Mana Mungkin Dia Jodohku

"Motornya kenapa, Mbak?" tanya pemuda itu. Pandangannya kini tertuju pada sepeda motor di sebelah Huma.

"Eh, e-enggak tau ini, Mas. Motornya ngga mau nyala," jawab Huma.

"Boleh saya bantu, Mbak?" pinta pemuda itu.

"Em, silahkan." Huma bergeser dari posisinya, mempersilahkan pemuda itu melihat sepeda motor miliknya. Pandangan matanya tertuju pada pemuda itu, namun pikirannya sekarang diliputi oleh rasa khawatir. Bagaimana tidak, jarum panjang arloji di tangannya sudah menunjuk tepat di angka lima. Tersisa waktu lima menit lagi dari jadwal waktu bimbingannya.

Entah, sekarang ia tak bisa membayangkan bagaimana kemarahan dosbingnya kala mengetahui bahwa Huma nanti akan datang terlambat. Mungkin ia harus pasrah memerima semua amarah dari dosbingnya. "Huft." Huma menghela napasnya panjang.

Terlihat pemuda itu berkali-kali mengengkol sepeda motor milik Huma. Beberapa peluh menetes dari kening pemuda itu, menambah kesan tampan di wajahnya.

Ada rasa tidak enak pada diri Huma, mengingat cuaca sedang sangat panas namun pemuda itu masih tetap berusaha keras mengengkol sepeda motornya.

"Brum... brum...." Terdengar bunyi sepeda motor milik Huma.

"Alhamdulillah," gumam pemuda itu. Ia mengusap keringat yang sudah menetes di wajahnya.

"Mbak, ini sepeda motornya sudah nyala. Sepertinya listrik akinya sudah hampir habis, mbaknya jarang menyalakan secara manual ya. Nanti coba ke bengkel saja. Barangkali ada masalah lagi," ucap pemuda itu.

Huma mengagguk paham. "Terimakasih banyak ya, Mas, sudah membantu saya. Tapi mohon maaf saya sedang sangat buru-buru, jadi saya langsung pergi ya."

"Oh ya, Mas namanya siapa? Insya Allah nanti saya akan balas kebaikan Mas," ucap Huma.

"Eh nggak usah, Mbak. Saya ikhlas kok bantu Mbaknya. Ngga usah dibalas," jawab pemuda itu.

"Beneran, Mas? Sekali lagi terimakasih banyak ya. Semoga Allah membalas kebaikan Mas," ucap Huma.

"Iya, Mbak. Sama-sama. Aamiin."

"Saya pamit dulu ya, Mas. Assalamu'alaikum," pamit Huma.

"Wa'alaikumussalam warohmatulloh."

Huma langsung memakai helm yang tadi diletakkan di sepeda motornya. Ia melirik arloji di tangannya. Pukul 13.40 WIB. Sudah lewat dari waktu janjian dengan dosennya. Langsung saja ia pergi secepat kilat dengan sepeda motornya.

Sementara pemuda itu masih berdiri di tempat yang sama, melihat gadis yang kini sudah menghilang dibalik gerbang pondok pesantren.

"Duh, kenapa tadi waktu dia tanya nama nggak aku jawab ya. Dan kenapa tadi nggak nanya namanya juga. Dasar bodoh!" Pemuda itu menepuk jidatnya. Merutuki kebodohannya.

******

Bruk!

Bruk!

Terlihat seorang gadis melempar sembarang ranselnya diatas ranjang. Sementara ia pun ikut-ikutan melemparkan tubuhnya diatas ranjang itu. Menciptakan suara gaduh ke sekitarnya.

"Itu muka kenapa ditekuk, kucel gitu, kaya baju belum disetrika." Asma yang melihat sahabatnya itu datang dengan wajah cemberut langsung mendekatinya.

Ya. Gadis yang terlihat kesal, merebahkan dirinya di atas ranjang kamar itu adalah Huma. Ia datang tanpa mengucap salam atau sepatah katapun dan langsung menuju ranjang miliknya.

"Mbak Huma kenapa, Mbak?" tanya Lala. Teman sekamar Huma yang kini ikut-ikutan mendekai Huma.

"Huft." Huma menghela nafasnya panjang. Masih tetap dalam posisi tidurnya. Ia melirik sahabatnya, Asma. "Habis kena semprot dosen."

"Kok bisa?" tanya Asma penasaran.

"Tadi waktu mau berangkat, nggak tau kenapa motor nggak mau nyala. Jadi telat janjian sama dosen." Huma menutup matanya. Tangannya berusaha memijat pelipisnya yang sedikit sakit karena kesialan hari ini datang bertubi-tubi kepadanya.

"Trus Mbak tadi berangkatnya naik apa?" tanya Lala.

"Untung tadi ada pemuda baik yang mau bantuin aku nyalain motor. Kalau ngga pasti bakal telat banget. Yah walaupun masih tetap telat." Huma bersyukur mengingat kejadian tadi. Setidaknya Allah tetap berbaik hati padanya.

"Eciyeeee... siapa tuh. Ditolongin sama pangeran nih ye," ledek Asma. Mencoba menggoda sahabatnya yang masih terlihat kesal tersebut.

"Dih apaan sih, orang ngga tau dia siapa. Baru aja ketemu dua kali. Pangeran! Pangeran!" Huma pun duduk melotot pada Asma yang mulai menggodanya itu.

"Ganteng ngga Mbak orangnya? Putih? Tinggi? Jangan-jangan dia jodoh Mbak," ucap Lala. Kini ia ikut-ikutan Asma menggoda Huma.

"Ngapain si, La. Kok kamu jadi ikut-ikutan ngledek." Huma mencubit tangan Lala. Yang dicubit meringis kesakitan.

"Aaww... ampun, Mbak," ucap Lala kesakitan.

"Hahaha, bener tuh kata Lala, jangan-jangan dia jodoh kamu tuh." lanjut Asma, tetap meledek Huka.

"Apaan si kalian," bela Huma. Kini ia jadi membayangkan pemuda itu. Mana mungkin pemuda itu jodohnya. Kenal aaja tidak. Bertemu pun baru dua kali, waktu pemuda itu ia tabrak dan waktu di tempat parkiran. Ia tersenyum kecut.

"Tuh mulut ngapain senyum-senyum. Pasti bener nih kata Lala. Dia pasti ganteng. Sekarang kamu lagi mikiri dia, 'kan? Hahaha...." Tawa Asma meledak melihat ekspresi muka Huma, antara kesal namun wajahnya sedikit tersenyum.

Lala ikut tertawa. "Ciyeeee Mbak Huma."

"Apaaan si!" Ia mencubit pinggang Asma dan Lala.

"Aaaaww" ucap Lala dan Asma.

Kini Huma beranjak pergi meninggalkan mereka yang sedang kesakitan namun tetap saja memertawai Huma.

"Puas ketawanya. Seneng banget ngeledek orang lagi kesel," ucap Huma.

"Iya iya maaf deh," ucap Asma.

"Maaf ya, Mba. Hehehe." Lala ikutan minta maaf.

"Yaudah ayo siap-siap. Kita mau ngaji Al-Hikam, 'kan? Nanti keburu Gus Kaffa datang," ajak Huma, menyudahi gelak tawa kedua kawannya itu.

Mereka bertiga pun bersiap-siap untuk pergi mengaji karena jam dinding hampir menunjukkan pukul 16.00 WIB.

Setiap sore, semua santri Pondok Pesantren Ash-Shidiq memang diharuskan untuk mengikuti madrasah sesuai dengan kelasnya. Mulai dari awwaliyah, wustho, sampai ulya. Butuh waktu enam tahun untuk menyelesaikan madrasah pondok pesantren. Dan mereka bertiga sudah mendapatkan ijazah madrasah tahun lalu.

Sebenarnya, Lala berusia dua tahun lebih muda dibandingkan Huma dan Asma. Namun karena mereka bertiga masuk pesantren di tahun yang sama, mereka pun mendapat ijazah madrasah di waktu yang sama pula.

Kini setiap sore, mereka mendapatkan kajian kitab tambahan Al-Hikam bersama Ustadz Kaffa, putra Abah Kyai. Dan pada hari-hari tertentu, Huma diberikan amanah untuk mengajar kitab Aqidatul Awwam dan Khulasoh Nurul Yaqin di kelas awwaliyah.

Sebelum pergi mengaji, Huma menyempatkan diri pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan berwudhu. Ingin sekali rasanya ia mandi terlebih dahulu melihat tubuhnya yang kini sudah lengket karena terkena keringat. Namun karena waktu yang tersisa tadak mungkin cukup baginya untuk mandi, ia mengurungkan niatnya.

Letak ruang madrasah memang tidak terlalu jauh dari asrama putri. Bangunan madrasah terletak di tengah-tengah pesantren, diapit oleh gedung asrama putra dan putri yang tentu saja di pisah dengan tembok berpintu besi. Bangunan madrasah menghadap ke sebelah utara. Di depannya berdiri dengan megah Masjid Ash-Shidiq yang kini tengah di renovasi.

Huma, Lala, dan Asma berjalan bersama-sama menuju tempat madrasah. Sesekali para santri menyapa mereka. Mengingat posisi Huma yang kini seorang Lurah Pondok, tentu kehadirannya disegani dan dihormati oleh santri-santri putri. Apalagi ia juga seorang ustadzah yang mengajar santri-santri baru. Namun dibalik ketegasan dan kewibawaanya, Huma merupakan seorang lurah yang ramah dan senang bercanda dengan santri-santri lain.

"Eh, Mbak, Mbak, liat itu siapa ya," ucap Lala. Jarinya menunjuk ke arah pemuda yang sedang duduk sendiri di teras masjid. Pemuda berbaju koko putih, bersarung, lengkap dengan pecinya itu terlihat sedang membuka-buka kitab yang ada di rak buku teras masjid.

"Kok jarang liat ya, kayaknya bukan santri sini deh. Apa dia ustadz?" ucap Asma.

"Ya Allah, ganteng banget ya, Mbak. Wajahnya itu loh, sholeh banget, adem kayak ubin masjid," ucap Lala. Pandangannya terus saja melihat pemuda itu. Matanya kini berbinar-binar.

"Mata itu mata dijaga. Awas nanti jadi zina mata loh," ucap Asma.

Huma pun yang sedari tadi cuek dengan ucapan kedua sahabatnya, kini menoleh ke arah pemuda yang mereka maksud.

Deg!

Bukannya dia pemuda yang tadi itu. Huma begitu heran kenapa hari ini ia tiga kali bertemu dengannya. Siapa pemuda itu? Dan penampilannya pun kini berbeda sekali dengan yang tadi siang.

---------------------------------------------------------

Terpopuler

Comments

Bowiii

Bowiii

cocok buat orang yang lagi kasmaran nih ceritanya menarik ❤️❤️❤️

2024-05-20

0

Toko Cantiq

Toko Cantiq

suka bgt..emak Ka Thor....cerita nya.. kerennnn 👏👏

2022-09-26

0

Qiza Khumaeroh

Qiza Khumaeroh

nyimak dlu

2022-04-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!