Penampilan pemuda itu kini berbeda sekali dengan yang tadi siang. Berubah 180 derajat. Siang tadi ia sama sekali tak mencerminkan seorang santri. Tapi lihatlah kini. Baju koko putih, sarung coklat, serta peci hitam di atas kepalanya sungguh menambah aura sholeh pada pemuda itu. Semakin tampan.
"Ahh, benar juga. Jangan menilai seseorang hanya dari penampilannya," gumam Huma. Ia jadi menyesal sudah menilai yang tidak-tidak pada pemuda itu.
"Kamu bilang apa, Ma?" tanya Asma.
"Eh enggak. Udah ah ayo masuk kelas, keburu Gus Kaffa nanti datang loh." Huma menarik lengan kedua sahabatnya itu.
Sebelum masuk kelas, Huma sempat melirik ke arah pemuda yang ada di teras masjid tadi. Namun kini teras masjid tersebut sudah kosong.
Mereka bertiga pun masuk ruangan madrasah. Siap untuk mengaji kitab Al-Hikam bersama Gus Kaffa.
******
"Assalamu'alaikum, Mbak Huma. Mbak Huma dipanggil Abah Kyai. Katanya Abah Kyai pengin bicara sama Mbak." Seorang santri datang menyampaikan amanah dari abah kyai kepada Huma.
Huma yang sedang duduk meluruskan kakinya di atas lantai segera bangkit dan bersiap menuju ndalem abah kyai. Meskipun kakinya masih terasa pegal setelah ro'an, tidak membuat Huma kesal atau malas melaksanakan perintah abah kyai. Sudah tugasnya.
Setiap Ahad pagi, memang sudah jadwalnya seluruh santri melaksanakan ro'an atau piket kubro membersihkan area pondok pesantren. Ada yang menyapu, mengepel, membersihkan halaman, mengelap kaca, menguras kamar mandi, dan sebagainya. Seluruh santri mendapatkan tugas piket masing-masing, begitu pun Huma.
"Abah Kyai nya dimana, Zah?" tanya Huma kepada Zahra, santri yang diutus Abah Kyai tadi.
"Di ndalem, Mbak. Tadi Abah Kyai sedang duduk di ruang tamu." Zahra merupakan santri ndalem yang bertugas bantu-bantu di kediaman Abah Kyai, sehingga tak jarang ia pun sering diutus oleh abah kyai memanggil para santri.
Dengan segera, Huma menuju ke ndalem Abah Kyai.
Sesampainya di teras ndalem, Huma mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu karena disana terlihat abah kyai sedang mengobrol dengan seseorang. "Pemuda itu lagi," gumamnya.
Terpaksa, Huma pun duduk terlebih dahulu diatas lantai teras ndalem, menunggu urusan Abah Kyai selesai dengan tamunya itu. Terdengar suara obrolan Abah Kyai dan pemuda itu dari dalam ruang tamu.
Pemuda itu sedang menjelaskan rencana pembangunan menara masjid Ash-Shidiq seraya menunjukkan kertas bergambar desain menara kepada abah kyai. Setiap bagian dijelaskan oleh pemuda itu, mulai dari warna, ukiran, serta kemungkinan jangka waktu pengerjaan.
"Oh, dia tukang bangunan," gumam Huma.
Abah Kyai memang pernah berkata akan mendatangkan tukang bangunan untuk memasang menara dari luar kota. Mereka akan menginap di asrama putra pondok pesantren selama beberapa minggu sampai pembangunan menara selesai. Mungkin dia salah satunya, pikir Huma.
Setelah urusannya dirasa cukup, pemuda itu pun pamit. Huma memperhatikan tingkah pemuda itu lewat pintu ruang tamu. Untuk ukuran seorang tukang bangunan, pemuda itu mempunyai akhlak dan tata krama yang sangat santun kepada Abah Kyai.
Bukannya meremehkan atau merendahkan profesi tukang bangunan. Namun selama ini, banyak tukang bangunan yang kurang memiliki sopan santun saat berinteraksi dengan abah kyai. Karena 'mungkin' yang mereka utamakan ya cuma bisnis.
Tidak dengan pemuda itu. Cara berbicara dan tingkah lakunya saat menghadap abah kyai seperti layaknya akhlak seorang santri menghadap gurunya.
"Akhlak yang bagus," gumam Huma.
Pemuda itu mencium tangan Abah Kyai dan keluar dari ruang ndalem melewati Huma yang masih terdiam di teras.
"Permisi, Mba," ucap pemuda itu, tersenyum pada Huma.
"Eh i-iya, si-silahkan, Mas," balas Huma. Huma sedikit kaget dan gugup saat disapa pemuda tadi. Takut kalau pemuda itu tau bahwa sedari tadi sedang ia perhatikan.
Pemuda itu tersenyum lagi lalu pergi meninggalkan area ndalem.
Huma menetralisir detak jantungnya, lantas mengetuk pintu ndalem, mengucapkan salam kepada abah kyai. Setelah dipersilahkan, Huma masuk ke dalam ruang tamu.
"Nanti sore insya Allah pondok pesantren kita akan kedatangan tamu dari pihak Kementrian Agama. Mau sidak katanya. Jadi nanti asramanya dibersihkan ya, Mba. Ruang-ruang juga disiapkan yang rapi. Minta para santri untuk bersih-bersih lingkungan pondok," titah abah kyai.
"Nggih, Abah, nanti saya sampaikan ke seluruh santri," jawab Huma patuh.
"Oya, ngaji Tafsir Jalalainnya libur saja dulu ya, Abah juga ada keperluan mendadak," tambah Abah Kyai, "yang belum ro'an suruh ro'an dulu, ruang madrasah dan masjid juga dirapikan ya."
"Nggih, Abah," jawab Huma.
"Sama minta tolong, itu rak kitab dan Al-Quran yang di masjid ditata ulang ya, Mba. Kamu temenin santri-santri buat beresin. Arahin mereka, biasanya kalau kamu yang ngatur kan jadi bagus dan rapi," puji abah kyai.
"Nggih, Abah, nanti saya ajak santri-santri putri buat menata rak di masjid," ucap Huma.
Setelah urusannya selesai, Huma pun pamit. Ia segera menuju ke asrama putri untuk menyampaikan amanah abah kyai kepada para santri.
******
Sinar matahari pagi sudah semakin meninggi, hampir berada diatas kepala. Seluruh santri yang tadi sedang mengistirahatkan diri, kini kembali sibuk melaksanakan ro'an. Ada yang mengeluh, berdecak kesal, namun tak sedikit pula yang melaksanakannya dengan senang hati. Karena patuh dan ta'dhim kepada abah kyai memang sudah menjadi kewajiban seorang santri, pikir mereka.
Huma mengajak Sabil, Tuti, dan Lala untuk merapikan rak kitab di masjid. Sesuai perintah abah kyai, Huma lah yang mengatur penataan ulang kitab-kitab dan Al-Qur'an di masjid.
"Mbak Huma, ini kitab-kitab yang sudah sobek mau diapakan, Mbak? Ini juga banyak sobekan ayat-ayat Al-Qur'an," tanya Tuti.
"Dikumpulkan saja dulu jadi satu, Tut. Nanti dipilah yang masih bisa dibenerin sama yang engga," tutur Huma.
"Banyak yang sudah rusak, Mba. Ngga mungkin bisa dibenerin," jawab Sabil.
"Yaudah dikumpulin aja dulu, biar nanti dibakar," balas Huma.
"Kok dibakar, Mba?" tanya Sabil heran.
"Niatnya jangan mau bakar Al-Qur'an, tapi buat menyelamatkan ayat-ayat Allah. Daripada nanti tercecer, keinjek-injek, atau kena kotoran malah berdosa," jawab Huma menjelaskan.
Memang, salah satu cara menyelamatkan ayat-ayat Al-Qur'an yaitu dengan cara dibakar. Bisa juga dengan cara mengalirkan air sampai tulisannya luntur dari kertas.
"Ohh gitu ya, Mba." Sabil mengangguk, paham dengan penjelasan yang disampaikan Huma.
Dua jam berlalu, kini rak kitab dan Al-Qur'an sudah tertata rapi. Tuti dan Sabil sudah tak kuasa menahan rasa lelah. Mereka langsung saja merebahkan diri diatas lantai masjid.
"Dih... Sabil... Tuti... !! Kalian mbok kalau tiduran liat sekitar dulu, liat noh debu dan kertas-kertas berserakan diantara kalian. Minggir dulu gih, biar mbak sapu dulu." Lulu menyedekapkan kedua tangannya di depan dada, melihat kelakuan Sabil dan Tuti.
Bagaimana tidak, lantai masih kotor banyak debu, namun Sabil dan Tuti malah tiduran diatasnya.
"Hehe iya, Mba," ucap Tuti, meringis. Ia pun bangkit dan berpindah ke sisi lain masjid yang lebih bersih. Kembali merebahkan diri. Demikian pula dengan Sabil, mengikuti Tuti di sebelahnya.
"Ck...." Lulu berdecak melihat polah kedua anak itu.
"Udah biarin, Lu. Mungkin mereka kecapekan daritadi kan banyak banget yang perlu diberesin." Huma tersenyum kepada Lulu. "Kamu yang nyapu ya, Lu. Nanti biar mbak yang bakar sobekan Al-Qur'an ini," lanjut Huma.
"Hufh." Lulu menghela nafas. "Iya deh, Mbak." Ia mengambil sapu di pojokan masjid, dan segera membersihkan lantai masjid itu.
Sementara itu, Huma mengambil tumpukan kertas sobekan ayat-ayat Al-Quran yang sudah dikumpulkan dalam kardus. Ia hendak membawanya ke halaman belakang masjid. Tempat itu mungkin cocok untuk membakar sobekan Al-Qur'an, pikir Huma.
Dengan hati-hati, Huma membakar tiap sobekan Al-Qur'an tersebut. Tak lupa ia berdo'a dan memohon ampun kepada Allah, berharap langkah yang diambilnya ini tepat. Untuk menyelamatkan ayat-ayat Al-Qur'an.
Semua kertas sudah habis dibakar. Huma kembali ke masjid menemui ketiga temannya tersebut.
Namun saat sampai di depan teras samping masjid, ia dikejutkan oleh suara seseorang yang tiba-tiba berteriak kepadanya.
"Mbak!! Awas, Mbak!! Awas, diatas!!" teriak orang itu kepadanya.
Huma menoleh, mencari sumber suara tersebut. Dari atas lantai tiga masjid Ash-Shidiq. Lebih tepatnya lagi, tepat diatas dirinya berdiri. Ia menoleh ke atas.
Tampak seorang tukang sedang panik menatap dirinya. Tak berhenti-berhenti tukang tersebut mengayunkan tangannya, memberikan kode supaya Huma segera menyingkir dari tempatnya berdiri.
Jelas saja, diatas kepala Huma sedang meluncur bongkahan kayu yang dalam sekian detik sudah siap menghantam kepala Huma.
Wush!
Kayu tersebut semakin dekat. Menyisakan jarak beberapa meter diatas kepala Huma. Kini kakinya seakan terpaku diatas lantai. Ingin menyingkir, namun tak mungkin ada waktu untuk menghindar.
Huma pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya. Ia memejamkan mata.
Dan...
Brukk!!
---------------------------------------------------------
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Qiza Khumaeroh
dislametin sma huda
2022-04-15
0