Hari ini Varest membawa Zee untuk ke Rumah Sakit memeriksakan giginya yang semalaman membuat anaknya itu menangis histeris hingga berjanji tidak akan makan permen lagi disela isaknya. Varest menggandeng Zee yang saat itu memakai baju kuning serta topi coklat dengan dua telinga monyet diatasnya melewati koridor yang lumayan rame oleh pengunjung serta pasien dan petugas Rumah Sakit.
"Zee sudah siap kalau giginya dicabut?" tanya Varest berjongkok menyamakan tingginya dengan Zee
Bocah itu mengangguk mantap, "Ji syiap Papa, Ji mau sehat-sehat aja" ucapnya menepuk pipinya yang masih terlihat gembung.
Varest tersenyum hingga matanya membentuk bulan sabit horisontal sambil mengelus lembut pucuk kepala sang anak "Anak pintar, ayo kita buat Zee sehat-sehat" ucapnya meniru ucapan Zee
Mereka melanjutkan perjalanan menuju tempat Dokter gigi setelah sebelumnya sudah mengambil nomor antrian, hingga nama Zee dipanggil yang membuat anak itu menarik tangan Varest yang hendak berdiri untuk masuk keruangan.
Varest mengernyitkan dahinya bingung, menoleh kebawah untuk melihat Zee dia bertanya "Ada apa Zee? kamu takut?"
Batita itu menggeleng "tidak takut pah, tapi-" dia menunduk tak berani melihat sang papa
"Ada apa?"
"Apa itu shakit?"
Varest yang menyadari ketakutan sang anak langsung mengangkatnya untuk digendong, memberi semangat serta pujian agar anaknya tidak takut lagi
"Kalau Ji pintal dan tampan bisya ketemu syama tante cantik?" menelengkan kepalanya menatap polos pada Papanya
Itu tidak ada dalam skenario pembujukannya, namun karena melihat tatapan perawat yang sudah tak sabar akhirnya dia mengangguk.
"Baiklah, ayo kita syehat-syehatkan Ji" teriak anak itu antusias hingga membuat perawat serta ibu-ibu yang sedang menunggu giliran ikut tertawa
Sebelum Dokter memutuskan untuk mencabut gigi Zee dia harus memeriksa keadaan pada gigi Zee secara langsung berharap tak ada pembengkakan pada gusi atau sakit yang masih dirasakan oleh anak itu, dia mengambil kaca mulut untuk memeriksa mulut Zee
"Masih sakit?" tanya Dokter yang ber-nametage Fauzan itu
Zee mengangguk namun setelahnya menggeleng cepat, sepertinya dia masih ragu untuk mecabut giginya
"Tidak syakit lagi Om Doktel, Ji mau syehat-syehat bial tampan dan pintal kalau ketemu Tante cantik" jelasnya sok dewasa "iya kan, Pah?" tanyanya pada sang papa meminta dukungan
Varest hanya tersenyum seraya mengusap pelan pucuk kepala Zee
Dokter itu mengangguk setelahnya mengambil gel anastesi untuk diolesi diarea gigi yang akan disuntik.
"Papa" Zee sedikit merengek sebelum dia disuntik
"Tidak sakit kok, iyakan, Dok?" bujuknya meminta persetujuan pada Dokter
Memegang erat tangan mungil anaknya "Zee tutup mata ajah, Papa disini kok pegangin tangannya Zee"
Setelah dirasa Zee sudah dalam posisi nyaman Varest mengangguk kepada sang Dokter memberi isyarat untuk mulai mengeksekusi gigi anaknya..
beberapa menit berlalu, selama proses pencabutan gigi Zee sempat sesekali membuka matanya mengintip berharap prosesnya sudah selesai.
"Sakit nggak?" tanya Varest setelah Zee sudah selesai dan mendudukannya kembali di kursi depan meja dokter
berbeda dengan tindakannya tadi saat ini dia menggeleng namun setelahnya dia mengangguk beberapa kali dengan bibirnya yang sudah melengkung keatas, dia menangis seraya memeluk leher Varest masih belum terbiasa dengan kapas yang mengganjal serta nyeri pada gusinya setelah pengaruh obat biusnya hilang.
Varest mengusap punggung Zee lembut memberi semangat serta pujian seperti biasanya, beruntung anak itu adalah tipe anak yang suka disanjung.
Matahari cukup terik hari ini, cahayanya menyentuh pada permukaan tanah yang terlapis rumput hijau setinggi sekitar satu centimeter yang dikelilingi oleh bunga matahari yang melambai tertiup angin
Rea duduk di kursi kayu yang berada disamping koridor yang terhubung langsung pada taman Rumah Sakit. menutup matanya seraya menghirup udara taman meski berada di Rumah sakit yang notabenenya aroma obat yang akan tercium mengudara, namun taman yang ditempatinya ini lebih jauh dari rutinitas dari aktifitas yang berbau obat.
"Rea?" suara Bariton itu menyadarkannya pada lamunan sesaat
menoleh pada asal suara terdengar, mengkerutkan dahi berusaha mengingat suara yang belum familiar di telinganya.
"Ini aku Varest" seakan mengerti pertanyaan yang tak diucap oleh Rea
"Varest?" tanya Rea belum sepenuhnya mengingat siapa pemilik nama itu meski sedikit tahu bahwa dia pernah mendengar nama itu
"Ah, wajar kalau kamu nggak ingat, kita baru bertemu sekali" berjalan ke depan Rea "boleh aku duduk?" tanyanya
"Silahkan, aku bukan pemilik Rumah Sakit ini, aku rasa aku tidak memiliki hak untuk menjadikan kursi ini sebagai hak milik" jawabnya yang dibalas kekehan oleh Varest
"Aku Papanya Zee, bocah yang ketemu sama kamu saat di Kafe beberapa hari lalu"
Rea masih memutar otaknya untuk mengingat "Ah iya, aku ingat, apa dia yang kamu bawa kesini?" tebaknya
"iya"
"Ada apa?, apa anak mu sakit?" mimik Wajah Rea terlihat khawatir yang tak luput dari perhatian Varest
"Tidak terlalu serius" Varest mengangkat kedua bahunya "beberapa hari ini Zee sedikit rewel kalau dilarang untuk makan permen"
Rea tersenyum saat paham sakit apa yang dimaksud "Zee sakit gigi?"
"Iya, tadi malam dia menangis histeris karena sakit gigi sampai berjanji tidak akan makan permen lagi" jelasnya
Tawa Rea mengudara, entahlah saat mendengar nama dan tingkah bocah itu perasaannya sedikit menghangat, disembunyikannya rambutnya pada belakang telinga saat angin meniupnya menyapu pada wajahnya. tindakan yang tak disadari olehnya itu ternyata membuat Varest mengembangkan senyum hangat meski tak terlihat olehnya.
"Mataharinya terik banget hari ini" kata Varest memulai lagi obrolan setelah sempat sama-sama diam beberapa menit
"Iya aku bisa merasakannya" jawabnya seraya menggerakkan kedua kakinya dibawah kursi yang terkena sinar matahari
Reflek Varest melihat kaki bersepatu flat itu, tersenyum mengerti akan isyarat yang terkesan natural namun lucu untuk memberitahu bahwa wanita ini memang bisa merasakan teriknya matahari tanpa melihat mengingat kaki sebatas betis itu juga tersentuh oleh cahayanya
"Meneliti sekitar bagi orang yang kehilangan penglihatan sebenarnya tidak terlalu sulit jika menyangkut cuaca, kami mendengar dan merasai dengan kulit, jika telinga kami tidak bisa menangkap suara maka kami mengandalkan kulit" Rea tersenyum samar
"Seperti sekarang aku tidak bisa lihat bagaimana cahaya matahari yang terik ini menyentuh tanah, hanya sebatas menggunakan kulitku untuk mengetahuinya memang panas aku merasakannya menyentuh kaki ku, tapi meski begitu aku rasa cuaca cukup bertoleransi hari ini anginnya terasa sejuk, bukan?" Varest tersenyum mengangguk mengiyakan analisis yang baik itu
"Kamu tau ditengah taman itu ada bunga matahari yang bergerak mengikuti alur kemana angin bertiup" menatap pada tanaman yang tak jauh dari mereka duduk seraya menegakkan badannya.
"aku tahu"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments