. "Dim! Apa kau bisa ke kampus sekarang? Ini darurat." Ucap Seno terengah.
"Hei kak! Kau kenapa? Sepertinya kau sedang berlari.?" Ucap Dimas di sebrang.
"Bukan waktunya becanda. Sekarang kau ke kampus secepatnya!" Seno mematikan panggilan. Dimas yang masih di hantui rasa penasaran bergegas menuju kampus.
"Jika aku tahu akan ke kampus Xxx, mungkin aku tidak akan ke klinik setelah mengikuti Arisa." Gumam Dimas bergegas dan kembali melajukan mobilnya.
. Tidak butuh waktu lama, Dimas sampai di kampus Xxx. Dia berlari menuju ruang kesehatan.
"Kau lama Dimas" ucap Seno kesal.
"Sudah untung aku buru-buru kesini, kau malah memarahi aku. Dan kau kenapa memanggilku. Bicara ini darurat." Ucap Dimas sambil berjalan mengikuti Seno.
"Lebih baik kau periksa saja pasienmu. Kau akan tahu sendiri dan menganggap darurat atau tidaknya, terserah." Ucap Seno membuka ruang kesehatan.
Dimas terheran-heran tidak percaya setelah melihat siapa pasien nya.
"Arisa." Dimas sedikit berlari, menyimpan tas, dan mengeluarkan peralatan medisnya.
"Kenapa Arisa bisa pingsan lagi Seno..?" Tanya Dimas sedikit emosi tapi masih memeriksa Arisa.
"Kau lancang menyebut namaku Dimas." Ucap Seno datar.
"Aku tidak peduli. Kau jawab saja pertanyaanku." Tegas Dimas.
Rayyan berdiri dari duduknya. "Aku yang melakukannya." Ucap Rayyan dengan tatapan dingin.
"Ceritakan!" Ucap Dimas yg fokus memeriksa Arisa.
"Apa?" Rayyan menyernyitkan dahinya.
"Apa kau tidak dengar?" Ucap Dimas kesal.
"apa maksudmu ceritakan?" Tanya Rayyan dengan wajah bingung.
"Kau bilang kau yang melakukannya." Dimas menoleh pada Rayyan.
"Aku tidak sengaja." Rayyan duduk kembali. "Aku hanya reflek" lanjutnya.
"Reflekmu bagus nak! Sampai bisa membuat orang pingsan." Ucap Dimas datar.
Rayyan tidak berbicara lagi. Rasa paniknya tertutupi oleh tatapannya yang dingin. Rayyan menatap Arisa yang masih terlelap.
"Mengapa aku membantunya? Dan mengapa aku sepanik ini?" Gumam Rayyan semakin lekat menatap Arisa.
"Sebaiknya kau kembali Rayyan. Bukankah kau ada kelas?" Ucap Seno berdiri di belakang Dimas.
"Baiklah!" Rayyan pergi melewati pintu yang terbuka.
"Dasar es.!" Seno berdecih. Melirik ke arah Wina yang sedari tadi terlihat panik
"Kembalilah. Dia akan baik-baik saja." Ucap Seno meyakinkan Wina. Wina hanya mengangguk lalu pergi meninggalkan ruang kesehatan.
Seno menghela nafas panjang.
. 'Kringgggg!!!' Suara panggilan masuk dari ponsel Seno. Seno mengambil dari saku celananya. Dilihatnya siapa yang memanggil. "Sial!" Cetusnya. Seno mengangkat panggilan. Seno tidak langsung bicara.
"Hei!" Ucap Tio dari sebrang.
"Apa?" Tanya Seno.
"Aku gelisah dari tadi. Apa kau bisa memastikan bahwa adikku baik-baik saja.!" Ucap Tio tanpa basa-basi. Seno terdengar hanya menghela nafas panjang. "Kau kenapa Seno?" Tanya Tio heran.
"Maafkan aku Tio, tapi adikmu sedang tidak baik-baik saja." Jawab Seno dengan berat berbicara.
"Apa dia murung lagi?" Tanya Tio.
"Tidak." Jawab Seno
"Lalu?" Tio semakin heran.
"Dia pingsan".
"Ohhh... apa?" Teriak Tio. Seno menjauhkan ponselnya. Panggilan diakhiri.
"Aku yakin dia akan kesini!" Ucap Seno menatap ponselnya.
"Tenang saja! Sebentar lagi Arisa siuman.! Berapa lama dia pingsan?" Tanya Dimas melirik Seno
"Selama kau di jalan!" Jawab Seno.
"Maksudmu?" Tanya Dimas heran.
"Hitung saja berapa lama sejak aku menelponmu." Ucap Seno santai.
"Apa?" Teriak Dimas.
"Kau dokter tapi tidak bisa menjaga etika saat di ruang kesehatan!" Ucap Seno menepuk dahinya.
"Apa dia terbentur?" Tanya Dimas. "Ada sedikit memar di pelipisnya" lanjut Dimas.
"Mungkin. Aku tidak tahu!" Jawab Seno tak yakin
"Sepertinya kau sangat peduli pada Arisa." Ucap Dimas lalu duduk di ranjang pasien. Menatap lekat wajah Arisa yang terlelap.
"Aku sudah menganggapnya sebagai adikku." Ucap Seno menatap Arisa.
*kampus Yyy
. Daffa menemui Raisa yang sedang terduduk di kelasnya.
"Hei! Raisa?" Tanya Daffa menunjuk tanda memastikan.
"Iya. Ada apa?" Jawab Raisa heran.
"Apa benar adikmu kuliah di kampus Xxx?" Pertanyaan selanjutnya.
"Iya benar!" Jawab Raisa dengan wajah heran.
"Bolehkah aku meminta nomor ponsel adikmu?" Mengeluarkan ponsel dari saku jeans nya.
"Untuk apa?" Tanya Raisa polos.
"Aku hanya ingin memastikan saja keadaan Rayyan." Jelas Daffa
"Aku tak yakin adikku bisa membantumu." Raisa meletakan tangan di dagunya. "Adikku tak seperti yang kau pikirkan. Aku malah lebih yakin dia akan mengacuhkanmu jika kau bertanya tentang Rayyan." Lanjut Raisa menjelaskan.
"Apa maksudmu?" Tanya Daffa heran.
"Kau mendengar bahwa adikku adalah gadis yang dingin. Tapi kau pura-pura tidak mengerti. Bahkan kau sendiripun tau akhirnya akan seperti apa." Ucap Raisa berdiri dari duduknya. "Jadi, sebenarnya apa yang kau inginkan?" Tanya Raisa melirik Daffa.
Dafa tertawa perlahan. "Yahhh karena sudah ketahuan olemu, baiklah aku jujur. Aku menyukai adikmu. Setelah melihatnya, entah mengapa jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Seperti ingin meledak." Ucap Daffa menghela nafas panjang sambil menyentuh dadanya.
"Tidak." Singkat padat jelas. Terucap dari mulut Raisa dengan tegas.
"Hah? apa maksudmu?" Daffa sedikit terkejut.
"Aku tidak akan memberikan adikku pada playboy sepertimu." Ucap Raisa dengan nada tegas.
"Ayolah Raisa.. aku akan berhenti mendekati gadis lain jika kau membantuku mendapatkan adikmu." Daffa memohon.
"Tidak." Tegas Raisa.
"Aku mohon!"
"Tidak."
"Ayolah"
"Tidak Daffa. Sudah hentikan."
"Baiklah jika kau tidak ingin membantuku, aku yang akan berusaha sendiri." Daffa beranjak melangkah pergi.
"Semoga beruntung" Raisa tertawa kecil.
*kampus Xxx
. Di tengah keheningan, terdengar Arisa bergumam. Lalu terbangun tiba-tiba. Terduduk lesu, dan akhirnya menunduk dengan tangan kanan yang menutupi wajahnya. Terdengar isak kecil.
"Arisa? Kau tidak apa-apa? Apa masih terasa sakit?" Seno menghampiri Arisa dengan wajah khawatir. Arisa hanya menggeleng..
'Ceklak' 'drap drap drap' suara langkah kaki terdengar mendekat.
"Arisa!" Teriak Tio. "Kau baik-baik saja?"
Arisa mendongak, terlihat wajahnya yang merah dengan mata sedikit sembab.
"Kau menangis?" Ucap Tio memegang kedua pipi adik bungsunya itu. "Apa yang sakit?" Tio semakin panik.
"Rama!" Arisa memeluk Tio erat. "Aku merindukannya" kini isak tangisnya semakin keras.
"Kau bicara apa Arisa! Sudahlah. Relakan dia.... jika kau seperti ini, dia tidak akan tenang." Ucap Tio mengusap kepala adiknya yang kini berada dipelukannya.
"Seno... kau tidak bisa menjaga adikku." Tio melirik tajam pada Seno.
"Kau pikir aku hanya memperhatikan adikmu saja?"
Tio memalingkan wajahnya.
"Untuk kali ini aku izinkan kau absen." Ucap Seno melangkah keluar ruangan.
kampus Yyy
. Kelas tengah berlangsung. Raisa beberapa kali memijat kepalanya.
"Rasanya aku pusing, tidak biasanya."
. Ketika pulang, terlihat mama sedang merangkai bunga di teras depan. Mama melirik Arisa sebentar lalu kemudian fokus kembali pada bunga di depannya.
"Sudah pulang? Dimana mobilmu?" Tanya mama tetap fokus pada bunga. Tio mengepalkan tangannya.
"Aku titipkan pada Seno." Jawab Tio.
Arisa tidak berkata apapun dan langsung masuk kedalam rumah. Kepalanya begitu berat, matanya terasa panas saat berkedip. Rasanya ingin langsung tertidur saja.
"Apa mama seperti ini juga pada Raisa?" Tanya Tio yang terus memandang kepergian Arisa.
"Apa maksudmu?" Mama menoleh pada Tio.
"Tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya ingin tahu sikap mama pada Raisa seperti apa jika yang tadi bersamaku itu dia." Kak Tio menghela nafas panjang.
"Sudahlah. Jika kau tidak berniat ke kantor, lebih baik kau membersihkan diri. Dan jika kau lapar, makanlah! Makanan ada di meja makan." Ucap mama yang kembali fokus pada bunganya.
"Aku harap mama tidak seperti yang aku fikirkan." Ucap Tio berjalan memasuki rumah.
Mama hanya menatap dalam pada bunga di depannya. Berfikir apa ia terlalu memperhatikan Raisa saja. Mungkin memang ini alasan kenapa Arisa sudah tidak mau makan di rumah.
Raisa menghampiri mama yang sedang melamun.
"Mama!? Apa mama melamun?" Tanya Raisa mengulurkan tangan tanda ingin mengasun tangan ibunya.
"Ohh iya sedikit. Tumben pulang siang?" Mama sedikit menoleh dan tersenyum pada Raisa.
"Dosenku tidak masuk hari ini, jadi aku pulang saja." Jelas Raisa. "Kak Tio sudah pulang? Tidak biasanya." Lanjut Raisa heran sesekali melirik mobil Tio lalu menoleh ke dalam rumah.
"Iya kakakmu baru pulang. Bersama dengan Arisa." Ucap mama kembali fokus pada bunganya.
"Arisa sudah pulang?" Raisa terlihat antusias. "Apa dia sudah makan? Baiklah kalau begitu aku masuk dulu." Raisa berlari masuk kedalam rumah. Menaiki tangga, dan sampai di depan kamar Arisa. Diketuknya pintu kamar, dan sedikit membuka. Betapa terkejutnya, Raisa langsung berlari ke dalam dan meraih Arisa yang tergeletak dengan darah dari hidungnya. Dipeluk kepala adiknya, dan terasa panas.
"Deee. Bangunlah.... Kau jangan becanda denganku" teriak Raisa penuh isakan.
"Bangun. Ayo bangun!" Raisa yang terus menerus berteriak.
Terdengar suara orang berlari semakin dekat, dan menggebrak pintu yang terbuka.
"Arisa!" Tio yang panik ikut berteriak.
Tio menggendong Arisa keluar kamar. "Kau ambil tissue di laci lemari Arisa." Titah Tio sebelum menghilang dari balik pintu.
Raisa mengambil apa yang Tio minta. Mengejarnya menuruni tangga dengan isakan keras. Ketakutan kehilangan adiknya, terus menghantui fikirannya.
Prakkk terdengar suara benda yang jatuh.
"Mama...!" Raisa langsung memeluk mama yang sedikit lesu.
"Sebaiknya mama dirumah saja." Ucap Tio yang sudah memasuki mobil.
"Apa kau bisa menjamin adikmu akan selamat? Kau melarang mama ikut, kenapa kau bicara seakan mama tidak peduli pada Arisa." Bulir bening mulai jatuh dipipi mama. Tio hanya terdiam. Lalu menghela nafas panjang sambil memangku kepala Arisa.
"Tapi bukankah kenyataannya seperti itu?" Tio memalingkan wajahnya dari pandangan mama.
"Mang berangkat sekarang." Ucap Tio tanpa melirik keluar lagi.
"I-iya den." Ucap mang Ujang melajukan mobilnya.
Raisa terdiam mematung di belakang mama.
Terlihat mama terisak, entah karena ucapan Tio atau karena keadaan Arisa yang tiba-tiba seperti itu.
"Ma... kita susul kakak ya." Mama hanya mengangguk dan mengikuti Raisa.
Raisa melajukan mobilnya sedang, dan sesekali melirik pada mama yang terus terdiam.
"Maafkan ucapan kakak ma. Mungkin kakak terlalu mengkhawatirkan Arisa."
"Lalu? Ibu mana yang tidak mengkhawatirkan anaknya?"
Bersambung.-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 214 Episodes
Comments