Senja hari sepulang sekolah di kelas 3 SMA.
“Saat umurku satu tahun sampai sepuluh tahun, aku dirawat di panti asuhan tak tahu siapa orang tuaku, saat umurku 11 tahun aku bergabung dengan sebuah keluarga kecil, lalu ayah angkatku bunuh diri, saat umurku 12 tahun kakak angkatku tewas dibunuh, saat umurku 13 tahun ibu angkatku meninggal karena penyakit, saat umurku 14 tahun nenek angkatku menghilang, saat umurku 15 dan 16 tahun, hal mengerikan terjadi padaku, jadi aku tak akan membicarakannya,” ungkap Farka tanpa basa-basi.
Sazan pria putus asa yang menunduk bagaikan menanggung dosa seluruh umat manusia, duduk di bangku barisan paling depan, Fihan, pria kalem tapi angkuh, berdiri bersandar di papan tulis menatap Farka dengan cuek, dia ditemani oleh Eril seorang gadis yang menyukainya, yang tak akan rela membiarkan 'pangeran-nya' diculik oleh wanita lain, Areny duduk di sebelah kanan Sazan, dia gadis ceria, punya ambisi kuat untuk membuat akhir perjalanan hidupnya dapat hidup bersama Farka selamanya, ia menatap Farka dengan ceria tapi tak serius, setidaknya ia sudah hadir, sedangkan Zeni duduk di atas meja di sebelah Farka, wanita dingin itu tak peduli, ia hanya bersedekap menyilangkan tangan memandang jauh keluar jendela, ia terpaksa hadir demi menghormati gelar ketua kelas yang tersemat pada Farka. Bagaimana pun caranya Farka harus bertindak cepat sebelum kelulusan berlangsung, enam bulan lagi adalah waktu yang tersisa untuk membuat mereka lulus bersama masalah yang selesai.
“Sazan, aku tahu kamu punya penyakit kanker dan umurmu hanya setahun lagi, semangatlah Sazan, karena kesedihanmu itu, tidak akan menyembuhkanmu,” ungkap Farka blak-blakan tak mau temannya kalah oleh penyakitnya sendiri.
“Fihan, aku tahu kau punya dendam dengan ibumu, dia ibu kurang ajar yang selalu menyiksamu dan nenekmu, tapi tolong, bersikap baiklah pada teman-temanmu, jika pun kau butuh bantuan aku siap membantu,” lanjutnya penuh keseriusan tinggi berharap Fihan si laki-laki pendiam itu paham.
“Areny, kamu gadis yang selalu ceria dan ambisius ...”
“Ya itu aku!” sahut Areny dengan bangga mengerahkan seluruh energi positifnya agar kesedihannya tersingkap.
“Tapi, keluargamu selalu menyiksamu, ya sudah, tinggal saja di rumahku,” saran Farka tanpa beban.
Tapi Areny hanya terdiam.
“Dan Zeni ...” ucap Farka dengan tatapan tajam menatap Zeni dengan penuh perenungan.
Wanita itu hampir-hampir seperti mayat hidup, tatapannya kosong, namun rahasia besar terpendam dalam netra hitamnya, Zeni selayaknya peramal yang menerawang menuju masa depannya, bukan untuk meramal, melainkan untuk melihat kemungkinan yang terjadi bila dia melakukan rahasia besar itu.
“... sedingin apapun kamu, wanita sepertimu juga punya masalah hidup, kamu selalu diacuhkan oleh ayahmu, bahkan kamu bekerja menjadi wanita penghibur hanya demi mendapatkan uang, ayahmu sendiri tak peduli padamu, karena kamu anak dari suami pertama ibumu, jadi ... kamu selalu dianggapnya sebagai sampah, kalau kamu mau, aku bisa mencarikan pekerjaan yang lebih bersih,” imbuh Farka dengan lugas.
Farka menatap lekat-lekat seluruh teman-temannya, karena, kemungkinan ajakannya sangat sukar diterima, hanya saja, Farka juga tidak gegabah dalam mengambil keputusan ini, tiga hari tiga malam adalah waktu yang telah dia tempuh untuk merenungi keputusannya, mencari jalan terbaik bagi kehidupan teman-temannya. Sementara teman-teman Farka terdiam, berharap sang ketua kelas melakukan pekerjaannya dengan baik.
“Sebenarnya, aku memanggil kalian ke sini karena ...” kata Farka menggantung kalimatnya mempersiapkan diri demi pernyataan nan penting.
“... ayo kita buat dunia kita sendiri!“ Lanjutnya dengan lantang dan mantap.
Sontak semua orang terperangah dengan ajakan Farka, Sazan serta Eril sampai rela keningnya mengernyit demi berpikir dalam-dalam, apa yang dipikirkan oleh ketua kelas sampai-sampai ia seperti punya kelainan? Berkhayal layaknya bocah yang bermain mobil-mobilan demi menyelesaikan masalah hidup, jelas, hal itu langsung ditolak mentah-mentah.
Suasana senja ini, mulai terasa canggung dan menjadi tegang, karena ketua kelas mengajak untuk berkhayal.
”Apa kamu gila?“ Ketus Zeni tanpa bertanya maksud ajakan Farka.
”Bwahahahahahaha ...“ tawa Areny menganggap ucapan Farka hanyalah lelucon.
”Ketua kelas kamu bercanda kan?“ Tanya Eril bermaksud menyindir.
”Kau terlalu banyak mengkhayal Farka!“ Timpal Fihan.
”Ini memang tidak masuk di akal! Tapi, biar aku jelaskan sedikit!“ Balas Farka serius berharap teman-temannya bertanya lebih dalam atau setidaknya paham dengan maksud ajakannya.
”Tunggu,“ sela Areny mencari tahu.
”Apa maksudmu kita bertingkah seperti bocah, kita menganggap di ruangan ini ada seekor monster yang berusaha memakan para murid, lalu kita menyelamatkan teman-teman kita begitu?“ sindirnya berkelakar.
”Iya ... kalau perlu,“ tegas Farka tanpa penolakan.
”HAHAHAHAHAHA ...“ tawa Areny terpingkal-pingkal.
”Ketua kelas kamu mah aneh,“ timpal Eril.
Seluruh kalimat pedas tak mampu membuat Farka sang ketua kelas gentar atau bahkan menarik kembali kata-katanya, justru dengan satu tarikan napas, ia berdiri penuh percaya diri, netra hitamnya ia arahkan pada seluruh teman-temannya dengan keseriusan penuh, satu persatu mendapat giliran untuk disorot oleh netra yang menyiratkan kepedulian tinggi itu.
”Ayo kita buat dunia kita di ponsel kita masing-masing, buatlah cerita yang kalian inginkan, lalu kita gabungkan dan kita buat sebuah buku!“ Ajaknya.
”Apa gunanya kalau itu hanya khayalan semata?“ Sindir Fihan tanpa perenungan lebih dulu.
”Hem!“ Sambung Areny mengangguk setuju dengan Fihan namun lebih menjurus pada ikut-ikutan.
Fihan menyelipkan kedua tangannya ke saku celana panjang sekolahnya, memberi kesan bahwa ia tidak peduli, seraya melangkah tiga langkah ke depan dengan raut wajah datar tetapi tetap menyiratkan keangkuhan layaknya anak muda yang memiliki segalanya, diikuti oleh Eril yang memegang lengan kiri Fihan seakan hendak menyeberang.
”Berkhayal dan berimajinasi tak bisa menyelesaikan masalah kita,“ pungkas Fihan menjurus pada penolakan mentah-mentah.
Lalu Fihan melangkah pergi dengan sikap angkuhnya, bukan tanpa alasan dia menolak mentah-mentah ajakan ketua kelas, untuk kali ini dia tak suka ajakan Farka yang tanda-tanda keberhasilannya tak mutlak, meskipun Fihan memang selalu menolak bantuan Farka tanpa alasan jelas, walau sebenarnya Farka adalah ketua kelas yang selalu mampu menyelesaikan seluruh masalah murid-murid di sekolah, malah ia tak segan untuk berdarah-darah demi seorang adik kelas bodoh yang berseteru dengan sebuah geng, tapi sayangnya, Farka belum mampu menyelesaikan masalah keempat temannya sekarang, entah itu kelemahannya, atau memang ia tidak berdaya melakukannya, tapi yang jelas, jiwa kepedulian Farka lebih tinggi ketimbang seorang ibu yang meninabobokan anaknya, berlebihan memang, tetapi, begitulah faktanya.
Farka selalu memberi solusi dan bantuan yang memang selalu disalah artikan sebagai ikut campur. Fihan pergi, namun Farka tak bisa menghentikan kepergian Fihan, Eril pun ikut pergi membuntuti Fihan, bagai seekor anjing yang mengikuti majikannya. Tak lama kemudian Zeni berdiri tegap, ia ikut tergerak untuk pergi menolak mentah-mentah ajakan Farka, menghadap Farka dengan raut muka masa bodohnya itu.
”Sebagai ketua kelas seharusnya kamu berpikir, bahwa ini dunia nyata dan harus secara nyata juga menyelesaikan semua masalah,“ ungkap Zeni lantas berpaling pergi.
Langkahnya terhenti tepat di mulut pintu, ia masih memendam perasaannya yang penuh rahasia, berdiri dengan pandangan serius namun penuh amarah. Ia memang sedang menimbang-nimbang sebuah keputusan yang tidak diketahui oleh orang lain.
”Aku kecewa padamu ketua kelas, kita dipanggil ke sini hanya untuk berkhayal,“ ungkapnya lantas kembali melangkah pergi.
Farka terdiam berdiri tegak memandang Zeni dengan kuyu, kesedihannya bukan karena penolakannya, justru kesedihannya karena mereka menolak tanpa perundingan lebih dulu, ia memang tak pernah bisa membantu keempat temannya, seolah ini adalah kutukan. Namun Areny serta Sazan hanya terdiam masih betah pada posisinya, mereka sepertinya menimbang-nimbang ajakan Farka, sebab bagaimana pun mereka tahu, sang ketua kelas adalah anak yang baik, jadi tak mungkin ajakannya hanya sebatas khyalan semata tanpa ada kebaikan di dalamnya. Farka kemudian duduk menunduk di atas meja di sebelahnya, ia menerima kenyataan ini, tapi ia tak merasa ini adalah kegagalannya, mau bagaimana lagi, gelar ketua kelas selama tiga tahun yang diamanahkan padanya sama sekali tak berguna, bahkan terkesan basa-basi semata.
”Aku cuman berusaha membantu teman-temanku sebisaku,“ keluh Farka yang terdengar layaknya prajurit perang yang putus asa.
Sazan dan Areny saling menatap satu sama lain, seolah mereka ikut bersedih, tepatnya, mereka bertanya-tanya harus seperti apa mereka merespons ajakan Farka.
”Kalau kalian ingin pulang, silakan saja,“ saran Farka pasrah, benar-benar telah menyerah.
Sazan pun bangkit berdiri, ia memandang Farka dengan serius, tatapannya, napasnya, hingga jari jemarinya memberi kesan penolakan, namun dalam sorot mata gelapnya, menyiratkan perenungan, dia bimbang, jadi dia hanya terbawa suasana.
”Maafkan aku ketua kelas, tapi, apa yang dikatakan Fihan dan Zeni memang benar, lebih-lebih kita sudah dewasa bukan anak TK lagi ...“ tutur Sazan meyakinkan.
”... aku pamit ...“ lanjutnya sambil menjinjing tas gendongnya.
Dan Sazan pun pergi meninggalkan kelas, Farka menebak-nebak, apa mungkin, Sazan memang terbawa suasana, atau justru penolakannya lebih mengarah pada meminta izin untuk mempertimbangkan ajakan Farka, tapi yang jelas Farka tak bisa memaksa teman-temannya, dia tidak punya hak penuh pada orang lain. Areny gadis beraura positif penuh kegembiran adalah satu-satunya manusia yang masih duduk manis tanpa memberi tanda penolakan, dan Farka termenung, mereka masih di kelas. Gadis berambut hitam sepundak dengan poni yang berjurai rata di dahinya itu, tetap setia menemani Farka, senyuman mengembang indah di wajah manisnya, bukan karena dia senang bisa berdua bersama Farka dikala senja, justru senyumannya itu ditujukan bahwa ia menerima ajakan Farka tanpa pertimbangan, tanpa memberi tahunya dan dia juga senang Farka peduli padanya.
”Eh, kenapa kamu tidak pulang juga?“ Tanya Farka seraya menoleh memandang gadis manis itu.
Farka tak tahu bahwa Areny menerima ajakannya, yang dia tahu Areny pasti ingin pulang bersamanya.
”Kita pulang bareng yuk!“ Ajak Areny sambil bangkit berdiri dengan riang.
Tebakan Farka benar, namun ia kembali menunduk, benaknya bertanya-tanya apa Areny menerima ajakannya?
Tapi Farka tak bertanya langsung pada Areny, dia menyangka Areny pun menolak ajakan serta saran Farka, lalu tanpa banyak membuang waktu, ia meraih tas gendongnya yang berada di bangku di depannya, sekaligus mengenakannya.
”Ayo kita pulang,“ ajak Farka.
”Hem!“ Kata Areny mengangguk mengiakan.
Pukul 16:00 sore hari nan cerah, udara mengalun begitu lembut, Farka dan Areny telah berada di jalan menuju rumah bernaung mereka, rumah mereka cukup dekat satu sama lain, jadi bisa dibilang mereka tetangga, kira-kira lima rumah yang menjadi jarak antara rumah mereka, sekolah juga tak terlalu jauh, mereka tinggal di kota Artana, kota yang padat, tapi akan sangat sepi bila tengah malam, masyarakat kota ini sangat ramah, siapapun orangnya tak segan mereka akan mengajak makan di rumah mereka, meskipun begitu, tindakan kriminal cukup tinggi di kota ini, dapat dilihat dari kehidupan Farka serta teman-temannya. Di pinggir jalan yang mereka lalui berjajar pohon-pohon cemara dengan angin yang berembus pelan, membawa kesejukan dalam langkah sepasang sahabat itu, rumah mereka masuk ke dalam sebuah kompleks perumahan, semua makhluk akan dihadapkan pada gapura kompleks dengan tulisan cat hitamnya yang rapi yang dibaca sebagai: Kompleks Hanataba.
Tak ada pembicaraan selama mereka jalan bersama, tapi, dalam batin Farka berkecamuk kegelisahan, ia tak bisa menerima bahwa sebagai seorang teman ia cukup payah, ia hanya memikirkan apa gunanya gelar ketua kelas yang ia pegang jika hanya sekadar basa-basi semata, bahkan ketua geng para pembunuh, jauh lebih baik dalam menolong teman mereka, lalu kembali lagi batinnya bergelut, ini bukan soal jabatan, ini soal bodohnya Farka yang tak bisa menunjukkan, bahwa ajakannya sangatlah berharga sebanding dengan nyawanya, namun di sisi lain pikirannya menyela, bahwa setidaknya sudah mencoba.
Sementara dalam benak Areny, si gadis murah senyum beraura positif, ia nampak sangat senang sekali, pasalnya, kenyataannya kini ada seorang laki-laki tampan dan seorang yang populer di sekolahnya sangat perhatian padanya, orang yang berkarisma yang memiliki jiwa sosial tinggi, jantung Areny akan terasa berdebar kala dirinya di dekat Farka, apa lagi jika ia ditatap oleh pria bermata hitam tegas ini, seolah-olah ia merasakan kebahagiaan hidup telah ia capai seutuhnya. Memang banyak wanita yang mengagumi Farka, bukan karena kepintarannya, justru Farka selalu mendapat nilai terrendah dalam semua mata pelajaran, melainkan, karena kebijaksanaannya, setia kawan, jujur, baik dan siap menolong pada siapapun, itulah yang dikagumi oleh gadis-gadis di sekolah, tapi, Areny lebih cenderung menyukai Farka dikarenakan telinganya yang menawan, baginya melihat telinga Farka seperi melihat kelembutan gumpalan awan-awan di langit, memang cukup aneh, bahkan terbilang tidak wajar, sampai-sampai, Areny ingin sekali menggigit dengan gemas kuping Farka. Areny benar-benar telah jatuh hati padanya, hingga ia ingin selalu hidup bersamanya, tapi satu hal yang penting, perasaan itu telah berkembang menjadi perasaan cinta.
Tak terasa Areny telah tiba di depan pagar hitam rumahnya, rumah bertipe minimalis modern ini bernuansa putih abu-abu, ada bunga matahari menyambut di sisi pintu, tapi cukup menggelikan kalau nyatanya itu bunga plastik.
”Nah, sampai jumpa lagi ...“ kata Farka tanpa senyuman.
”Iya!“ Sahut Areny dengan senyuman memandang Farka pergi.
Kala Farka telah cukup jauh melangkah, Areny bergegas terburu-buru masuk ke dalam rumahnya. Sepertinya Areny hendak melakukan sesuatu yang penting, ditambah suasana rumah yang sepi, memberi kesempatan besar bagi Areny untuk melakukannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Riaaa🌻
ahhh... bener-benar harus menyelasaikan bacaanku
2020-06-21
0
nona_g
bagus ceritanya
2020-03-22
17