BERGANTUNG PADA AKAR LAPUK

       Pukul 12:34 siang hari, kelas 12 terpaksa dibubarkan dari jam belajar, seluruh murid pulang dengan hati mengganjal karena kejadian di sekolah yang sangat menggemparkan, Farka dan Areny tengah berjalan pulang ke rumah bersama-sama. Mereka menyusuri jalanan perumahan yang memiliki nuansa perumahan negara Jepang. Udara sangat sejuk langit biru pun terpampang cerah.

“Menurutmu, apa aku sudah gagal jadi ketua kelas?” Tanya Farka menunduk bimbang.

“Enggak kok! Kamu itu ketua kelas yang hebat, nggak ada murid yang sangat perhatian kepada orang lain kecuali kamu ...” sanggah Areny meyakinkan.

“... ketika Zeni sakit dan tak ada yang mau menjenguk kamu-lah yang pertama menengok, saat adik kelas tak mampu membayar utang, kamu yang melunasinya, bahkan masih banyak lagi,” imbuhnya sambil memandang Farka menyemangati.

Farka masih menunduk bimbang. Sekonyong-konyongnya Areny berdiri di hadapan Farka, kedua tangannya memegang kedua bahu Farka, memaksa Farka berhenti melangkah, dan tatapan netra hitam mereka saling bertemu, menatap penuh makna, mata hitam Areny mengilap laksana bintang jatuh di angkasa yang menegaskan harapan selalu ada. Areny terpaksa agak mendongakkan wajah sebab tinggi Areny di bawah hidung Farka.

“Farka! Aku percaya kok kamu bisa menjalani sebagai ketua kelas! Ya! Aku percaya!” Seru Areny dengan lantang dan lugas.

Embusan angin bertiup pelan, membelai kedua wajah manusia itu, hati Farka tersentuh oleh perkataan Areny, jiwanya kembali merasa bangkit, memecutnya agar tak patah semangat, tentu Farka senang menyadari masih ada seseorang yang selalu perhatian padanya, semenjak nenek tirinya menghilang, ia tak pernah lagi merasakan kasih sayang yang berpendar hidup memeluknya. Bibir tipis Farka mulai mengembang, membentuk sebuah senyuman paling bermakna, ungkapan dari perasaannya yang kembali bangkit untuk tetap semangat, meninggalkan keterpurukannya. Maka, di sana di wajah Areny yang manis, senyuman ikut mengembang mengekspresikan perasaan senangnya yang selalu hidup penuh ceria. Hingga secara perlahan kedua tangan Areny kembali diturunkan, namun, pandangannya yang penuh kagum pada sang ketua kelas tak sempat membuatnya mampu berpaling sedetik pun, Farka juga masih memandang Areny dengan senang. Konyolnya karena merasa malu, Areny buru-buru memutar tubuh ke belakang, memalingkan raut muka jengahnya, memunggungi pria yang dikaguminya.

“Nah, inilah yang aku suka darimu,” sanjung Farka dengan serius.

Sontak, Areny tercengang dengan pernyataan Farka, ia menanggapinya dengan amat serius, pikir Areny mungkin Farka lebih dari sekadar suka. Farka melangkah melintas di samping kiri Areny dengan kedua tangan menyelip ke saku, bersikap layaknya pria keren. Farka adalah pria berperawakan tinggi tapi tak setinggi Sazan, wajahnya mulus cerah, alisnya hitam tegas, kulitnya putih cerah, rahangnya kokoh, ditambah hidung mancung, dengan rambut pendek hitam klimis yang tersisir ke belakang, ia cukup tampan tapi tak setampan Fihan. Areny buru-buru berlari dengan ceria berusaha mengimbangi langkah Farka. Mereka kembali melangkah bersama.

       Di depan rumah sederhana, bernuansa alami yang ditumbuhi pohon bambu semeter di halaman rumahnya yang sempit, dengan pagar hijau hutan, di kompleks perumahan yang sama dengan Farka, sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan gerbang rumah, seorang wanita berambut pirang, turun dari depan pintu mobil.

“Zeni, apa per ...” ucapan Guru Sukada dipotong.

“Tidak perlu Pak, terima kasih,” sela Zeni sambil menunduk hormat pada Guru Sukada.

Sukada mengangguk lantas menutup pintu dan mobil melesat pergi. Raut muka Zeni masih kuyu, tapi, ia terpaksa bertahan hidup hanya karena tak mau merepotkan orang sekitarnya. Tatkala pintu kayu rumah dibuka ke dalam.

“Aku pulang!” Seru Zeni.

Zeni tertegun melihat rumahnya berantakan, rumah bernuansa warna cokelat kayu jati, dengan hiasan rumah yang berserakan di lantai kayu, seakan bencana gempa telah membuat benda-benda itu mampu bergerak mengotori lantai, ia buru-buru melepas sepatu talinya, menggeletakkan ransel di lantai.

Saat Zeni telah berada di ruang keluarga yang nampak kumuh, dengan posisi sofa yang terbalik, meja kayu yang terbalik, ditambah pecahan-pecahan piring yang ikut menambah kesan kumuh, tepat di samping kirinya, kala kepalanya menoleh ke kiri dalam tatapan bimbang penuh keputusasaan, ia melihat, seorang wanita 37 tahun berambut hitam panjang dengan pakaian daster dan pria berumur 40 tahun berambut hitam cepak, berkumis tipis, yang mengenakan setelan kaus oblong warna hitam, telah duduk di lantai dengan melipat kedua kaki. Zeni terpaku menatap kedua orang tuanya yang memasang raut muka kuyu, keduanya duduk menatap Zeni penuh putus asa, seolah baru saja terjadi duka mendalam.

“Zeni, kemarilah duduk dengan kami,” pinta ibu Zeni penuh harap dan pasrah.

Zeni melangkah dengan khawatir dalam pikiran yang belum pulih karena kejadiannya di sekolah, lantas ia duduk dengan melipat kedua kaki tepat di hadapan kedua orang tuanya.

“Ibu sudah dipecat dari toko, dan ayahmu juga sudah dipecat,” ungkap ibu Zeni dengan serius sekaligus sedih.

Saat Zeni memandang ayah tirinya, sang ayah nampak berubah, ia tak menampilkan lagi kesan kasarnya, tak lagi menampakan ekspresi bencinya, tak lagi menampakan aura galaknya, kini pria itu lebih tenang dan penuh penyesalan, seperti orang dungu yang kepergok mencuri ayam tetangga, ayah Zeni menunduk muram seakan ada rahasia yang ia pendam sejak lama, Zeni tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, mengapa orang tuanya terlihat muram.

“Apa yang terjadi ibu?” Usut Zeni.

Sang ibu menatap Zeni lekat-lekat, memandang sang anak penuh cinta kasih, namun tersirat keputusasaan.

“Ayo kita bunuh diri bersama,” ajak ibu Zeni dengan serius.

Mendadak Zeni terperangah, sangat kaget mendengar ucapan sang ibu, padahal, Zeni baru saja ingin melupakan keputusan bodoh itu, ia baru saja melangkah untuk tetap bertahan hidup, namun, kini, perasaan itu kembali menyeruak dari dalam batinnya, perasaan itu pun mulai membekukan otaknya, merasa semua kehidupannya kembali sia-sia. Zeni tertunduk, kedua tangannya ditumpukan di atas pahanya, sambil mencengkram jemari mengepalnya penuh kebimbangan. Dengan hati yang tersiksa, matanya terpaksa mengalirkan kembali tangisan kepedihan hidup, dan napasnya terasa sesak, mungkin tak akan ada manusia yang mampu memahami penderitaan orang lain, Fihan memang benar, perasaan seseorang hanya untuk dipermainkan semata demi sebuah candaan.

“A-aku ... aku ... seharusnya sudah mati,” isak Zeni tertunduk menangis.

Ayah dan ibunya saling menatap satu sama lain, seolah bertanya-tanya mengapa Zeni bicara begitu.

“Hiks hiks hiks.”

“DI SEKOLAH AKU HAMPIR BUNUH DIRI!” Bentak Zeni masih menunduk.

Sontak kedua orang tua Zeni tertegun tak menyangka, mereka seakan-akan telah ditusuk oleh pernyataan Zeni, membuat otak dan hati kedua orang tua Zeni tersentuh, terasa ditampar, bahwa sebagai orang tua, mereka gagal membuat sang anak bahagia, terutama sang ibu yang merasa sangat terpukul, merasa gagal dalam keibuannya. Namun, mereka tetap putus asa, mereka memang telah gagal.

“Padahal ... tadi ... aku sudah ingin melupakannya ... hiks hiks,” gumam Zeni senguk-sengak.

“Hidup, sudah tak ada artinya lagi, kita telah kehilangan harapan, kita hanyalah sampah masyarakat ...” ujar ayah Zeni yang belum selesai bicara.

“TIDAK! TIDAK AYAH!” Sergah Zeni dengan memandang geram ayahnya.

Wajah Zeni memerah, matanya memerah, kedua pipinya masih betah dibasahi oleh air matanya, dadanya terasa sesak, Zeni senguk-sengak memandang kedua orang tuanya secara bergantian, menyiratkan pesan bahwa, Zeni lebih menderita ketimbang orang tuanya.

“Akulah harapan kalian! Aku akan buat harapan, dan kalian harus bertahan hidup demi harapan kalian ini!” Ungkap Zeni serius dengan lantang penuh percaya diri.

Ayah dan ibu Zeni sengap memandang Zeni dengan kasihan.

“Zeni, kami tidak mau membebani kamu,” kata ibu Zeni pasrah.

“Kalian seharusnya tidak putus asa! Ayah masih sehat! Ibu juga!” Tegas Zeni menyemangati.

“Ayah dikhianati teman ayah, dan ayah sudah membunuhnya, jadi ... sebentar lagi, polisi akan menangkap ayah,” ungkap Ayah Zeni blak-blakan.

Zeni kembali lagi dibuat kaget, jantungnya seakan hendak berhenti, bahkan perasaan putus asa telah kembali menguasai tubuh Zeni, dia tertunduk, menangis tersedu-sedu, pikirannya terasa membeku, hanya putus asa yang terus membayanginya, membuat keterpurukannya tak dapat lagi dilenyapkan, ia mencengkram pahanya kuat-kuat seolah dia akan meledak.

“Ibu juga ketahuan mencuri, jadi ibu dipecat,” ungkap ibu Zeni tanpa basa-basi.

Sekali lagi, gendang telinga Zeni diberikan kalimat yang tak ingin didengarnya, rasa sakit Zeni semakin dalam, dan ia mulai mengikuti rasa ingin bunuh diri itu. Suasana mulai terasa mencekam, kalimat yang tak tepat didengar atau bahkan ekspresi yang ditampilkan tak tepat, mungkin bisa saja memicu akhir yang teragis, namun, Zeni tak ingin begitu.

“KITA HARUS BERTAHAN!” Bentak Zeni mematahkan rasa putus asanya.

Kedua orang tuanya terpegun.

“Tak ada alasan lagi bagi kami untuk bertahan hidup, kita ini sampah masyarakat, orang-orang ingin kita mati, maka kita harus mati,” tutur ayah Zeni menyerah.

“Aku tidak ingin mati sebagai sampah! Aku ingin tetap hidup dan membuktikan bahwa aku bukan sampah! Hiks hiks hiks,” balas Zeni menunduk senguk-sengak.

“Tak ada gunanya bertahan hidup, bagi masyarakat, keburukan lebih dikenang ketimbang kebaikan,” sanggah ayah Zeni pasrah.

“Apa gunanya bunuh diri, kalau pada akhirnya kalian tetap dipandang sampah?” Sindir Zeni.

Ibu Zeni tertunduk merenung, membuatnya menimbang-nimbang keputusannya, sang ayah pun tertunduk merenung. Ucapan Zeni berhasil memberi sentuhan pada otak mereka yang panas, namun, entah apa mereka sanggup memahami perasaan Zeni.

“Aku ... sangat bersyukur, bahwa tadi ... ada yang menyelamatkanku dari tindakan bodohku, aku pun sempat berpikir bahwa hidup dipandang sebagai sampah sangat menyakitkan, dan ingin mengakhirinya dengan bunuh diri, tapi ...” kata Zeni dengan menghadapkan wajahnya pada kedua orang tuanya memberi kesan bahwa asa masih ada.

“... masih ada yang peduli padaku, dan ayah ibu, jika pun kalian tak mampu untuk membuat harapan indah, maka biar aku yang membuatnya, kita lalui bersama-sama karena kita ini keluarga, kita buktikan bahwa kita bukanlah sampah!” Lanjutnya penuh harap.

Seharusnya cukup Zeni saja yang putus asa, tak perlu ibu dan ayahnya yang ikut merasakan penderitaan seperti Zeni, Zeni tak tahu lagi harus berbuat apa, sebab ia pun sama-sama dalam posisi menyerah, tak ada siapapun yang memotivasi hidupnya, dia seolah hidup sendiri, dan seakan memegang seluruh beban hidup manusia, bekerja sendiri hanya demi mencari asa.

“Ibu, tida ...” ucapan ibu Zeni dipotong.

“Tidak! Ibu dan ayah tidak membebaniku! Bukankah kita hidup berkeluarga untuk meraih kebahagiaan bersama!” Sela Zeni sambil mengelap air matanya dengan punggung tangannya memberi kesan ia telah siap dengan hidup baru.

“Tapi, ayah sudah ...”

“Enggak apa-apa! Setiap manusia pasti pernah berbuat salah!” Sanggah Zeni mulai lebih tenang.

Zeni menarik napas panjang, mengembuskannya bersama semangat hidup yang kembali bangkit, sebagai seorang anak, ia tak akan biarkan orang tuanya mati sebagai sampah masyarakat, ia mulai menyatukan lagi serpihan-serpihan mimpinya dan serpihan semangat yang sempat ia telantarkan di relung terdalam hatinya. Zeni tahu, sangat berat rasanya untuk kembali bangkit serta bertahan hidup dengan cap sampah yang telah terpatri dikeluarga kecilnya, namun, ia harus sanggup, agar keluarganya benar-benar mati dalam kebahagiaan. Zeni mengerjapkan matanya, bahkan ia berusaha mengembangkan senyuman penuh cinta di wajah cantiknya, sorot mata hitamnya memancarkan harapan kedua telah tiba, posisi tegak tubuhnya memberi kesan bahwa kehidupan di masa depan akan baik-baik saja, dan kedua tangannya yang mulus ditumpukan di pahanya laksana kesiapannya dalam menanggung semua beban hidup keluarganya. Ia kembali menarik napas panjang.

“Ibu ayah! Ayo kita makan bareng, dan kita mulai hidup baru,” ajaknya dengan ekspresi riang gembira.

Entah mengapa sikap Zeni berubah dari sang pecundang kini dia layaknya sang pahlawan, walaupun semua ini ia lakukan hanya agar keluarganya tetap utuh dan tetap bisa melihat ibu tercintanya bahagia, namun Zeni tak peduli dengan perubahan aneh ini, ia telah sadar betul bahwa ia tak mungkin selalu merepotkan orang di sekitarnya. Ibu Zeni memandang suaminya, dan mereka saling memandang satu sama lain, seakan-akan mereka bingung harus berbuat apa, tiga detik kemudian, mereka menatap Zeni dengan menyiratkan kelegaan, laksana pelangi yang muncul setelah badai, aura keindahan hidup kembali menyeruak bersama suasana yang ikut berubah damai. Orang tua Zeni mengembangkan senyuman puas, mereka puas dengan pernyataan Zeni yang seolah menyadarkan mereka tentang pentingnya sebuah kehidupan.

“Ayo kita makan,” ajak ibu Zeni sembari bangkit berdiri.

Ayah Zeni pun ikut bangkit berdiri, mereka memasang raut muka senang, dibarengi dengan senyuman simpul. Kedua netra Zeni berbinar layaknya orang yang tengah jatuh cinta, ia merasa bangga telah membuat orang tuanya tak menyerah, ia juga tak menyangka bahwa dia bisa membawa orang lain ke jalan kebaikan, karena selama ini ia hanyalah wanita j-a-l-a-n-g yang menjual harga dirinya demi sesuap nasi, ditambah ia belum pernah mampu membawa orang ke arah hidup yang lebih baik.

Zeni langsung berdiri cepat dengan senang, tiba-tiba kedua orang tua Zeni memeluk Zeni penuh cinta, Zeni sangat kaget, ia tak menyangka akan mendapat pelukan dari ayah serta ibunya, bahkan ini adalah pelukan pertama dalam hidupnya yang dilakukan oleh orang tuanya, ia belum pernah merasakan kehangatan dari pelukan orang tuanya, mereka biasanya selalu bertengkar dan saling menjauh tak peduli, Zeni kembali merasa hatinya tersentuh, namun kali ini ia terharu, dan tanpa ragu dia menikmati pelukan kasih sayang dari ayah dan ibunya.

Terpopuler

Comments

👑~𝙉𝙖𝙣𝙖𝗭𝖊𝖊~💣

👑~𝙉𝙖𝙣𝙖𝗭𝖊𝖊~💣

semangat🙂

2021-01-30

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!