mengherankan jika akademi tempat para putra bangsawan bahkan pangeran negerinya itu memiliki kereta pribadi. Dari sinilah Ree bisa melihat calon ‘kelinci percobaan’ yang akan bersamanya setahun ke depan di La Priens. Ree bisa melihat dari bermacam-macam seragam yang mereka kenakan, mulai dari akademi putri yang paling terkenal hingga akademi yang rasanya Ree baru ketahui ternyata ada.
“Permisi… permisi…” ucap Ree sembari mencari kursi tempat ia akan duduk.
Tanpa menunggu lama, Ree langsung bergabung dengan beberapa murid akademi lain yang dalam perjalanan.
“Halo…” sapa Ree canggung pada perempuan muda yang duduk di sampingnya.
“Halo…” ucap perempuan yang memiliki gaya rambut panjang bergelombang itu padanya lalu kembali sibuk dengan buku yang ia baca.
Wajar saja, mereka tidak mungkin langsung seramah itu. Ree mengerti dan merogoh tasnya serta mengambil buku yang ia bawa untuk membunuh waktu perjalanan.
*
*
*
Memang bukan pemandangan yang biasa bagi para penghuni lama La Priens ketika melihat barisan kedatangan perempuan-perempuan muda dengan menyeret koper mereka masing-masing masuk ke dalam gerbang akademi dan menuju gedung asrama yang telah dipersiapkan bagi Ree dan peserta ‘kelinci percobaan’ yang lain.
Ree sendiri benar-benar merasa sangat lelah dan hampir saja mabuk karena terlalu jenuh berada di kereta. Ia berangkat pagi-pagi dari Litore dan tiba di Crystallo ketika matahari sudah mau menghilang dari muka bumi. Jujur saja itu melelahkan baginya. Terlebih kedatangan mereka malah disambut dengan tatapan yang Ree sulit artikan dari tuan rumah.
“Bahkan akademi Princessa juga mengirim seseorang.” ujar Yohan pada Frigid ketika melihat seorang wanita yang masuk dengan beberapa pelayan di belakangnya untuk membawakan barang wanita itu.
Seragam beludru berwarna ungu ciri khas akademi yang mengajar anak perempuan kalangan bangsawan dan keluarga kerajaan membuat semua mata langsung terpusat pada satu orang.
“Putri Yohanna.”
“Kenapa bisa dia ada disini?”
Bisikkan itu jelas mengarah pada seorang perempuan cantik yang memiliki rambut pirang dan bola mata yang biru mirip dengan Yohan.
“Nampaknya kembaranmu tidak bisa berpisah denganmu, Yohan.”
Frigid dan Yohan kompak menatap kepada seorang pria yang baru saja datang.
“Profesor Millesimun.”
Profesor muda itu hanya tersenyum ringan lalu menatap objek yang menarik perhatian seluruh tuan rumah yang ada termasuk gadis muda yang bernama Yohanna itu.
“Mana mungkin ia mau kalah dari orang-orang di sekitarnya untuk menjadi pelajar di akademi ini. Terlebih ada Frigid.” Yohan mengatakan hal tersebut sembari menatap laki-laki yang dimaksud dengan sedikit bumbu menyindir disana.
“Katakan itu pada dirimu sendiri siscon.” Frigid pergi begitu saja setelah mengatakan kata-kata yang membuat Yohan kehilangan kata-kata.
“Siscon!? Aku tidak semenjijikan itu! Hey! Frigid!”
Rasanya menyenangkan ketika melihat gairah masa muda di sekitarnya menurut Millesimun. Melihat para penghuni lama dan penghuni baru yang baru datang membuat akademi yang selalu di isi dengan keributan siswa laki-laki akan menjadi lebih banyak variasi.
Entah itu dalam lingkaran pertemanan bahkan sampai perasaan.
Millesimun cukup menantikannya.
Sementara itu, disisi lain ada yang sedang sedikit tercengang dengan kenyataan di hadapannya.
Ree benar-benar tidak menyangka akan seramai ini yang menatap kedatangan ia dan para ‘kelinci percobaan’ lainnya. Padahal jika di Litore, jam segini mereka sudah kembali ke asrama dan bersiap untuk makan malam. Namun di La Priens masih saja ada yang sibuk dengan kegiatan di luar akademis.
Karena masih ada hari esok, Ree tidak terlalu ingin memperhatikan dan terus mengikuti arahan kepala asrama untuk mengantar mereka istirahat dan bersiap untuk hari pembukaan.
*
*
*
“Setiap kamar akan dihuni oleh dua orang. Kami di sini tidak memberi hak istimewa untuk siapapun itu. Karena kalian semua sama-sama murid akademi.” jelas seorang wanita paruh baya yang memperkenalkan dirinya sebagai madam Denise.
Ia yang akan mengurus asrama putri di La Priens selama masa percobaan.
“Maka dari itu, para murid yang membawa pelayan pribadi, mereka akan dipulangkan.” ucapnya mutlak.
Tentu saja, setiap ucapan akan memiliki timbal balik yang berbeda-beda. Ada yang setuju dan tidak, itu karena pandangan mereka beragam.
“Mohon diam.” seketika madam Denise menepuk sekali tangannya dan Ree cukup takjub karena situasi kembali hening.
Kekuatan macam apa itu, pikir Ree.
“Kalian harus mendengar kata sambutan dari professor yang bertanggung jawab selama program ini. Ia merupakan lulusan La Priens dengan predikat terbaik sejauh ini. Profesor Millesimun Aviao Viturdes.”
Refleks semua orang langsung menepuk tangannya ketika mendengar seseorang dengan pencapaian sehebat itu. Tidak lama, seorang pria tampak anggun dan beribawa maju ke podium kecil yang ada di aula asrama. Senyumnya sangat ringan hingga rasanya tahu jika suara pria itu akan lembut.
Ree hanya mengangguk saja, ketika setuju dengan pujian yang dilontarkan oleh teman-teman seperjuangannya itu. Memangnya kenyataan harus disangkal?
“Selamat datang para murid perempuan pertama di La Priens. Kalian merupakan murid-murid terbaik yang akademi kalian utus untuk berkesempatan belajar di La Priens.” ucap Millesimum membuka pidatonya.
“Seperti yang kalian ketahui, sistem pembelajaran di La Priens tidak berbeda jauh dari akademi kalian. Disini kalian tidak terpaku dengan jurusan ataupun itu. Di La Priens, kalian hanya akan mengikuti kelas yang memang kalian ingin ambil. Namun untuk mengantisipasi kemalasan murid, La Priens mewajibkan jumlah minimum kelas yang harus diambil.”
Ree tahu tidak akan mudah, meskipun Millesimun mengatakannya dengan wajah sumringah. Namun cukup untuk membuat rata-rata murid menelan ludah.
“Jika dilihat dari tingkat akademik kalian saat ini, ada lima puluh jenis kelas dan kalian wajib mengambil setidaknya sepuluh kelas yang berkaitan dengan jurusan akademi kalian lalu lima kelas pengembangan diri. Misalnya, jika kalian mengambil fokus bidang akademis seni musik, selain dari pelajaran pokok kalian harus mengambil lima kelas bebas diluar itu. La Priens memberi kalian kebebasan untuk memilih kelas, maka kalian pikirkan lagi apa saja yang ingin kalian lakukan di La Priens. Terima kasih.”
Millesimun menutup pembicaraannya dengan salam hangat dan senyuman yang teduh sementara meninggalkan jejak beban di atas pundak para calon murid La Priens.
Sudahlah dari perjalanan jauh, Ree harus memikirkan lima kelas yang harus ia ambil diluar fokus akademiknya.
“Bagaimana bisa aku di kirim ke neraka seperti ini?! lebih baik aku kembali ke akademi lama saja!”
“Ini benar-benar menyiksa, dari luar saja mereka bergensi, namun isinya adalah sumber penderitaan.”
“Aku ingin pulang…”
Ree mendengar beberapa sungutan murid lain. Dalam hati Ree hanya bisa tersenyum karena mereka baru menyadari jebakan dari ‘kelinci percobaan’ ini.
“Baiklah… kalian harus pergi ke kamar kalian untuk beristirahat karena besok adalah upacara pembukaan semester baru. Bagi kalian ‘murid pindahan’ harus mengisi energi ya.”
Ree setuju, daftar kelas dapat ia pikirkan besok. Karena yang terpenting adalah mengisi energinya untuk menerima kenyataan.
Ree tahu, bahwa esok bukan hari dimana ia bisa mendengar deru ombak pantai dan burung camar lagi. Besok adalah dimana ia akan berada di medan perang yang baru dengan hal-hal yang baru.
To Be Continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments