BUK! BUK! BUK!
Lagi dan lagi aku mendapat pukulan. Tadi salah satu teman pantiku mengajakku mengamen di stasiun. Katanya untuk tambahan uang sangu dan menabung. Saat hari sudah sore, kami memutuskan untuk pulang karena sudah banyak uang yang kami dapat. Namun di perjalanan kami dihadang oleh sekelompok berandalan. Mereka memalak kami namun aku menolak memberikan uangnya, dan hasilnya tubuhku babak belur dan uangnya diambil, lengkap sudah.
“Kau tak apa ?”
Aku mengangguk. “Aku sudah biasa seperti ini.” Aku menoleh. “Kak Jay bagaimana?”
Dia menggeleng. “Tak apa.”
Aku mengernyit. Segera membantunya duduk. “Kau tak baik-baik saja.” Aku menyobek sebagian bajuku. Tak ada uang tersisa untuk membeli obat-obatan dan perban. Aku tak punya pilihan, darah yang mengucur dari pelipis kak Jay harus dihentikan. Syukurlah aku masih mengingat cara-cara kakak perempuan tiriku saat mengobatiku dulu.
Aku berusaha membantu kak Jay berdiri.
“Kau mau apa?” Tanyanya.
“Kita harus segera pulang.”
“Tubuhmu kurus. Kau tak akan kuat memapahku.”
“Tak ada pilihan lain.” Aku berusaha keras mengangkat tubuhnya yang hampir dua kali lipat dari besar tubuhku.
Hari sudah semakin petang. Keringat mengucur di seluruh tubuhku, membuat luka terasa makin perih. Namun aku harus bisa bertahan sedikit lebih lama lagi, panti asuhan berada di ujung jalan ini. Sejak tadi kak Jay yang menuntun arahnya, aku masih belum hafal betul kota yang sangat asing di mataku ini.
“Kau sepertinya kelelahan.”
Aku menggeleng.
“Aku minta maaf. Harusnya tadi aku tak mengajakmu saja.”
“Kalau aku tak ikut, mungkin kak Jay sudah ditemukan dalam keadaan pingsan.”
Kak Jay tertawa. “Kau mengejekku.”
Aku hanya diam. Secara fisik, aku sangat berbeda dibanding kak Jay, namun pengalamanku tentang kekerasan lebih banyak darinya. Kak Jay adalah orang yang pertama kali mengajakku bicara di panti asuhan. Saat yang lain masih canggung menyapaku, kak Jay bersikap seolah-olah sudah mengenalku sejak lama. Syukurlah disana tak ada yang tahu latar belakangku.
“Hei kalian kenapa?!” Teriak satpam panti asuhan. Dia segera membantu memapah kak Jay.
“Kami habis digebukin.” Kata kak Jay santai.
“Kau pasti yang buat onar kan, Jay?”
Kak Jay terawa. “Pak satpam tau aja.”
Anak panti yang sedang bermain di halaman sejenak tertegun saat melihat kami kembali dengan penuh luka. Ada yang meringkuk takut, ada yang bisik-bisik, dan ada yang buru-buru masuk panti asuhan, kemudian kembali sambil menggandeng Ibu panti, bu Arum namanya. Dia terkejut melihat kondisi kami. Dia segera mengobati kami dibantu dengan anak panti yang lain.
“Apa yang terjadi, Jaya?”
“Kami dipalak.” Jawab kak Jay singkat.
“Memang kalian mengamen dimana?”
“Eh, itu, stasiun.” Kak Jay menggaruk kepalanya.
Wajah bu Arum merah padam. “Ibu kan sudah bilang jangan mengamen disana. Kau bandel sekali. Padahal Angkasa baru saja pindah kemari, tapi kau membahayakannya.”
“Aku baik-baik saja, Bu. Tak usah khawatir.” Kataku.
Bu Arum beralih menatapku, ekspresi penuh rasa bersalah. Kemudian dia pergi mengambil makanan untuk kami. “Kau harus makan banyak, Angkasa.”
Dua hari kemudian lukaku telah sembuh meskipun sisa luka masih terlihat. Namun kak Jay masih sedikit pincang. Lemak tubuhnya menghambat proses kesembuhannya. Lambat laun anak-anak panti mengajakku berbicara.
“Ngomong-ngomong namamu terlalu panjang, Angkasa.” Celetuk Fajar. Dia seumuran denganku. Biasanya dia yang menemani kak Jay mengamen, tapi waktu itu dia harus mengikuti lomba sepak bola di sekolahnya. Fajar dan kak Jay adalah teman sekamarku.
Aku tersenyum tipis.
“Bolehkah aku memanggilmu ‘Ang’ saja?” Kak Jay yang sedang memetik gitar ikut-ikutan.
Aku mengangguk. “Boleh.”
“Baiklah. Ang, apa kau tak ingin sekolah?” Tanya kak Jay.
Aku diam sejenak. Aku punya kenangan buruk di sekolahku dulu. Disana aku terkenal dengan julukan ‘anak haram’. Tentu saja yang menyebarkan fakta itu adalah kakak laki-laki tiriku sendiri. Aku tak mengerti mengapa dia sangat membenciku. Dia mengajak teman-temannya menjahiliku mulai dari merobek tugasku, mencoret-coret bangkuku, menyiramku dengan air selokan, dan tentu saja mereka telah berkali-kali menghajarku.
Fajar yang mengerti maksud diamku berkata. “Tak apa, tak usah buru-buru.”
“Benar. Oh ya, apa kau tak tertarik bermain gitar?” Tanya kak Jay.
Aku mengangguk. Aku sedikit tertarik saat melihat kak Jay dengan kerennya bernyanyi sambil memainkan gitar di depan orang-orang saat mengamen.
“Biar aku ajari.” Kak Jay tampak bersemangat. Dia duduk di sampingku, mulai menjelaskan kunci-kuncinya. “Dulu Fajar juga pernah belajar tapi tak bisa-bisa.”
Pipi Fajar memerah. “E-Enak saja! Aku memang tak niat melakukannya!”
“Tuh kan benar dia memang tak bisa bermain gitar.” Kak Jay tertawa, mengejek. Aku juga ikut tertawa karena ekspresi Fajar yang sedang malu terlihat lucu.
“Tapi Fajar jago di sepak bola, bukan?” Tanyaku.
“Tentu saja.” Kata Fajar membanggakan dirinya.
“Apaan, dua kali pertandingan kalah melulu. Aku menyesal sudah dukung timmu.”
Ekspresi Fajar seketika berubah, sepertinya dia membenarkan perkataan kak Jay. “Mereka yang beban, jangan salahkan aku.”
“Kau kan ketuanya, harusnya kau yang bisa mengatur mereka.”
Akhirnya perdebatan mereka terus berlanjut hingga hampir waktu makan malam. Aku memutuskan mencoba memetik gitar, mengingat kunci-kunci yang diberitahu kak Jay sembari menunggu mereka selesai berdebat.
Tiba-tiba perdebatan mereka terhenti. “Eh, Ang, bagaimana kau bisa menyusun nada itu?” Tanya kak Jay dengan ekspresi tertegun. “Aku belum pernah mendengar nada itu sebelumnya.”
Aku mengangkat bahu. “Aku hanya coba-coba.”
“Itu bagus Ang, lanjutkan!” Fajar tampak antusias. “Aku menantikan versi fullnya!”
Aku tertawa.
Aku sendiri tak tahu jika senar yang kupetik menjadi nada yang bagus. Kata kak Jay, aku berbakat bermain gitar, dia mengusulkanku agar meneruskan langkahnya mengamen. Fajar langsung menolak, dia lebih memilih menyuruhku untuk ikut audisi. Aku tertawa. Padahal aku hanya bisa memetik gitar, tak bisa menyanyi.
Saat aku berhasil memainkan beberapa nada, aku bisa sedikit menyanyi meskipun masih fals. Aku memutuskan untuk mengamen sembari yang lain pergi sekolah. Bu Arum melarangku untuk mengamen di stasiun, aku menurut. Daripada aku harus merepotkan mereka lagi untuk merawatku.
Aku mulai mengamen dari bus ke bus. Ada bus yang mengizinkan pengamen masuk, ada yang mengusirku mentah-mentah. Penumpangnya pun begitu, ada yang mau menerima laguku, dia membiarkanku menyanyi hingga selesai kemudian memberiku uang. Ada pula mereka yang langsung memberiku uang tanpa mendengar laguku, bahkan aku belum memetik gitar sekalipun. Ada juga yang hanya melambaikan tangan, menyuruhku pergi.
Aku tersenyum puas saat melihat uang yang kukumpulkan selama tiga hari memenuhi celenganku. Kak Jay berulang kali memujiku karena selama ini dia tak pernah mendapat uang sebanyak itu. Fajar malah antusias menyanyakan reaksi orang-orang yang mendengar laguku. Yah memang ada beberapa orang malah memintaku menyanyikan tiga sampai empat lagu.
Ini hari kelima. Aku memutuskan hasil hari ini untuk membeli banyak jajan untuk anak-anak panti. Uang yang kudapatkan hari ini cukup banyak, cukup untuk membelikan mereka semua jajan meskipun hanya satu-satu. Aku yang berjalan riang tiba-tiba langkahku terhenti. Mataku membelalak saat melihat kelompok gerombolan yang memalak kami waktu itu.
Mereka tersenyum sinis melihatku. “Hei kita ketemu lagi.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Your name
Mulia banget...
2022-01-10
2
Your name
Setidaknya sudah berani mencoba
2022-01-10
2
~🌹eveliniq🌹~
salken nyicil baca dulu ya
2022-01-06
1