Sudah seminggu ini, Huma selalu mendengar suara indah milik Mas Huda saat melaksanakan salat malam.
Sebelum ada Mas Huda, Huma memang sudah terbiasa melaksanakan salat malam lebih awal dibanding santri lainnya. Suasana yang sepi sebelum para santri bangun, membuatnya lebih khusyuk bermunajat kepada Allah.
Biasanya, Huma datang ke masjid jam setengah dua pagi. Baru kemudian sekitar jam tiga ia kembali ke kamar untuk membangunkan para santri.
Malam-malam yang biasanya ia habiskan beribadah seorang diri, kini selalu ditemani oleh lantunan ayat Al-Qur'an Mas Huda yang bergema di masjid Ash-Shidiq. Begitu merdu didengar. Bagaikan suara dari langit. Diam-diam Huma mulai mengagumi Mas Huda.
"Selain baik, sopan, dan bertanggung jawab, Mas Huda ternyata seorang yang rajin beribadah ya. Bacaan Al-Qur'annya juga sangat fasih. Merdu sekali didengar," gumam Huma.
Entah kenapa, Huma selalu menantikan bacaan Al-Qur'an Mas Huda setiap malamnya. Tak jarang, ia ikut menangis saat Mas Huda melantunkan ayat-ayat yang berisi azab neraka atau peristiwa di hari kiamat.
Tentu saja itu ia lakukan secara diam-diam. Jangan sampai Mas Huda tau.
Namun, malam ini terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya. Suasana masjid terasa lengang.
"Tumben sekali, tak ada suara merdu Mas Huda," ucap Huma seorang diri.
"Mungkin Mas Huda nya belum datang kali ya."
Sampai adzan subuh berkumandang, belum juga ada tanda-tanda kedatangan Mas Huda di masjid. Huma sampai ketiduran di atas sajadahnya.
"Mbak Huma, bangun, Mbak, sudah mau adzan," ucap seorang santri putri, membangunkan Huma.
"Eugh..." lenguhan Huma, berusaha membuka mata.
"Kok aku tertidur di masjid ya," gumamnya.
Huma langsung bangkit menuju tempat wudhu agar tidak tertinggal salat jemaah.
"Allahu Akbar."
******
Hari ini Huma, Asma, Firly, dan Tiwi kebagian jatah piket membantu memasak di dapur pesantren.
Semua santri putri memang selalu bergilir piket memasak di dapur. Selain meringankan pekerjaan tukang masak, piket ini juga bertujuan untuk membekali santri dengan kemampuan memasak. Sehingga ketika sudah boyong untuk berumah tangga, mereka sudah tidak kagok dengan berbagai peralatan dapur.
"Mbak Huma tugasnya motongin sayuran ya. Mbak Firly motongin bumbu-bumbunya. Mbak Asma goreng bakwan. Kalau Mbak Tiwi bantuin Mbok nanak nasi dan masak air," ucap Mbok Asih, tukang masak pesantren.
"Siap, Mbok," ucap mereka berempet, hampir berbarengan.
Mereka pun mulai melaksanakan tugas masing-masing. Canda dan tawa seringkali terdengar dari mulut mereka. Sesekali lantunan sholawat juga mereka senandungkan bersama.
Allohumma sholli 'alaa sayyidina
Muhammadin thibbil quluubi wadhawa iha
Wa'aafiyati abdani wasy syifaa iha
Wa nuuril abshori wadhiyaa iha
Wa'alaa aalihi washohbihi wasallim
Tak hanya sholawat, lagu-lagu pop, barat, dangdut, sampai tarling pun mereka senandungkan. Layaknya konser di dalam dapur.
"Ku menangis ... hiks hiks ... membayangkan ... hiks ... betapa kejamnya dirimu ... atas diriku ... hiks hiks ...." Terdengar suara nyanyian Firly yang diiringi isak tangis karena matanya perih saat memotong bawang.
Suaranya begitu parau, sesekali punggung tangannya mengusap ingus yang keluar dari hidung. Sangat menghayati.
Huma dan kawan-kawannya hanya bisa cekikikan melihat polah Firly.
"Pantes kamu, Fir, kalau kamu jadi istri yang didzolimi suami, haha," ledek Tiwi.
"Trus si suami pergi ninggalin sang istri bersama selingkuhannya, haha" lanjut Huma.
"Enggak, Firly tuh pantesnya jadi pelakor yang didamprat habis-habisan samma istri asli terus ditinggalin sama si suami, wkwkwk," ucap Asma ikutan meledek.
Gelak tawa pun meledak diantara mereka. Mbok Asih juga ikut-ikutan tertawa mendengar candaan mereka.
Seolah rasa lelah sedikit berkurang jika pekerjaan dilakukan dengan suka cita dan gelak tawa.
Memasak untuk santri memang berbeda dengan memasak untuk keluarga di rumah. Bagaimana tidak, makanan yang dibuat harus cukup untuk memenuhi perut ratusan santri. Tentu sangat melelahkan.
Setelah tiga jam berkutat dengan berbagai peralatan dapur, akhirnya semua makanan pun sudah matang.
Menu makan siang santri kali ini adalah nasi putih, tumis kacang panjang, bakwan jagung, dan sambal terasi.
Jangan bayangkan menu makanan santri layaknya makanan di rumah makan atau restoran dengan lauk daging, ikan, atau ayam goreng.
Santri di pondok pesantren memang dididik untuk hidup prihatin dan menerima makanan apapun yang disajikan. Sehingga kelak mereka dapat hidup secara sederhana, tidak manja, & tidak senang menghambur-hamburkan uang.
"Alhamdulillah selesai juga," ucap Tiwi.
"Mbak Huma sama Mbak Asma anterin makanan ini ke tukang yang di masjid ya," ucap Mbok Asih seraya menyerahkan nasi dan lauk pauk diatas nampan.
"Kasian sudah jam makan siang, nanti mereka kelaparan," lanjutnya, "sama itu cerek isi teh panasnya juga dibawa."
"Siap, Bu Bos," ucap Asma seraya mengangkat tangan kanannya ke depan kening. Menunjukkan sikap hormat bak upacara bendera.
Huma hanya tertawa geli melihat kelakuan sahabatnya itu. Ia menerima nampan isi makanan dari Mbok Asih. Sementara Asma membawa bakul isi nasi dan cerek air.
Sesampainya di masjid, benar kata Mbok Asih, beberapa tukang sudah duduk mengistirahatkan diri sambil memakan camilan tadi pagi.
"Permisi, Mas-mas, Kang-kang, ini makanannya, silahkan dinikmati," ucap Asma seraya meletakkan makanan di depan para tukang.
"Iya, Mbak. Terima kasih ya," ucap salah satu tukang.
"Maaf ya, Mas. Makanannya sedikit telat," ucap Huma.
"Nggak papa, Mbak, ini juga baru mulai istirahat," jawab tukang itu lagi.
"Woy, sini makan!" teriak tukang itu kepada teman-temannya.
Tukang-tukang lain yang tadi belum datang pun segera merapat.
"Eh Mbak Huma, gimana keadaannya, Mbak? Lukanya masih sakit?" Anang yang baru datang langsung menyapa Huma.
"Alhamdulillah, Mas Anang, sudah agak mendingan," jawab Huma.
Pandangan Huma kini bergilir ke semua tukang yang sedang berkumpul. Keningnya berkerut, seperti sedang mencari sesuatu.
Anang yang menyadari ekspresi muka Huma langsung paham maksudnya.
"Cari Mas Huda ya, Mbak? Mas Hudanya kemarin ijin pulang, Mbak," ucap Anang. Tersenyum pada Huma.
"E-eh e-enggak kok, Mas." Huma jadi gugup dan salah tingkah mendengar pertanyaan Anang.
Anang tersenyum melihat Huma yang salah tingkah.
"Kirain nyariin, Mas Hudanya ada keperluan mendadak katanya. Paling nanti malem juga udah dateng lagi." Anang sengaja memberitahu Huma. Lucu juga melihat seorang gadis salah tingkah, pikirnya.
"Enggak nyariin kok," ucap Huma mengelak, namun ekspresi dan tingkahnya tidak bisa berbohong.
"Oh ya, Mbak, kenalin ini temen-temen saya. Ini Heru. Yang itu Tono. Yang paling ujung itu Joko," ucap Anang memperkenalkan teman-temannya yang kini duduk di sebelahnya.
Huma hanya tersenyum kepada semua teman-teman Anang tersebut.
Anang juga memperkenalkan Huma ke teman-temannya. "Ini Mbak Huma, dan yang sebelahnya itu Mbak ... ?"
"Asma," ucap Asma, memperkenalkan diri.
"Oh ini to yang namanya Mbak Huma, yang kata Bang Huda itu ... Awww!" ucap Heru yang langsung terpotong karena kini kakinya sudah diinjak oleh Anang. Ia berteriak kesakitan.
Anang membulatkan matanya, melotot ke arah Heru.
"Hehehe...." Heru meringis.
"Kenapa, Mas?" tanya Huma.
"Enggak kok, nggak papa, Mbak," jawab Anang.
"Ya udah ayo kita makan," Anang mengajak teman-temannya makan. Mengalihkan pembicaraan.
"Mari makan, Mbak," ucap tukang yang bernama Joko itu.
"Eh iya silahkan, Mas. Kami permisi dulu ya," ucap Asma.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum sayang, eh wa'alaikumussalam," ucap Joko. Mereka pun tertawa sambil menikmati makanan yang sudah disajikan.
Huma dan Asma hanya tersenyum kemudian pergi dari masjid tersebut.
"Ma, habis zuhur temenin ke mall yuk. Aku mau beli hadiah buat Arya. Besok dia ulang tahun," ucap Asma menyadarkan lamunan Huma.
"Eh, kenapa, As?" tanya Huma yang sedari tadi tidak begitu menyimak perkataan Asma.
"Habis zuhur temenin ke mall, aku mau beli hadiah ulang tahun buat Arya," ucap Asma, "kamu ngelamunin apa sih?"
"Nggak ngelamunin apa-apa kok. Arya mau ulang tahun? Kapan?" tanya Huma.
Arya merupakan adik laki-laki Asma yang masih duduk di bangku kelas enam SD. Arya juga tinggal di pesantren ini. Semenjak ibu mereka meninggal, mereka dimasukkan ke pesantren ini supaya menjadi anak sholeh sholehah. Sementara ayah mereka bekerja memenuhi kebutuhan hidup dan biaya pendidikan Asma dan Arya.
"Besok, Ma. Menurut kamu aku beliin dia apa ya?" tanya Asma.
"Emm, sekarang Arya lagi suka apa, As?" tanya Huma, berusaha membantu Asma memikirkan hadiah yang tepat buat Arya.
"Apa ya??" ucap Asma, "setauku si dia lagi suka banget sama Az-Zahir, itu loh grup hadroh yang dipimpin Habib Ali Zainal Abidin."
"Gimana kalau kamu beliin jasko hadroh atau sarung motif Az-Zahir ajan As, kalau ngga beliin jaket Az-Zahir aja. Pasti Arya suka," usul Huma.
"Boleh juga tuh," ucap Asma, "nanti temenin ya."
"Iya siap Asma yang cantik, apa si yang ngga buat kamu." Huma menarik lengan Asma. Kini mereka berjalan bergandengan.
******
Huma dan Asma sudah berada di mall. Tentu saja dengan seijin Ummi Maryam. Setiap santri memang diharuskan ijin ke pengurus atau pengasuh pesantren jika ingin keluar lingkungan pesantren.
Beberapa toko busana muslim sudah mereka kelilingi namun belum juga menemukan baju yang mereka cari.
"Capek, As. Kita udah muter-muter lantai satu sampai tiga tapi belum juga nemu," ucap Huma yang kini sedang kelelahan.
"Iya, Ma. Aku juga capek. Kita beli minuman aja dulu yuk," ajak Asma.
"Ayuk."
Mereka pun mencari kedai penjual minuman.
"Es tehnya dua ya, Mbak," ucap Asma memesan minuman.
"Yang rasa apa, Mbak?" tanya penjual itu.
"Original saja," jawab Huma.
"Eh, Ma, Ma, liat itu pemuda yang waktu itu ada di masjid pesantren, 'kan," Asma menunjuk ke arah seseorang yang sedang berjalan di lorong mall, "bukannya dia salah satu tukang bangunan di masjid ya?"
Huma menoleh ke arah seseorang yang ditunjuk Asma. Matanya melotot, kaget dengan pemandangan yang dilihatnya.
"Mesra banget ya, pasti dia sama pacarnya, kalau ngga pasti itu istrinya," ucap Asma.
Di lorong itu terlihat Mas Huda sedang berjalan bersama seorang gadis cantik yang mengenakan pakaian muslim. Lengan kekar Mas Huda berada diatas pundak gadis itu. Merangkulnya dengan mesra. Gadis itu pun terlihat membalas rangkulan Mas Huda dengan melingkarkan lengannya di balik punggung Mas Huda.
Sesekali tangan Mas Huda yang lain menoel hidung atau sekedar mengusap kepala gadis itu saat mereka bercanda.
Entah kenapa hati Huma terasa sakit melihat kemesraan Huda. Kini ia sedang menahan butiran air mati yang hendak menetes di ujung matanya.
"Mbak, ini es tehnya sudah jadi. Semuanya dua puluh ribu rupiah." Ucapan penjual es teh menyadarkan Huma dan Asma yang sedari tadi masih menatap Mas Huda.
"Eh iya, Mbak, ini uangnya." Asma menyerahkan dua lembar uang sepuluh ribuan ke penjual itu, lalu menerima dua gelas es teh yang dipesannya.
Asma hendak menyerahkan es teh ke Huma, namun ia melihat mata sahabatnya itu berkaca-kaca.
"Ma, kamu nangis?"
---------------------------------------------------------
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Qiza Khumaeroh
mungkin adiky huda ma
2022-04-16
0
Mia Ijaya
cembukorrrr
2022-03-16
0
Irfan 1
gemes ama mb humma
2022-01-31
3