Yami akhirnya tervonis meninggal, ketika mereka semua sampai ke Rumah sakit, tapi bagaimanapun, mereka berusaha untuk tidak menangis.
Dan 1 orang tidak menangis, Shina. Dia bukannya tidak sedih, hanya kehilangan pikirannya.
Ketika pertama kali dia diberi tahu bahwa Yami meninggal, ekspresinya berubah kosong, bahkan di hatinya pun kosong. Hanya ada kalimat “Ini semua salahku.” Dalam hatinya. Dia benar benar tidak berbicara apapun, bahkan di pemakaman Yami. Dia hanya mematung, ikut kesana kemari mengikuti kakaknya, Shino.
“Kamu makanlah dulu,” Shino yang khawatir pada adikknya yang sedari tadi diam sejak dari pemakaman mencoba mengambil sepiring makanan untuknya. Sedangkan Shina hanya diam, tetap meringkuk di dalam selimutnya sambil berekspresi kosong.
“Baiklah. Aku akan keluar. Makanannya, kutaruh sini saja ya!” Shino yang mengerti keadaan Shina kemudian beringsut pergi, menaruh makanan di meja makan samping Shina.
Shino bukannya tidak sedih. Dia sangat sedih, dia ingin menangis. Temannya, yang paling dekat dengannya. Harus pergi. Dan itu di acara yang disarankan olehnya? Dan Shino tidak boleh menyalahkan dirinya sendiri?
“Itu, itu tidak bisa diterima!” dia meninju tembok sambil menutupi wajahnya. Dia terduduk di dekat pintu, bersandar di tembok. Berat rasanya untuk mengatakan hal hal tegar di depan orang lain, sementara hatinya sendiri hancur.
Shino adalah orang yang paling mngerti Yami. Bahkan melebihi apa yang disebut teman. Dia juga memiliki otak yang cerdas, mampu memahami semua situasi, dia memiliki kemampuan komunikasi yang baik, dan kemampuan pemahaman karakter yang tinggi. Dia bisa dibilang berbakat untuk psikolog di usia muda.
“Kau sering mengatakan bahwa kau menyesa mencari teman, bukan?” Shino menggumam perlahan.
“Kalau begitu, aku hanya perlu membencimu, dan semua kenangan itu akan hilang,” kini Shino tertawa enteng, bagai melupakan masalahnya. Tapi yang ada hanya tawa mengerikan yang terdengar frustasi.
“Aku, sangat membencimu, kah? Mana mungkin akubisa melakukan itu, kan? Aku sudah bersamanya sejak SMP, dan aku sudah mengenal karakternya. Aku menyukainya apapun kekurangannya. Aku sering bermimpi untuk kami bertiga untuk bercanda bersama, tertawa bersama,” Shino menarik nafas panjang.
“Bahkan aku juga memikirkan, ketika kami tua, dan akhirnya mencari pekerjaan yang sama, tetap berhubungan dan ber reuni satu sama lain. Aku bahkan memimpikan Yami dan Shina menikah, dan aku menjadi kakak iparnya. Karena aku tahu, Shina menyukainya,”
“Dan kini, aku harus membencinya? Begitu? Hanya untuk melarikan diri dari perasaan bersalah ini? Aku,” Shino kini meringkuk, menekan wajahnya kebawah, menutupinya dengan lengan, mulai menangis.
“Aku tidak akan bisa melakukan itu, tidak akan pernah!” Shinoa berbisik pelan, menangis. Kemudian ibunya datang, memeluknya, menenangkannya.
Ini adalah kenyataan. Ini bukanlah novel, manga atau kartun. Ketika kamu meninggal, tdak mungkin orang orang yang ada di sekitar dilupakan, seperti tidak ada sesuatu apapun. Mereka yang ditinggalkan memiliki beban tersendiri, bahkan jika itu orang orang yang tidak dikenal seperti Yami.
***
“Shina! Ayo kita berangkat!” Shino memanggil Shina yang masih mengurung diri di kamarnya untuk segera berangkat sekolah. Tidak ada jawaban, Shino sedikit bingung, tapi dia sedikitnya mengerti ada apa denganya.
“Aku masuk ya!” Shino perlahan membuka pintu kamar Shina mengintip sedikit demi sedikit. Di dalam, dia melihat setumpuk selimut yang menggunung di atas tempat tidur. Dia yakin itu Shina.
“Shina! Kita berangkat sekolah! Ayo kamu siap siap dulu!” Shino berusaha tegar. Melihat adikknya seperti itu, kakak mana yang tidak terkoyak hatinya? Shino perlahan duduk di kasur Shina menggoyangkan tubuhnya perlahan.
“Shina, apa kamu tidur? Bangun! Ini sudah pagi! Kita harus berangkat sekolah!” Shino mengatakan itu dengan semangat, berusaha menghibur Shina. Dia menarik selimut yang menutupi tubuhnya seketika, ketika akhirnya Shina terlihat. Wajahnya tidak berubah sedikitpun dari yang kemarin, kecuali ada tambahan kehitaman di bawah pelupuk matanya.
Matanya juga sembab, karena dia menangis semalaman. Padahal jika pagi, Shina bisa menahan dirinya untuk tidak menangis. Tapi ketika malam, dia memimpikan kenangan kenangan yang dia ambil bersama Yami, membuatnya terbangun.
Dia selalu ingat, betapa dia mencintainya, betapa dia ingin terus bersamanya. Dan ketika dia tertidur, semua ingatan itu masuk ke dalam pikirannya, membuatnya terus terjaga hingga pagi. Dia tidak tidur semalaman.
“Ayo berangkat! Disana, kita bisa bertemu Ibu Kaila!” kata Shinoa masih menarik narik tubuh Shina.
“Aku tidak mau,” Shina berkata datar, tanpa emosi sedikitpun. Suaranya menjadi seperti robot, karena sejatinya dia sudah kehilangan sebagian besar emosinya, kecuali rasa sedih yang terus bersarang di tubuhnya.
Shino mengerutkan jidatnya, mengepalkan tangannya. Kesal. Dia kesal mengapa tidak bisa berbuat apapun saat ini. Dia menoleh ke meja, dilihatnya makanan yang kemarin dia bawa, tidak berubah kedudukannya sedikitpun.
“Kamu tidak makan?”
“Aku tidak lapar,” Shina menjawab dengan mudah, lagi. Shino menduga, kini Shina tidak ingin melakukan apapun. Ekstrim memang, tapi secara psikological, ini adalah gejala utama depresi. Dan dia yakin adiknya dalam masa itu.
“Baiklah. Setelah aku pulang nanti, kamu harus makan! Apapun yang terjadi, aku akan memasukkan makanan ke dalam mulutmu!” Shino sedikit bercanda sambil tersenyum, tapi dengan cepat senyum itu menghilang. Dia pergi keluar, menutup pintu.
“Yami,” Shina merintih pelan kembali memeluk dirinya sendiri.
***
“Kudengar Yami Ayama meninggal lho!” berita dengan cepat menyebar di pagi hari itu. Shino hanya terdiam, menundukkan kepalannya sambil mendengarkan baik baik yang dibicarakan orang lain.
“Yahh, dia orangnya suram seperti itu! Bukankah itu bagus untuknya?” seorang berandal di kelas mengatakannya.
“Bukankah itu terlalu kejam, Renga?”
“Tidak ini buk…” beranda bernama Renga itu terdorong ke tembok, bersamaan dengan Shino yang mencengkeram bajunya sekuat mungkin. Wajahnya terlihat tidak stabil, karena amarahnya memuncak. Dia bereaksi karena kata kata Renga yang tidak memiliki adab, dan secara terang terangan tidak memperdulikan Yami.
“A-apa?!” Renga setidaknya merasa gentar dengan ini.
“Kau coba mengatakanya lagi, aku tidak akan segan padamu,” Shino dalam emosi yang memuncak, masih mengintmidas Renga. Murid murid lain yang penasaran juga berkumpul di sekitar, hanya menonton.
“Apa aku salah? Dia sudah terlalu suram untuk hidup, buk…” kalimatnya terhenti oleh sesuatu yang membuat pipinya terbang menjauh. Shino sudah tidak sabar untuk segera memukul wajah Renga tanpa ampun.
“Aku sudah meperingatkanmu!” Shino tidak memberkan sedikitpun belas kasihan pada Renga. Sebaliknya, Renga tidak mendapat kesempatan menyentuh Shino karena posisi yang tidak menguntungkan.
“Hei hei! Hentikan perkelahian ini! Renga! Kamu ke ruang BK! Dan Shino. Hufft, aku tak tahu kenapa kau lakukan ini, tapi kemungkinna ada penyebabnya. Cari Ibu Kaila dan bicarakan masalh ini dengannya! Jika kalian bertemu lagi, saya ingin kalian menjelaskan yang sejuur jujurnya!” jelas pak satpam, yang sepertnya sudah mengenal Shino. Shino hanya diam, mengangguk. Sebenarnya, dalam hatinya tdak menyesali perbuatannya seidikitpun
“Aduuh, apa yang kamu lakukan, Shino?!” Kaila bertanya dengan nada datar. Dia sepertinya juga kurang bersemangat hari ini. Wajahnya tampak lelah dan suram.
“Dia mengatakan hal buruk tentang Yami, dan aku tidak bisa membiarkannya!” Shino dengan cepat langsung menuju ke sumber masalah.
“Aku sudah memperingatkannya dengan kalimat, tapi dia justru semakin menjadi jadi. Jadi, aku tidak tahan lagi untuk tidak memukulnya,” jelas Shino singkat, padat dan jelas. Kaila terdiam kembali mengingat Yami. Salah satu murid terbaiknya, yang sering ia ak bercanda dengan Shino juga. Walau keribadiannya sedikit melenceng, tapi dia orang yang baik. Kaila sedikit tersnyum.
“Ahh, kalau itu. Aku tidak bisa menyangkal kata kata itu,” Kaila terdiam menunduk sedih.
“Hei Shino! Bagaimana jika aku mengunjungi Shina nanti? Dia tidak masuk, kan hari ini?” tanya Ibu Kaila sambil menunjukkan wajah yang penuh dengan rasa keibuan yang kuat.
“Baiklah! Saya akan mnghubunginya nanti untuk Ibu,” Shino mengangguk dengan senang.
Dia berpikir, mungkin berbicara dengan Kaila bisa meringankan beban Shina sekarang. Mungkin ini percakapan yang Shino tidak bisa masuk ke dalamnya.
***
“Ibu Kaila!” Shino berteriak kepada Kaila yang sedang menunggu di dekat gerbang dengan kunci mobi di tangannya.
“Sepertinya, ibu tidak perlu datang hari ini? Aku sudah menghubungi Shina dan dia tidak menjawab, bahkan tidak menyentuh HP nya sama sekali. Jadi, maafkan saya!” Shino dengan cepat menunduk meminta maaf.
“Tidak apa! Justru di saat seperti ini aku dibuthkan!” Kaila berkata dengan semangat.
“Jadi, bagaimana kondisi dia?” Kaila memulai percakapan di dalam mobil.
“Dia sama sekali tidak mau makan. Bahkan semalam dia tidak tidur,” jelas Shino. Kaila mengangguk.
“Separah itukah?”
“Ya. Dia sepertinya meyalahkan dirinya sendiri atas kematian Yami. Karena itu, sekarang dia sepertinya sedang depresi. Bahkan aku sebagai kakaknya tidak tahu, apa yang harus kulakukan,” Shino kembali mengenang dengan ekspresi suram.
“Dengan kata lain, dia hanya mendengarkan kata kata Yami, kah?” kalimat Kaila menutup percakapan itu dengan cukup canggung.
Mereka berdua segera sampai ke rumah Shino yang kosong ditinggal pemiliknya bekerja.
“Silahkan masuk, bu!” segera, Shino membukakan pintu. Dia mengambil minum, beberapa hal yang seharusnya disuguhkan ke tamu.
“Tidak usah. Mari kita langsung ke kamar Shina!” Kaila yang khawatir akan Shina ingin segera bertemu dengannya.
“Baiklah. Kalu begitu, mari.” Shino segera membimbing Kaila untuk masuk. Di dalam, masih terdapat Shina yang terus meringkuk di selimutnya, tidak menangs, tidak bergeak, ataupun berekspresi apapun. Hatinya seperti tersegel.
“Shina! Ibu Kaila datang lo! Kau setidaknya beri salam!” kata Shino menyalakan lampu.
“Bu Kaila?” Shina merespons pelan. Kaila menarik nafas panjang.
“Hei, Shina! Apa yang kau lakukan disini? Apa kau merasa bahwa ini semua salahmu?” teriak Kaila. Dia berniat memprovokasi Shina. Tapi yang dia lakukan hanya diam.
Sementara itu, Shino mengambil ponsel Shina. Dia mengecek beberapa pesan, termasuk pesan darinya yang tidak dibaca. Sebenarnya, tidak ada pesan yang dibaca karena Shina sama sekali tidak membuka ponselnya.
Sampai akhirnya, dia menemukan sesuatu.
Matanya membesar, berkilat kilat penuh air mata. Dia memastikannya kembali, dan itu memang benar. Rasa haru menyelimuti dirinya seketika.
Tapi, kata kata Kaila memecah itu semua.
“Baiklah! Baiklah kalau itu yang kau mau! Semua orang terus mengatakan bahwa itu bukan salahmu, kan?” bibir Kaila bergetar.
Kaila berencana untuk membuat hati Shina yang berisi Yami hancur, dan membangunnya dengan yang baru. Walau keras, rencana itu pasti berhasil.
“Baiklah aku akan mengatakannya. Itu salahmu! Itu semua salahmu! Bagaimana? Apa kau puas?” Shina mengernyit, mulai bereaksi atas itu.
“Kau benar…” dari matanya mulai mengalir air mata. Ekspresinya juga mulai muncul.
“Kau benar!” dia kembali setengah berteriak. Air mata semakin deras mengalir di matanya.
“Kau benar, Ibu Kaila! Aku aku! Apa yang harus aku lakukan?!” Shina kmudian berkata maju, lalu menangis keras. Dia memeluk Kaila erat erat.
“Yami juga pasti tidak mau kamu terus seperti ini, Shina! Dia pasti ingin melihatmu bahagia. Walau kita tidak bisa mengetahui, apa yang Yami inginkan. Tapi jika melihat dia sampai mengorbankan nyawa untukmu, maka aku yakin, dia ingin kamu bahagia,” Kaila mengelus lembut rambut Shina yang ada di pelukannya.
“Maaf mengganggu momen mengharukan ini. Tapi, apa ada yang mau bertanya langsung pada Yami?” Shino mengangkat ponsel Shina.
“Eh?”
“Apa maksumu, Shino?” Shina melirik tajam ke arah Shino.
“Tangkap!” Shino melempar ponsel Shina, membeikan padanya. Seketika, mata Shina membesar melihat sesuatu di sana.
“Ini bukan trik milikmu, bukan?”
“Tentu saja! Lihat saja hari dan waktunya, itu tepat. Bagaimana?” Shino bertanya menantang.
Sebenarnya, yang ada di dalam sana adalah pesan suara dari Yami, yang dikirim olehnya kemarin ketika dia brada di atas atap, sebelum dihajar habis habisan oleh criminal kelas kakap di sana. Dia sempat merekam sesuatu, dan itu adalah rekaman yang dia siapkan untuk saat saat seperti ini.
“Buka saja!” Shino sebenarnya sudah tidak sabar untuk mengetahui isi pesan suara itu. Shina mengangguk pelan, membuka pesan suara itu.
“Yo halo! Ini aku! Ini kemungkinan pesan terakhirku. Kalau tidak, mari kita tertawakan pesan ini bersama sama lagi,”
“Ini!” Shina menghentikan sesaat.
“Ini suara Yami! Ini asli rekaman darinya!” Shina berteriak kegirangan.
“Ah baiklah. Aku tidak punya banyak waktu. Aku tidak ingin meninggalkan banyak kata, karena tujuanku meninggalkan pesan seperti ini adalah untuk Shina, karena aku yakin dia akan menyalahkan dirinya sendiri, dan tidak tidur semalaman. Bahkan tidak makan sama sekali,” Yami sedikit mengejek di sana. Semua tersenyum pelan.
“Dan dia tidak akan masuk sekolah keesokan harinya, dan sama sekali tidak memegang ponselnya. Dan yang menemukan ini, kalau tidak Shino, maka akan ditemukan seminggu kemudian!” suara ledakan mulai terdengar.
“Kita ambil kemungkinan pertama. Jika itu terjadi, aku yakin Ibu Kaila ada di sana sekarang!”
“Bagaimana?!” Kaila terkejut karena pernyataan Yami.
“Aku akan langsung ke intinya. Aku akan mati hari ini, dan aku tidak ingin kalian, terutama Shina sedih. Jadi, aku punya permintaan.” Suasana menjadi hening.
“Aku akan bertemu dengan dewa di sana, dan meminta untuk bereinkarnasi. Selain itu, aku akan meminta untuk mengabulkan keinginan kecil kalian.”
“Jadi, kalian bisa meminta apapun, seperti aku bahagia, atau bahkan aku diberi banyak teman juga bisa. Apapun itu. Aku akan mengusahakanya!”
“Tapi sepertinya, aku hanya sampai sini. Jadi, aku ingin bilang, aku mencintai kalian semua. Jangan lah bersedih, karena jika kalian menangis, aku akan merasa sakit. Carilah penggantiku, walau itu tidak akan ada! Whoa ha ha ha!!” rekaman pun berhenti di sana.
“Aha ha ha! Apa itu? Yami yang kukenal mengatakan hal hal seperti itu? Itu aneh!” Shina tertawa lepas, setelah mendengar itu semua.
“Tapi untuk permintaannya, apa yang akan kita lakukan?” Shino menggumam perlahan. Semuanya terdiam, denga wajah serius. Tapi tidak ada suasana tegang diantara mereka. Justru suasana canda yang muncul disana.
“Aku sudah memutuskannya!” Shina berteriak.
“Aku ingin bereinkarnasi di dunia dan waktu yang sama dengan Yami, dan aku ingin dia mengingatnya!” teriak Shina, menyatukan tangannya berdoa. Semua yang ada di sana tersenyum, saling berpandangan.
“Jangan lupakan kamu, Shina! Kami ingin bereinkarnasi di dunia yang sama dengan Yami, dan kami ingin Yami mengingat kami semua!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Faeow—
The best👋👋
2021-08-17
0