“Sudah kubilang kan, aku tak bakat menyanyi.” Gerutuku.
Kak Jay dan Fajar kompak tertawa. Sudah lima audisi kuikuti dan mereka semua menolak. Mereka bahkan menyuruhku berhenti saat masih lirik pertama. Aku tak tahu bagaimana selera musik kak Jay dan Fajar hingga menyuruhku untuk ikut audisi, mungkin sangat buruk hingga membuatku ditolak berkali-kali.
“Ayolah Ang, ini baru lima kali. Gitu saja kau sudah menyerah.” Kata Fajar menyemangati.
Kak Jay manggut-manggut. “Fajar saja yang kalah pertandingan hampir sepuluh kali masih ngotot bilang bahwa timnya yang buruk, bukan dia.”
Fajar menimpuk kak Jay dengan bantal. “Ang sebenarnya ada banyak cara untuk mengembangkan bakatmu itu. Bukan hanya bergantung pada audisi.”
“Benarkah?” Tanyaku antusias.
Fajar mengangguk. “Tapi sepertinya aku tak bisa mengatakannya.”
“Eh kenapa?”
“Jangan setengah-setengah dong Jar.” Kak Jay ikut menambahi.
Fajar menatapku. “Di sekolahku, ada ekstrakulikuler band. Kau tahu kan? Itu sejenis kegiatan ekstra, sama sepertiku yang ikut ekstrakulikuler sepak bola.”
Aku mengagguk, menunduk. “Iya aku tahu. Di sekolahku dulu juga ada kegiatan seperti itu tapi tak ada band.”
“Wah itu berarti hanya sekolahku saja yang membuka ekstrakulikuler itu. Sejauh yang kutahu, sekolah-sekolah di kota ini juga tak ada yang membuka band.”
Aku hanya diam.
“Eh, maaf, bukannya aku menyuruhmu untuk sekolah atau sejenisnya.” Fajar tampak gugup. “A-Aku hanya-“
“Iya Jar, aku tahu.” Aku tersenyum. “Makasih infonya. Biar kupikirkan dulu.”
Sekolah ya? Pernah suatu ketika ada seorang di bus yang bertanya kepadaku mengapa aku mengamen bukannya sekolah. Aku bingung harus menjawab apa, alhasil aku hanya bisa tersenyum dan pergi. Sejujurnya aku merasa minder saat melihat anak-anak panti asuhan berangkat sekolah, termasuk kak Jay dan Fajar.
Jika ditanya apakah aku ingin sekolah atau tidak, jelas aku ingin. Namun yang tak kuinginkan adalah kejadian masa lalu yang akan terulang. Tapi separuh hatiku yang lain berkata, ini bukan kotaku yang lama. Tentu saja tak akan ada yang tahu tentang latar belakangku itu. Bahkan kak Jay, Fajar, anak-anak panti, tak tahu tentang fakta kelam itu. Bahkan gadis yang menolongku waktu itu tak tahu, entah apa jadinya jika dia tahu yang dia tolong adalah anak hasil perbuatan tak benar.
Aku mendongak. Menatap matahari yang kini sudah bergeser dari puncak. Ini masih belum terlalu sore, tapi entah kenapa semangatku hilang. Aku terlalu berpikir tentang banyak hal. Sebenarnya sejak kapan aku punya banyak keinginan seperti ini? Bukankah dulu yang kuinginkan hanyalah mati? Apa… anak haram sepertiku boleh punya banyak keinginan?
Aku meneguk air mineral yang baru saja kubeli. Uang yang kudapat hari ini sudah lebih dari cukup untuk membelikan Bunga kado. Hari ini dia ulang tahun, aku ingin memberinya sesuatu sebagai bentuk terimakasih karena sudah merawatku saat sakit.
Aku berjalan di pertokoan. Sempat kucium aroma tubuhku, aman. Hari ini aku hanya mengamen sebentar, tak banyak berkeringat. Aku sempat bingung harus membeli apa, lalu mengingat-ingat apa yang dulu disukai oleh kakak perempuan tiriku.
Aku tersenyum puas saat sudah membelinya, semoga saja Bunga suka. Mungkin sekarang dia sudah pulang sekolah. Aku berjalan riang pulang ke panti asuhan.
“Hei anak haram!”
Seketika langkahku terhenti. Anak… haram? S-Siapa? Bukankah disini tak ada yang tahu hal itu?
“Kau sudah tuli ya? Atau kau pura-pura tuli seperti biasa? Halo Angkasa si anak haram.”
Suara itu berasal dari belakang. Aku menoleh. Seketika mataku membelalak. Lelaki yang amat kukenal, dia yang paling membuatku menderita. Dia sedang tersenyum sinis menatapku sambil menghisap rokok.
“Kenapa? Kau terkejut melihatku ada disini? Harusnya kau senang kakakmu ini mengunjungimu. Aku sudah rindu menghajarmu.”
Aku segera berbalik. Tak ada yang bisa kulakukan selain pergi. Aku juga tak bisa pulang ke panti sekarang. Jika dia mengikutiku, dia akan membeberkan latar belakangku itu. Dia akan memberitahu anak-anak panti bahwa aku anak haram. Tidak! Aku tak ingin itu terjadi. Aku tak ingin mereka membenciku.
Aku harus berlari sejauh mungkin.
“Hei! Kau mau kabur kemana?!”
Aku sama sekali tak berani menoleh ke belakang. Meskipun aku tahu, dia sedang mengejarku.
GREP!
“Dasar anak tak tahu diri!” Dia menarik lenganku. Aku berusaha melepaskannya namun sia-sia. Tubuhnya besar dan kekar. Dia membawaku ke tempat yang sepi, seketika aku tahu apa yang akan dia lakukan.
“Lepaskan!”
Dia membanting tubuhku hingga menatap tembok. “Kau pasti bertanya-tanya kan mengapa aku bisa ada disini?”
Aku berusaha berdiri.
“Seperti yang kau tahu, Ibumu yang menyebalkan itu tak memberitahu kita dimana kau berada. Alhasil aku diam-diam mengambil ponselnya dan akhirnya ketemu deh.” Dia tertawa. “Aku senang akhirnya menemukan samsak tinjuku lagi setelah hampir satu bulan tak bertemu.”
Aku meraih gitar dan bungkusan kado Bunga yang terlempar dariku.
“Eh, punya siapa itu? Gitar? Kado?” Dia merebut kadonya. “Aku tak habis pikir, siapa juga yang mau menerima kado dari anak haram sepertimu. Kau tahu kan, bahkan teman-temanmu dulu menatapmu dengan tatapan jijik.” Dia tertawa, melemparkan kadonya.
Aku berusaha megambilnya lagi namun dia lebih dulu menarik rambutku. “Hei adikku yang menjijikkan, kakakmu ini sangat merindukanmu.”
Aku mengernyit, sakit.
BUK! BUK! BUK!
Lagi dan lagi aku dihajar. Lihatlah wajah kakak tiriku yang bahagia itu sangat mencerminkan sifat psikopatnya. Dia senang melihatku yang menderita. Apalagi sekarang tak ada Ibu disini, dia pasti akan menghajarku lebih lama dan lebih kejam dari biasanya. Aku tak bisa melawannya, dia jauh lebih kuat dariku. Tak ada yang bisa kulakukan, aku hanya bisa pasrah-
“Jika dunia memperlakukanmu tak adil, kau harus berani melawan. Dari situ kau bisa berhenti menjadi pengecut.”
DUAGH!
Kakak tiriku itu terpelanting di tanah. Aku tertegun. Eh, apa yang baru saja kulakukan? Tubuhku seakan bergerak dengan sendirinya. Kenapa? Kenapa aku yang kurus ini kuat memukul kakak tiriku itu?
“Kau!” Wajah kakak tiriku merah padam. “Sejak kapan kau berani melawan, hah!” Dia sudah bangkit, menatapku tajam. Karena dia sudah sering menghajarku, aku jadi tahu pola serangannya. Dia mengepalkan tangan hendak memukul pipiku.
Aku refleks menunduk dan seketika aku menyerang perutnya berkali-kali. Kakakku itu terbatuk, mulutnya mengeluarkan darah. Tanpa jeda, aku segera membanting keras tubuhnya di tanah. Baru kali ini aku melihatnya kesakitan, ketakutan saat menatapku. Entah kenapa melihatnya yang tak berdaya membuatku senang. Ah… jiwa psikopat kakakku itu menurun padaku ya?
“Pulanglah, jangan ganggu aku lagi. Aku juga tak akan kembali ke rumah itu. Jadi nikmati saja hidup keluarga bahagia kalian.”
Kakak tiriku itu bangun, mengusap darah yang keluar dari mulutnya. Dia masih mengernyit kesakitan. Aku meraih gitarku dan mengambil kado Bunga yang sempat dia lempar. Tak ada gunanya lagi berbicara padanya, aku memutuskan pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
syafridawati
aku mampir like dan fav semamgat saling dukung ya makasih
2021-08-02
1
Istika Diah
good job angkasa....
2021-07-29
1
Nofi Kahza
Bagus angkasa.. gue demen kalau lu berubah kuat..
Btw, angkasa dpt sokongan kekuatan dr perkataan si cewek yg nolongin dia tempo hari lalu ya.. siapa sih tuh cewek?🤔
2021-07-17
1