Gugup, itulah yang dirasakan oleh Andre, saat hari pertama Ospek disekolahnya. Semenjak tadi pagi dari awal ia bangun sampai tiba di depan gerbang sekolah perutnya sudah terasa tidak enak. Entah karena ia gugup atau ada yang salah dengan sarapannya.
Maklum, Pak Budi sudah menjadi sopir keluarganya semenjak kelas 5 SD, sehingga sudah seperti keluarga baginya dan keluarganya. Ayahnya merupakan pemilik perusahaan IT yang cukup sukses di Indonesia, sedangkan ibunya bekerja sebagai seorang pengacara ternama yang bisa dibilang cukup terpadang dalam bidangnya.
Lahir dengan latar belakang seperti itu membuat tekanan yang besar ada pada dirinya dikarenakan relasi, ataupun keluarga ayah dan ibunya mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadapnya. Walaupun Ayah dan Ibunya tidak mengatakan apa-apa soal itu akan tetapi tetap saja pandangan orang lain terhadapnya tetap membuatnya tertekan.
“Kenapa nak? Gugup?”, kata Pak Budi yang sekarang sedang menatapnya lewat spion tengah.
“Banget pak,” ia menjawab dengan perasaan agak kesal.
Dia merasa seharusnya Pak Budi sudah bisa menebak apa yang dirasakannya hanya dengan melihat ruat wajahnya, apalagi mereka sudah saling kenal layaknya keluarga.
Melihat jam digital di dashboard mobil menunjukkan pukul 06.55, Andre berusaha untuk menenangkan dirinya; melupakan segala hal yang lain, menutup matanya dan mengatakan kepada pikirannya kalau semua baik-baik saja. Ini merupakan salah satu hal yang diajarkan Ayahnya dulu saat dirinya mempunyai fobia dengan ruang sempit yang gelap sampai akhirnya hal itu menjadi kebiasaan walaupun fobianya sudah sembuh total.
Setelah 1 atau 3 menit melakukan mind control tersebut dan rasa sakit di perutnya menjadi agak reda, ia langsung berpamitan dengan Pak Budi dengan mencium tangannya— hal itu sudah menjadi kebiasaan—dan kemudian keluar dari mobil.
Berjalan menuju gerbang utama sambil melihat sekilas tampak depan sekolahnya, Andre cukup terpukau karena kenyataannya melebihi dari apa yang ia bayangkan. Dari awal saat dia naik kelas 3 SMP, ia selalu menginginkan masuk ke sekolah ini, bukan karena terkenal dengan kemewahannya.
Namun, lebih tepat karena prestasi sekolah tersebut di bidang robotik yang cukup terkenal di kalangan pencinta robotik. Dan, juga karena SMA M mempunyai kerja sama khusus dengan beberapa kampus di luar negeri. Sehingga, bisa dibilang SMA M merupakan jalan pintas kalau ingin kuliah di luar negeri.
Dirinya sendiri tidak percaya saat ia berhasil diterima masuk ke sekolah tersebut bahkan—karena banyak orang yang pintar namun tetap juga gagal karena ketatnya persaingan—ia sendiri sampai menangis saat membaca surat penerimaannya dan, surat itu terus di gantung di kamarnya sampai sekarang sebagai trofi.
Tiba di depan gerbang utama, sebelum ia melangkahkan kakinya melewati gerbang tersebut, ia menutup matanya dan berdoa dalam hatinya memohon agar semua harinya dilancarkan. Hal itu juga sudah menjadi salah satu kebiasaannya setiap akan memulai sesuatu yang betul-betul baru.
Akan tetapi, saat dia akan melangkahkan kakinya melewati gerbang tersebut, tiba-tiba seseorang menabraknya dari belakang sampai membuatnya sampai terjatuh setelah gagal mempertahankan keseimbangannya hanya dengan satu kaki.
Awalnya, dia ingin memarahi siapa yang menabraknya, akan tetapi saat melihat orang yang menabraknya ternyata perempuan, amarahnya langsung surut. Malahan, ia langsung membantu perempuan tersebut berdiri. Apalagi saat kerumunan orang mulai melihati mereka, ia tentunya tidak mau hari pertamanya berkesan buruk.
“Ah HP-ku.”, keluh perempuan tersebut, “Siapa sih yang berhenti di tengah jalan!” sambung perempuan tersebut lagi yang terlihat sedang memungut sebuah handphone yang layarnya terlihat retak, kali ini dengan nada suara yang agak meninggi perempuan tersebut kembali mengomel, “Ganti ngak!” ucap perempuan tersebut sambil menunjuk-nunjuk ke arah Andre, dan menyodor-nyodorkan handphone tersebut di depan wajahnya.
Mendengar perempuan tersebut meneriakinya tanpa basa-basi dulu, Andre pun ikut emoesi dan akhirnya ikut nyolot, “Permisi ya. Kan lo duluan yang nabrak. Kenapa malah nyalahin gua?”
“Pokoknya, gua ngak mau tau, lu mesti ganti gua punya HP, titik,” sahut perempuan tersebut, kali ini cukup keras sampai sedikit bergaung.
“Dih, enak banget lu asal ceplas-ceplos .Jelas-jelas lu yang salah malah nyalahin orang. Ogah.” Andre membalas, dalam hatinya sebenarnya dia ingin mengumpat kata-kata kasar. Namun, tersadar ketika melirik orang-orang di sekitarnya yang berlalu lalang sambil berbisik.
“Aduh pagi-pagi Ren, lu sudah ribut aja sama anak orang. Cewek pula.”, dan masalah lainnya bertambah ketika Dimas datang entah dari mana.
Dimas, merupakan salah satu teman baiknya, walaupun terkadang ngeselin dengan mulut embernya dan sering nyerocos tidak tau tempat namun, Dimas merupakan salah satu teman terbaik yang selalu ada saat ia susah.
“Ah sudahlah. Gini aja, lu tungguin gua di sini pas pulang. Gua bawa lu ke konter HP buat ganti atau servis or whatever it’s. Oke?.” ucap Andre mengakhiri berusaha untuk mengkahiri pertengkaran tersebut.
Dia hanya tidak mau masalah tambah rumit dan malah menjadi bahan gibah Dimas dan satu teman baiknya lagi—yang kebetulan mereka bertiga satu kelas.
“Wah, hebat juga lu, baru haru pertama sudah bisa berantem sama cewek cakep.”, perkataan Dimas tersebut seolah menjadi kalimat pembuka sekaligus peringatan bagi dirinya untuk menguatkan mentalnya.
***
Dan betul saja apa yang Andre perkirakan, Dimas beserta temannya satu lagi bernama Brandon, terus menempel ketat dirinya sambil menggodanya soal kejadian pagi ini.
Bahkan sampai membuatnya tidak bisa fokus dengan sesi pengenalan lingkungan sekolah gara-gara kedua temannya ini—yang rasanya sangat ingin ia menyumpal kedua mulut di sampingnya ini dengan kain.
Saat pulang sekolah pun, Dimas dan Brandon masih tetap tidak melepasnya dan terus menggibahinya sampai telinganya sangat panas dan emosinya hampir meledak. Entah bagaimana kalau orang lain yang menghadapi kedua laki-lai bermulut emak-emak ini.
“Eh, jadi bagaimana? Lu betul-betul mau ganti HP itu cewek?”, tanya Dimas,
“Wah, baru hari pertama katanya sudah dapat cewek cakep aja lu, langsung nge-date pula. Gila lah, kalah lu Dim.”, tambah Brandon,
“Bisa diam ngak sih lu berdua.”, jawabnya dengan emosi sambil memukul kepala kedua temannya yang tukang gosip tersebut dengan buku sebelum memasukkannya ke dalam tas, “Dan juga, nge-date apaan? Ini cuma bentuk tanggung jawab dari seorang pria yang peduli dengan imagenya.”, tambahnya sambil mengenakan tasnya dan berjalan meninggalkan Dimas dan Brandon.
“Alah bokis, palingan juga lu bakal suka ntar. Ingat, benci akan menjadi cinta pada akhirnya. Dan juga dia lumayan cakep loh, kenapa ngak sekalian aja pacarin dulu.”, kata Dimas yang sekarang ini--bersama dengan Brandon--mengikutinya dari belakang sambil terus menggodanya.
“Kayaknya kurang keras lu gua pukul ya? Mau gua pukul lagi?”, kali ini, karena sudah terlalu emosi dan enek dengan tingkah mereka berdua, Andre melayangkan ipadnya dan hampir saja memukul duo cerewet tersebut dengan ipad.
“Secakep apa sih sebenarnya, jadi penasaran gua. Kalo si buaya ini sampai comel minta ampun berarti ada yang wow lah dari itu cewek.”, Brandon kemudian bertanya.
Alasan kenapa Dimas dijuluki buaya oleh Andre dan Brandon bukan lain karena kemampuan Dimas yang bisa menggaet cewek manapun yang disukainya dan bahkan pernah sekali, ketahuan menjalin 3 hubungan dalam waktu yang sama. Perbuatan tercela yang sangat hebat bukan?
“Lu liat aja sendiri ntar. Palingan si kunyuk satu ini yang sebenarnya suka, cuma strateginya dia aja bawa-bawa nama gua.”, balas Andre sembari menunjuk Dimas saat mereka bertiga akan menuruni tangga.
Saat tiba di dekat gerbang utama sekolah, karena perempuan tersebut belum datang sama sekali, dan dia tidak terlalu ingat dengan wajahnya, Andre memilih untuk duduk di salah satu kursi dekat gerbang yang biasa digunakan penjemput untuk menunggu sembari membuka sesuatu di ipadnya.
Sedangkan Dimas dan Brandon, keduanya terlihat duduk di salah satu kursi yang tidak terlalu jauh dari tempat Andre duduk dan mengawasinya sambil pura-pura mengobrol.
Teringat dengan Pak Budi yang mungkin saja sedang mencarinya saat ini. Andre mengirimkan pesan singkat, menyuruhnya untuk menunggu sebentar.
“Bertanggung jawab juga ternyata lo ya.”, setelah menunggu agak lama, Andre mendengar suara perempuan yang sangat familier di telinganya; sama persis dengan suara perempuan menyebalkan yang ditemuinya pagi ini.
Mungkin, karena saking jengkelnya dia dengan wanita itu, sampai-sampai suara yang baru saja di dengarnya tadi pagi sudah bisa melekat di pikirannya.
Di kejauhan, Andre melihat Dimas dan Brandon yang senyum-senyum saat mereka bertatapan, dan mengejeknya dengan membentuk hati. Dia hanya membalas kedua orang teman laknatnya itu dengan mengacungkan jari tengahnya secara sembunyi-sembunyi saat keadaan agak sedikit sepi.
“30 menit, ngapain aja lu lama amat?” balasnya setelah melihat jam di ipadnya yang sudah menunjukkan pukul 13.35 atau 35 menit lebih setelah bel pulang sekolah.
“Bukannya itu sudah bagian dari tanggung jawab lu ya?” kata perempuan tersebut.
Reaksi itu membuat Andre sedikit kesal, seandainya yang di depannya ini adalah laki-laki, mungkin saja mereka sudah berakhir dengan adu jotos.
“Ah sudahlah, dari pada buang waktu. Mending kita kelarin urusan kita sekarang, oke? Sekarang, lu mending ikut gue dan jangan banyak tanya kalo HP lu mau diganti.”, kata Andre sembari mengangkat lengannya dan bersikap seperti seorang pelayan di sebuah restoran ketika akan menunjukkan jalan ke meja yang sudah di pesan.
Dalam hatinya dia hanya ingin cepat mengakhiri masalahnya hari ini juga, sekilas ia melihat Dimas dan Brandon tersenyum sambil mengedipkan mata sebelah kanan dengan kompak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments