Ini hari kedua Liz Nadiah membenahi rumah peninggalan orang tuanya itu. Hampir tujuh puluh persen bagian rumah sudah berhasil dibersihkannya. Kasur busa usang yang semalam ditidurinya, ia jemur di atas sebuah bangku kayu di depan halaman rumah, sesaat setelah sang surya menyembul dari balik persembunyiannya.
Tak ada satu pun tetangga yang datang membantunya. Karena memang posisi rumah itu cukup terpencil ... sedikit jauh dari penduduk lainnya.
Setelan celana panjang hitam dipadukan tunik jumbo yang panjangnya hampir menyentuh mata kaki, menjadi busana Liz Nadiah hari ini. Tak lupa, pashmina coksu bercorak zigzag, menutup apik bagian rambutnya. Kaki mungilnya hanya beralas sandal jepit. Sangat sederhana.
Selepas dzuhur, ia memutuskan untuk pergi menuju pasar yang letaknya cukup jauh. Melewati setidaknya satu desa lainnya yang dibatasi dua petak sawah. Sesuai niat awalnya, membeli beberapa barang yang diperlukannya.
Seharusnya perjalanan itu ditempuh menggunakan sepeda motor atau serendahnya sepeda kayuh, tapi apalah daya ... Liz Nadiah tak memiliki keduanya.
Mata gadis hijab itu tak henti menyapu deretan rumah-rumah penduduk yang berjejer memadati tepi jalanan beraspal yang kini ditapakinya. Rumah-rumah sudah terlihat lebih bagus dari yang dilihatnya terakhir kali, sebelum ia meninggalkan desa itu beberapa tahun silam. Mungkin ekonomi di desa itu, kini lebih maju, begitu pikir Liz Nadiah.
Namun yang membuatnya terheran ... kenapa tak ada satu pun penduduk yang dikenalinya? Apakah mereka semua orang baru? Lalu kemana penduduk lama yang dulu menempati desa itu?
Cukup aneh!
Ketika masih larut dalam berbagai asumsi di kepalanya dengan kening berkerut-kerut, semilir suara berhasil memecah gelembung tanya dalam kepala Liz Nadiah.
"Kamu orang baru di desa ini, Nak?"
Liz Nadiah menoleh ke arah suara itu berasal.
Seorang kakek bertubuh kurus ... kurus sekali. Mungkin siapa pun yang melihatnya pasti tak yakin, jika kakek itu masih memiliki daging dalam tubuhnya. Perkiraan usianya mungkin setara 60 tahunan atau mungkin ... lebih. Ia muncul dari belakang sebuah pohon dengan beberapa batang kayu kering dalam pikulnya.
"Umm ... saya--"
"Kamu membeli rumah yang mana?" Kakek itu memungkas kalimat yang baru saja hendak dilontarkan Liz Nadiah.
Kening gadis itu mengkerut dalam. "Maksud Kakek?"
"Iya. Rumah mana yang kamu tempati saat ini?" Suara seraknya terdengar tak bertenaga.
"Umm ... aku menempati rumahku sendiri, Kek," jawab Liz Nadiah masih dengan kernyitan tak mengerti.
"Tapi Kakek baru melihatmu di sini."
Wajah heran Liz Nadiah belumlah pudar. Ia masih berusaha mencerna kalimat si kakek, tentang 'menempati rumah yang mana'.
Belum habis rasa herannya, kini mata dan pikirnya, mulai dipaksanya bekerja untuk mencerna bagian lainnya.
Belum menyahut kalimat akhir si kakek, Liz Nadiah terus mencoba menggali kebenaran dari apa yang ada dalam kepalanya saat ini.
Sepertinya aku mengenali kakek ini?
"Kamu kenapa melihat Kakek seperti itu, Nak?"
Hingga menit menyeretnya untuk mengingat. "Kakek Panca?" Paras Liz Nadiah berubah menjadi kejut.
Si kakek turut terperanjat. "Kamu tahu nama Kakek?"
Kedua tangan Liz Nadiah kini terangkat, memegang pundak sosok kakek tersebut. "Jadi benar ini Kakek Panca?!"
Kakek mengangguk, yang berarti membenarkan terkaan Liz Nadiah. "Iya, Nak. Tapi dari mana kamu tahu nama Kakek?"
Tanpa menjawab, Liz Nadiah merebut kayu bakar yang dipikul Kakek bernama Panca itu, lalu dicampakannya begitu saja ke tanah. Lantas tak serta merta, dipeluknya tubuh renta itu erat. Air mata telah luruh menghiasi pipi halusnya. "Ini aku Nadiah, Kek. Liz Nadiah."
"Liz Nadiah?" Kakek bergumam dalam irama berpikir. "Liz putrinya Galuh Aisyah dan Shada Yasin?" tanyanya setelah berhasil mengingat dua bait nama itu.
Liz Nadiah mengangguk cepat. "Iya." Pelukan itu terlepas. "Aku putri mereka."
"Ya, Tuhan. Kau masih hidup, Nak?!"
"Iya, Kek."
Dan pada akhirnya, pasar tak jadi dikunjungi Liz Nadiah hari ini. Ia memutuskan untuk ikut bersama Kakek Panca ke kediamannya.
"Kakek kenapa jadi sekurus ini?" Terduduk di atas sebuah bale bambu di dalam rumah ... ahh tidak, bahkan hunian itu tak layak disebut sebuah rumah. Sangat memprihatinkan. Bilik-bilik kayu yang menutupi seluruh bagiannya, sudah terlihat reot, nyaris rubuh. Bahkan cahaya matahari dengan leluasa menembus ke dalamnya, karena beberapa bagian dalam keadaan bolong.
Dengan cangkir stainless loreng bercorak putih hijau, berisi teh hangat di tangannya, Kakek Panca duduk di samping Liz Nadiah. "Kakek kehilangan semuanya, Nak." Tatapannya seolah menerawang pada masa-masa tersulitnya.
Didampingi ekspresi dalam perasaan terluka, Kakek Panca mulai menceritakan segalanya. Tentang dirinya, tentang sebagian besar penduduk yang tiba-tiba menghilang ... berkedok penyaluran tenaga kerja oleh suatu pihak. Namun hingga kini tak ada kabar dan berita. Yang kemudian juga menelan istri dan anak lelakinya.
Yang paling membuat terlihat heran, ialah tentang orang-orang baru dengan berbagai ras, yang selalu berdatangan setiap tahunnya, menggantikan penduduk yang tak pernah kembali.
Dari awal hingga akhir, tak satu hal pun bisa diterima nalar Liz Nadiah. Terlalu aneh.
"Mungkinkah mereka benar-benar bekerja di Luar Negeri, Kek?"
Kakek Panca menggeleng. "Tidak! Itu hanya manipulasi."
"Lantas?!"
"Kakek juga tidak tahu, Liz. Terlalu banyak teka-teki yang terjadi di desa ini." Kakek Panca menjeda sesaat kalimatnya. Disesapnya teh yang mungkin tak lagi hangat itu, perlahan. Lalu kembali pada ceritanya. "Tapi satu yang Kakek yakini ...." Mata Kakek Panca terlihat menerawang. "Mereka semua tak lagi hidup."
Liz Nadiah terlonjak. "Maksud Kakek?"
Atap langit-langit rumah dengan genteng tak beraturan itu, ditatap Kakek Panca dengah siraman kepahitan.
"Kakek pernah menemukan segunduk tanah merah di tengah hutan, di bukit sana." Lantas diam beberapa jenak.
"Lalu?" Liz Nadiah sedikit tak sabar karena terlalu penasaran.
"Hutan itu selalu alami dengan hamparan rumput liar di bawah pohon-pohon besar, yang merambat hampir memenuhi seluruh bagiannya. Tapi gundukan tanah itu ... membuat Kakek penasaran. Kakek menggalinya, hanya menggunakan sebatang kayu yang ujungnya Kakek buat meruncing."
Liz Nadiah masih menunggu.
Sejenak mengambil nafas, Kakek Panca lalu melanjutkan kembali ceritanya.
....
Tak sampai satu meter kedalamannya, tanah gembur yang digali Kakek Panca, sudah mencapai dasar yang tak mungkin lagi digalinya. Bukan berupa batu besar, cadas apalagi harta karun, tanah yang telah membentuk lombang itu ... berisi dua onggok mayat laki-laki dewasa yang dikuburkan serampangan. Bahkan darah segar masih mengalir manis dari bagian tubuh mayat-mayat itu. Terlihat jelas, jika kedua laki-laki naas itu, belum lama dikuburkan.
Kakek Panca yang dulu masih gagah itu, jelas terkejut, seluruh tubuhnya bergetar. Ia mengenali kedua mayat itu. Mereka adalah Rosman dan Hidayat. Dua penduduk desa yang dikabarkan hilang tiga hari sebelumnya.
Bukan karena ia tega, atau pun sama hinanya dengan orang yang telah menimbun tak layak mayat-mayat itu, tapi rasa takut yang teramat sangat, membuatnya mengambil keputusan menimbunkan kembali tanah-tanah itu ke asalnya. Lantas berlari meninggalkan tempat itu sebelum ada yang melihat.
Begitulah ringkasan isi penjelasan Kakek Panca, yang jelas membuat Liz Nadiah terperangah bukan kepalang.
Menutup mulutnya tak percaya, tak satu pun kata terlontar sebagai komentar dari bibir Liz Nadiah.
Dan kenyataan itu membuatnya tak lagi yakin ... jika ibunya masih dalam keadaan hidup.
...••••...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Sry Handayani
serem
2024-11-25
0
Najwa Aini
Ceritanya penuh misteri..makin penasaran
2022-06-10
0
KOwKen
mampus, ud bnyk aja lu up.
2021-08-28
1