Sepanjang perjalanan menuju rumah, Anas terus saja memikirkan permintaan Pak Permana. Benar-benar bingung dan heran, kenapa dirinya yang dipilih untuk menikahi Cantika? Bukankah Pak Permana adalah seorang pengusaha sukses? Pria itu pasti banyak kenalan orang-orang kaya. Kenapa tidak memilih salah satu dari anak kenalannya, atau mungkin rekan bisnisnya sebagai calon suami gadis itu? Ahhh, Anas lupa! Pak Permana ingin memilih pria yang mampu membimbing putrinya. Tapi kenapa dirinya yang dipilih? Perasaan Anas merasa belum pantas memikul beban itu.
Aku belum bisa menjadi laki-laki yang baik. Mampukah aku merubah sikap gadis sepertinya? Jika aku menolak, apa Pak Permana tidak akan sakit hati? Beliau sudah begitu baik padaku dan mendiang ayah ibu. Rasanya tidak enak jika aku tidak bisa memenuhi permintaannya ini. Tapi, pernikahan bukanlah perkara main-main. Apa yang harus aku lakukan?
Pikirannya terkadang maju, terkadang mundur. Hatinya sangat gusar tak menentu. Jika dia menuruti nalurinya sebagai seorang laki-laki, tentu saja dia akan bersedia menikahi gadis cantik itu. Namun jika menimbang ke depannya, tidak mungkin dia memilih calon ibu yang bersikap buruk untuk anak-anaknya kelak.
Tapi.....bisa saja gadis itu berubah, bukan?! Dulu saat pertama bertemu, sikapnya begitu ramah dan baik padaku. Dasarnya anak itu memang baik. Ahhhh, entahlah. Aku benar-benar bingung!
Tak terasa dia sudah sampai di depan rumah kecilnya. Bangunan dengan empat ruangan itu adalah warisan dari mendiang kedua orang tuanya. Anas hanya sedikit merenovasinya dari hasil keuntungan berjualan.
Di teras rumah, duduk seorang gadis berlesung pipi. Berdiri sambil tersenyum ketika melihat pemilik rumah sudah pulang.
"Mas, darimana?"
"Mira, aku dari rumah Pak Permana, sahabat ayah dan ibu." Memarkirkan kendaraannya, membuka helm lalu menghampiri gadis itu.
"Aku tadi masak gudeg, mungkin Mas mau nyicip?" menyodorkan rantang yang dipegangnya.
"Wah, makasih! Tahu saja kalau aku menyukai makanan ini." Mengambil rantang lalu mencium aromanya. "Wangi sekali! Tapi aku masih kenyang, nanti saja aku makannya. Pasti akan ku habiskan, masakan buatanmu kan yang paling enak!" tersenyum.
Mira berbinar-binar menatap lengkungan di bibir pria itu. Sungguh begitu indah dan manis!
"Mas, aku pamit. Sebentar lagi Maghrib."
"Ya, terima kasih banyak gudegnya."
"Sama-sama. Sampai ketemu di Masjid !" Tersenyum dan berlalu.
"Inshaa Allah..."
Anas segera masuk ke rumah. Meletakkan rantang di atas meja yang ada di ruang tengah. Langsung pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu, pergi ke Masjid untuk sholat berjamaah dan mengajar anak-anak mengaji.
Pulang dari sana, Anas istirahat. Tubuhnya akan kembali beraktivitas setelah pagi buta sekitar jam tiga. Biasanya melaksanakan tahajud dan sebagainya. Sambil menunggu waktu subuh tiba, dia mempersiapkan bahan-bahan untuk diolah sebagai makanan yang akan dijual.
Jam 7 atau telatnya setengah 8 pagi, Anas siap menjajakan nasi kuning di teras rumahnya. Biasanya para ibu-ibu dan gadis yang berkerumun membeli dagangannya. Nasi kuning buatannya memang laris. Selain karena rasanya yang sedap dan harganya yang murah meriah, yang jadi daya tarik pembeli adalah sikap ramah dan wajah manis penjualnya.
Itulah keseharian dari seorang Anas Malik.
***
Pagi ini Pak Permana mengetuk pintu kamar putrinya. Sudah beberapa kali, tapi tak ada suara dari dalam sana.
"Cantika, tidak baik anak gadis bangunnya siang terus. Buka dulu pintunya, nak! Papi harus bicara hal penting denganmu."
Setelah agak lama, pintu itu pun terbuka. Muka kusut masih mengantuk, menyembul dari balik pintu. "Ada apa?" suaranya agak serak. Pak Permana tersenyum, "Boleh Papi masuk?" Cantika mengangguk dan berjalan ke arah sofa. Ayahnya mengikuti dan duduk di sebelahnya.
"Ika, Papi sangat menyayangimu. Kamu adalah tanda cinta Papi dan mendiang Mami. Papi tidak mau melihatmu hancur." Menatap lekat.
Cantika memegang pelipisnya, "Jangan banyak bertele-tele, langsung saja katakan apa yang sebenarnya Papi mau !"
"Nak, Papi ingin menjodohkanmu dengan Anas. Papi..." kalimatnya terpotong.
Cantika berdiri murka, "Pria norak yang kemarin itu ? Kenapa papi sembarangan mau menjodohkan aku dengannya ?"
Pak Permana ikut berdiri dan memegang kedua bahu putrinya. "Ika, Anas adalah laki-laki yang baik. Papi yakin dia akan jadi suami yang tepat untukmu. Papi harap dia juga mau menerima perjodohan ini."
Cantika menghempaskan tangan ayahnya, "Aku gak mau dijodohkan dengan pria manapun. Biar aku sendiri yang menentukannya!"
"Nak, ini demi kebaikanmu. Papi mau kamu kembali jadi perempuan yang baik."
"Papi, aku gak mau. Sekarang tolong Papi keluar dari kamarku, kepalaku tambah pusing gara-gara rencana gila ini !" memegang kepalanya yang terasa mau pecah.
"Baiklah, tapi tolong pikir-pikir lagi permintaan Papi ini !" Berlalu pergi.
Cantika memutar bola matanya malas. Dia kembali naik ke tempat tidur. Memejamkan matanya yang masih terasa perih.
***
Siang hari di ruang keluarga.
Riri dan Bu Sofi tengah berbincang. Mereka membahas tentang rencana perjodohan Cantika.
"Ma, emang siapa yang mau dijodohkan dengan Kak Cantika ?" tanya Riri.
"Papi bilang sih, anak dari sahabatnya. Laki-laki itu baik dan bertanggung jawab. Semoga saja mereka berjodoh. Mama ingin melihat Cantika berubah."
"Mudah-mudahan ya, Ma....Aku juga mau yang terbaik untuk Kak Cantika. Tapi, apa rencana ini akan berhasil ?"
"Semoga saja."
"Ma, darimana ide ini muncul ?"
"Sebenarnya yang memberi saran agar Cantika segera dinikahkan adalah Mama. Mama hanya ingin Papi sedikit berkurang bebannya. Jika kakakmu menikah, akan ada yang ikut membimbingnya. Jadi Papi bisa sedikit lega."
Cantika bertepuk tangan sambil menghampiri kedua perempuan itu. Tersenyum sinis, "Wahhh, hebat sekali idemu, ibu peri! Apa ini adalah cara supaya aku segera keluar dari rumah ini?"
"Bukan seperti itu, Kak. Mama hanya berniat baik." Ucap Riri.
"Diem, Lo! Gue tahu kalian itu sebenarnya mau nyingkirin gue. Benar-benar licik! Gue benci orang munafik!" berteriak-teriak.
Bu Sofi memegang tangan anak tirinya namun dihempas. "Cantika, kami sungguh tidak ada niat jahat pada siapapun. Mama ingin yang terbaik buatmu dan Papi."
"Gak percaya gueee ! Dasar penjilat !" melenggang pergi.
Bu Sofi menangis dalam pelukan anaknya. Riri berusaha menenangkan wanita itu. Keduanya berharap Cantika akan segera berubah dan menerima kehadiran mereka sebagai bagian dari keluarga.
***
Seminggu berlalu.
Siang ini, Anas kembali berkunjung ke rumah Pak Permana. Setelah benar-benar berusaha mencari pencerahan, akhirnya dia telah mengambil keputusan.
Di ruang tamu itu, Anas duduk berhadapan dengan Pak Permana. Tidak ada lagi siapa-siapa di sana. Bu Sofi dan Riri sedang ada di Rumah Sakit untuk menjenguk kakek. Dan Cantika, entah kemana gadis itu saat ini.
"Bagaimana, Anas? Apa keputusanmu?"
Anas mengambil nafas panjang sebelum bicara, "Kenapa Bapak yakin jika saya adalah laki-laki yang tepat untuk putri Bapak?"
"Firasat! Selain itu, saya tahu betul jika kamu adalah pria yang bertanggung jawab. Kamu adalah tipe menantu yang saya harapkan." Menatap lekat.
"Setelah banyak pertimbangan, saya memutuskan untuk memenuhi permintaan Bapak. Saya bersedia menikahi Cantika, dengan catatan dia pun menerima saya dengan suka rela. Tanpa paksaan dari siapapun."
Pak Permana tersenyum lebar, "Alhamdulilah....saya senang mendengarnya. Tapi, Cantika belum memberi jawaban. Saya juga tidak tahu dia ada dimana, ponselnya tidak bisa dihubungi. Nanti saya akan bicarakan semuanya pada Cantika. Semoga saja dia mau menerima perjodohan ini."
"Papi, aku bersedia menikah dengan laki-laki ini !" Cantika mendadak muncul di depan pintu utama. Perlahan dia menghampiri keduanya.
Anas menatapnya sekilas, lalu segera menunduk. Entah kenapa, jantungnya terasa berdenyut lebih cepat?
Pak Permana berdiri, "Apa kamu yakin dengan keputusan ini?"
"Aku bersedia menikah dengan laki-laki pilihan Papi. Kalau bisa, nikahkan kami secepatnya!" Kalo gitu kan gue bisa cepet keluar dari rumah ini. Gak usah lagi liat muka munafik wanita-wanita licik itu!
Pak Permana tersenyum bahagia, "Syukurlah...mari duduk! Mungkin kamu ingin mengobrol dengan Anas. Papi mau ke kamar dulu sebentar." Setelah putrinya duduk, pria itu segera pergi. Sengaja meninggalkan keduanya agar lebih leluasa saling mengenal.
Bersambung dulu, maaf.....!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
👑Meylani Putri Putti
ini yg mey salut dengan teteh, satu bab berapa kata teh, ngak cape ya nulis sepanjang itu wkwk
2021-07-12
1
Fitria_194
cantika kterlauan tp kasian jga.
2021-07-05
1
baby_neon23
Next up semangat! salam Lidya Life Story 🤗
2021-07-03
1