. "Siapa?" Arisa masih fokus ke jalan.
"Apa kau benar-benar tidak tau?"
"Aku tidak ingat."
"Kau menyebalkan Arisa." Raisa memalingkan wajahnya ke luar.
"Kau sudah tau aku menyebalkan, tapi kau masih bicara. Ekspresi apa itu? Nyatanya kau yang lebih menyebalkan." Ucap Arisa dengan datar. "Aku tidak kenal, dan tidak ingin kenal dengan orang yang angkuh, kasar, dan aku benci. Siapa dia? Apa karena dia pewaris yang sah atas perusahaan ternama, dia bisa seenaknya menganggap rendah wanita." Lanjut Arisa kesal.
"Apa maksudmu?" Tanya Raisa heran.
"Bukankah yang kau maksud itu Rayyan?" Arisa menoleh pada Raisa.
"Kau bilang kau tak tau Arisa." Geram Raisa.
"Yaaa aku bilang begitu karena aku tidak ingin mengingatnya." Jawab Arisa datar.
"Apa maksudmu?".
"Tidak ada maksud apa-apa."
"Ayolah... semua wanita menyukainya, mengapa kau menbencinya?"
"Hanya wanita bodoh yang menyukai pria seperti dia." Tetap fokus ke depan.
"Kau ini, seleramu seperti apa Arisa? Apa kau masih mencintai Rama?" Tanya Raisa.
"Menurutmu?" Jawab Arisa.
"Kupikir iya!".
"Sudahlah. Kampusmu sudah dekat. Kau mau aku turunkan dimana?" Arisa menoleh kanan kiri.
"Dimana saja." Ucap Raisa.
"Disini?" Arisa mengerem seketika. Raisa terkejut sampai kepalanya terbentur ke depan.
"Apa yang kau lakukan Arisa? Apa kau ingin membunuhku?" Raisa kesal setengah mati.
"Kau bilang dimana saja. Aku hanya menuruti katamu." Jawab Arisa datar.
"Kau ini benar-benar gila."
"Iya aku gila. Karena diantara kita hanya kau yang paling sempurna Raisa." Meledak sudah isi hati Arisa yang selama ini dia pendam. Terlihat bulir bening menetes dipipi chuby nya.
"Kau menangis? Ma.. maafkan aku Arisa. Sungguh aku tidak bermaksud" lirih Raisa.
"Sudahlah. Aku tidak apa-apa. Akan ku turunkan kau di depan gerbang." Arisa melajukan mobilnya pelan. Dan sampai di depan gerbang kampus Yyy, Raisa turun dan kemudian berlari ke sebelah kemudi. Arisa membuka kaca mobilnya. Raisa mengecup kening adik tersayangnya. "ketahuilah. Aku sangat menyayangimu. Dan aku tak rela jika melihat air matamu jatuh seperti tadi." Ucap Raisa tersenyum. Arisa membalas dengan senyuman.
Terdengar suara Sofia memanggil Raisa dari sebrang.
"Baiklah aku masuk dulu. Kau selesaikan urusanmu, dan jangan sampai terlambat ke kampus." Omel Raisa.
"Baiklah. Aku hanya sebentar dengan urusanku." Jawab Arisa.
"Iyaaa aku percaya padamu."
Arisa menutup kaca mobilnya, dan melajukan mobilnya berlalu meninggalkan Raisa.
Sementara di sebrang, terdengar desas-desus bisikan syaiton, uppss maksudnya bisikan mahasiswa lain yang melihat pemandangan itu.
"Arisa tidak kalah cantik dari Raisa ya?" Ucap para lelaki yang melihat.
"Aku iri pada mereka, sepertinya Raisa sangat menyayangi saudara kembarnya." Ucap para perempuan
"Jadi itu saudara kembar Raisa? Dia terlihat berbeda dengan Raisa. Sepertinya benar tentang rumor itu. Dia memang cantik, tapi sangat dingin." Kebanyakan sih ngomongnya kayak gini.
*Taman
"Apa kau sudah sarapan?" Tanya Dimas.
"Kebetulan belum. Apa kau mau memberikanku roti?" Ucap Arisa kembali bertanya.
"Kau mau? Biar aku belikan." Tawar Dimas.
"Baiklah. Aku tunggu disini." Arisa duduk di salah satu bangku taman. Dimas kemudian membelikan 2 bungkus roti dan 2 kotak susu. Dan kembali dimana Arisa duduk.
"Kau suka susu coklat kan?" Tanya Dimas yg duduk di samping Arisa.
"Emm tidak terlalu." Ucap Arisa.
"Bagaimana ini? Aku sudah membelinya dua." Dimas menatap kotak yang ada ditangannya.
"Tak apa. Biar aku minum." Arisa mengambil susu kotak dari tangan Dimas.
. Arisa melahap roti yang di berikan Dimas.
"Pelan-pelan, nanti kau tersedak." Dimas menatap Arisa.
"Aku akan tersedak jika kau terus menatapku seperti itu Pak Dokter." Ucap Arisa lalu menoleh menatap Dimas. Seketika pandangan mereka bertemu. Memang pasangan yang serasi. Dokter muda tampan, dan seorang mahasiswa yang cantik. Rambut panjang terurai, dengan poni kesamping kanan, "sangat manis." Ucap Dimas tiba-tiba. "Hah? apa? Kau berkata apa?" Tanya Arisa yang mulut mengunyah roti.
"Ahh! Apa? Aku tidak berkata apa-apa." Jawab Dimas mengalihkan pandangan.
"Kudengar, kau bilang 'manis'" ucap Arisa memastikan.
"Oh. Emm iya manis. Coklat di rotinya sangat manis." Ucap Dimas sedikit gugup.
"Hemmmmmm" Arisa mengangguk-ngangguk. "Biasa saja." Lanjutnya.
. "Jadi, bagaimana kondisimu saat ini?" Tanya Dimas memecah kecanggungan.
"Untuk saat ini aku baik-baik saja." Jawab Arisa tersenyum.
"Baguslah. Aku sempat khawatir saat kau pingsan seminggu yang lalu." Ucap Dimas menghela nafas panjang.
"Aku ingin bertanya serius padamu." Ucap Arisa.
"Apa?" Tanya Dimas menatap dalam Arisa.
"Apa hatiku masih bisa mencintai?" Ucap Arisa fokus pada ponselnya.
'Uhukkk uhukkk' Dimas tiba-tiba batuk.
"Kau tak apa? Minum Dimas..!" Arisa mengelus-elus punggung Dimas.
"Aku tersedak karena minum, kau malah menyuruhku minum."
"Maaf pak Dokter, aku tidak tahu. Aku terkejut kau tiba-tiba batuk seperti itu." Ucap Arisa
"Kau pikir aku tersedak karena siapa? Kau tiba-tiba berkata seperti itu." Dimas sedikit kesal.
"Apa salahnya aku bertanya. Karena aku takut. Saat aku terlalu dalam mencintai, aku akan kehilangan lagi, atau bahkan bisa saja kini giliran waktuku yang tidak tersisa lagi"
Dimas menatap Arisa yang menunduk.
"Jika kau ingin mencintai, sewajarnya saja. Karena sesuatu yang berlebihan itu tidak baik." Jelas Dimas
"Maafkan aku Dimas, aku--"
"Sudahlah. Aku mengerti perasaanmu." Ucap Dimas memotong ucapan Arisa dan menepuk pipi Arisa pelan. Arisa membalas dengan senyuman.
"Apa kau tidak berangkat ke kampus?" Tanya Dimas.
"Sebentar lagi, baru jam 9 lewat sedikit. Kelasku dimulai jam 11." Arisa melirik jam ditangannya.
"Terserah kau saja." Ucap Dimas.
. Arisa dan Dimas dekat 2 tahun terakhir, sejak Arisa selalu berobat ke klinik milik Dimas. Kedekatan mereka hanya sebatas Dokter dan pasien. Walaupun Dimas menyukai Arisa sejak lama, tapi Dimas tidak berani melewati batas pertemanan mereka. Dimas tahu Arisa sampai saat ini masih mencintai Rama, adiknya yang sudah meninggal 1 tahun yang lalu karena kanker yang di deritanya. Dimas pertama kali melihat sisi lain dari Arisa yang selalu terlihat dingin diluar rumahnya namun hangat saat bersamanya. Saat itu Arisa yang paling terpukul. Rama adalah cinta pertama Arisa, sampai saat ini belum ada yang bisa membuat Arisa jatuh cinta lagi selain Rama.
. Setelah berjalan-jalan menyusuri taman, Arisa pergi ke kampus. Mobilnya diikuti oleh Dimas dibelakangnya. Ini sudah biasa, Dimas yang selalu khawatir pada Arisa.
*kantor Artaris
. Tio sedang berada di ruang presdir bersama ayah.
"Sebentar lagi kau akan menggantikanku. Aku harap kau sudah siap Tio. Dan aku sudah putuskan, aku akan mengumumkan ini, tepat saat kau dan Diana bertunangan." Jelas ayah.
"Tapi ayah, aku belum siap untuk melamar Diana. Aku belum punya apa-apa." Jawab Tio. "Aku masih bergantung pada ayah." Lanjutnya.
Ayah hanya tersenyum. "Baiklah aku mengerti. Terserah kau saja. Beritahu aku jika kau sudah siap." Ucap ayah menepuk pundak Tio. "Aku akan pulang, kau urus urusan perusahaan." Lanjut ayah tersenyum.
"Apa? Ayahhhh tak bisa begitu, aku belum faham betul tentang masalah perusahaan." Tio menatap ayahnya tajam.
"Aku percaya padamu Tio. Menjadi direktur pun kau sudah cukup faham. Buktinya, saat ayah sibuk dengan klien lain, kau bisa menghandle meeting dengan klienku yang lainnya." Ucap ayah berjalan menuju pintu.
"Tapi Ayah..." Tio kembali memelas.
"Sudah. Jangan membantah. Kau jalankan saja perintah dari ayah. Itu sudah cukup." Tio tidak berkata lagi. "Kalau begitu ayah pergi." Lanjut ayah menutup pintu.
Setelah memastikan ayah benar-benar pergi, Tio terlihat kesal.
"Sial. Bagaimana bisa aku menghandle semuanya sendiri?" Ucap Tio mengusap-usap wajahnya. "Oke. Jika ayah bisa, kenapa aku tidak." Lanjutnya tersenyum terpaksa.
*kampus Xxx
. Tepat pukul 10:30, Arisa sudah sampai di kampus. Setelah memarkirkan mobilnya, terlihat Wina melambaikan tangannya di sebrang. Karena jarak antara mereka tidak terlalu dekat, Arisa sedikit berteriak "tunggu disana". Terlihat Wina menjawab "oke. Aku tunggu."
Arisa setengah berlari menghampiri Wina, tapi saat sedang berjalan, Arisa berhenti dan terdiam sejenak. Arisa menutupi hidungnya. Lembab, begitulah yang terasa di telapak tangannya. Wina heran, dan menghampiri Arisa yang tiba-tiba terdiam.
"Kau kenapa Aris?" Tanya Wina sambil berlari.
"Aku tidak apa-apa." Jawab Arisa masih menutup mulut dan hidungnya.
"Kau bohong. Apa itu cairan merah yg keluar dari tanganmu." Ucap Wina panik. "Kita ke ruang kesehatan." Wina menarik tangan Arisa yang lain.
"Tidak. Jangan. Aku ingin ke toilet saja." Ucap Arisa lalu berjalan menuju toilet terdekat dari parkiran.
Sampai di toilet, Arisa membuka tangannya dan menunduk di wastafel membiarkan darah dari hidungnya menetes.
"Arisaaa... apa kau yakin tidak apa-apa? Kau mimisan. Banyak darah yang keluar." Ucap Wina dengan mata berkaca-kaca. Arisa membasuh wajahnya. Membersihkan darah di sekitar hidungnya.
"Aku baik-baik saja Wina... percayalah." Ucap Arisa tersenyum.
"Jangan membuatku muak dengan sikapmu Arisa. Kau selalu menutupi semuanya dengan senyum bodohmu itu." Ucap Wina yang tiba-tiba memeluk Arisa. Terasa kehangatan yang Arisa rasakan.
. Arisa dan Wina keluar dari toilet, saat berjalan menyusuri koridor, Arisa melihat Rayyan yang sedang bermain basket. Disekelilingnya terlihat mahasiswi berteriak menyemangati Rayyan.
Rayyan sekilas melihat Arisa. Hingga tanpa sadar, Rayyan melemparkan bola basket ke arah Arisa.
Wina menyadari dan berteriak "Arisa menunduk" belum sempat Arisa menunduk, 'blam' bola basket mengenai lengan Arisa sehingga Arisa terdorong, dan terjatuh, kepalanya membentur tembok.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Wina panik.
"Aku tidak ap..." belum sempat melanjutkan, Arisa terlelap dipangkuan Wina dan tak bisa di bangunkan.
"Arisa... hei! Bangun! Kumohon Arisaa!" Ucap Wina semakin panik mendekap kepala Arisa.
Terlihat Rayyan berlari menghampiri kerumunan.
Tanpa pikir panjang, Rayyan membawa Arisa menuju ruang kesehatan.
"Beritahu pak Seno tentang ini." Ucap Rayyan pada Wina.
Dan Wina bergegas menemui Seno di ruangannya.
Seno terkejut dan berdecih melihat Rayyan yang menggendong Arisa.
Bersambung.-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 214 Episodes
Comments