Pengecut ya?
Mungkin itu benar. Sebelumnya aku tak pernah berpikir untuk bunuh diri. Aku menyerahkan nasibku pada keadaan dan berharap agar mati secepatnya. Tapi kenapa malaikat maut tak kunjung datang? Padahal aku sudah lama menunggunya. Apa dia juga membenciku karena aku seorang anak haram? Atau karena…
“AHAHAHA benar. Aku benar-benar pengecut.” Tawaku pecah. “Aku ingin mati tapi aku juga takut. Aku tak punya keberanian untuk bunuh diri. Benar-benar pengecut. Bahkan aku sendiri sangat membenci diriku ini. Menjijikkan!”
Dia menatapku tertegun.
“Kenapa? Ayo lanjutkan saja. Terus pukul aku!” Entah kemana sekenario ini akan berlanjut. Aku tak tahu, rasanya aku ingin mengungkapkan semua hal yang mengganggu pikiranku sejak lama. “Ayo pukul aku! Aku sudah terbiasa dengan hal itu. Semua orang memukulku karena aku begitu pengecut. Mereka menatapku dengam tatapan hina karena aku begitu menjijikkan. Aku sudah terlahir sebagai sampah, jadi tak ada untungnya dunia memilikiku. Aku tak punya tempat disini-“
“Kau menangis?”
“Eh?” Aku mengusap mata. Benar saja sejak tadi mataku terasa hangat.
“Menangislah. Luapkan semua kekesalanmu padaku.” Dia tersenyum menatapku. Sejak aku bangun tadi langit sudah gelap. Tak ada penerangan di ruangan ini. Yang ada hanyalah cahaya bulan yang membuat senyumnya tampak berseri-seri. Aku tak pernah melihat sesuatu seindah ini.
Tangisku pun pecah. Saat itu aku sadar, selama ini sebanyak apa pukulan yang kuterima dan sebanyak apa cacian dan makian yang kudapat, aku tak pernah menangis. Bahkan saat Ibu meninggalkanku pun, aku tak menangis. Ini pertama kalinya hatiku terasa sangat sakit.
Dia membiarkanku menagis bahkan berteriak hingga sedikit demi sedikit aku bisa merasakan lega. Seakan beban yang selama ini mengendap di pikiranku hilang. Tangisanku mulai reda.
Dia mengulurkan tangan, mengelus rambutku. “Kau sudah merasa baikan?”
Aku mengangguk.
“Syukurlah.” Dia merapikan obat-obatan yang tadi digunakannya untuk mengobatiku. “Jika dunia memperlakukanmu tak adil, kau harus berani melawan. Dari situ kau bisa berhenti menjadi pengecut.” Dia beranjak berdiri. “Aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa lagi.”
Dia pergi. Aku yang lelah menangis hanya bisa menatap punggungnya yang semakin jauh dan hilang. Aku bahkan belum berterima kasih padanya. Aku menghembuskan napas panjang. Aku juga bahkan tak tahu aku sedang berada dimana. Sejauh yang kuingat, lorong tempat para berandalan itu menghajarku ada di dekat stasiun.
“ANG!”
Seketika aku menoleh. Suara yang amat kukenal. “Kak Jay? Fajar?”
Mereka berdua segera menghampiriku. Aku telah membuat mereka khawatir. Biasanya aku pulang saat sore, kini sampai malam pun aku masih belum pulang. Mungkin itu yang membuat mereka mencariku.
“Kak Jay maaf. Ini kukembalikan gitar milikmu.” Aku memberikan gitar yang kupakai mengamen selama ini. “Maaf gitarmu tadi hampir rusak. Aku janji tak akan memakainya lagi.”
Kak Jay mengambil gitarnya, kemudian memperhatikan tubuhku yang lebam. “Jadi kau dikeroyok lagi? Itu karena kau melindungi gitar ini?”
“Sudahlah nanti saja kita tanya-tanyanya.” Kata Fajar. “Bu Arum sudah mencarimu sejak tadi, Ang. Syukurlah kita menemukanmu. Naiklah di punggungku.”
“Eh, kau kuat?”
Kak Jay tertawa. “Wah bagaimana nih Jar, dia meremehkanmu.”
“Dibanding kak Jay yang punya tubuh besar tapi kujamin dia tak bakal kuat menggendongmu sampai panti. Tenang saja Ang, aku tak akan menjatuhkanmu.”
Benar saja. Diantara kami bertiga, Fajar mempunyai proporsi tubuh yang paling bagus. Tak gendut seperti kak Jay dan tak kurus sepertiku. Mungkin itu karena dia suka berolahraga. Tak seperti kak Jay yang hobi rebahan.
Aku naik di punggung Fajar.
“Kau sudah naik Ang?”
“Iya.”
Mereka mulai berjalan, pulang. “Kau sebaiknya makan lebih banyak, Ang. Contohlah kak Jay.” Ejek Fajar.
Aku tertawa melihat kak Jay yang sebal. Aku menoleh ke belakang. Benar, bangunan tadi memiliki beberapa tingkat lantai seperti bekas mal. Aku tadi sempat melihat, ada banyak bercak hitam di bangunan itu. Tampak seperti habis terbakar.
“Bagaimana bisa kalian menemukanku?”
“Percayalah itu tak mudah.” Kata kak Jay. “Kami telah mencarimu sejak pukul lima sore dan baru menemukanmu sekarang.”
“Maaf…” Aku menunduk.
“Eh, bukan itu maksudku Ang. Aku hanya bercerita. Sama sekali tak berniat menyalahkanmu.” Kak Jay tampak gugup.
“Makasih kalian sudah mencariku.”
“Sudah seharusnya kami mencarimu. Kami di panti asuhan sudah seperti keluarga. Jadi wajar jika kita khawatir saat kau tak kunjung pulang. Sudah kewajiban kak Jay sebagai yang tertua untuk mencari adik-adiknya jika tak pulang hingga malam.” Lagi-lagi Fajar mengejek kak Jay. Mereka pun berakhir dengan saling olok, aku hanya bisa tertawa melihat mereka.
Mereka sangat baik padaku. Aku tak pernah bertemu orang yang memperlakukanku sebaik mereka kecuali Ibu, dulu. Sempat terpikir bahwa jika suatu hari mereka tahu bahwa aku anak hasil selingkuhan Ibuku, apakah mereka akan tetap baik padaku? Atau mereka malah membenciku seperti yang lain? Aku benar-benar tak ingin itu terjadi.
“Jadi saat kau hendak pulang, kau bertemu dengan berandalan itu lagi. Lalu mereka menyeretmu dan mengancam akan merusak gitar Jaya jika kau tak memberi mereka uang.”
Aku mengangguk. “Aku tak mengamen di stasiun. Mereka yang menyeretku kesana.”
Bu Arum mengangguk. “Ibu tahu kok kau tak akan melanggar perintah Ibu, tak seperti Jaya.” Bu Arum menatap sinis kak Jay.
“Hehe.” Kak Jay menggaruk kepalanya.
“Lalu bagaimana kau bisa lolos dari mereka? Kau melawan?”
Aku diam sejenak kemudian menggeleng. “Seseorang menyelamatkanku.”
“Siapa?”
“Aku tak tahu namanya. Dia membawa sebuah pistol dan mengancam para berandalan itu. Karena takut, mereka akhirnya pergi.”
“Pistol sungguhan?” Bu Arum berseru.
Aku menggeleng. “Tidak. Aku tahu itu hanya pistol yang diisi obat bius.”
Bu Arum menghela napas. “Syukurlah. Lalu dimana dia?”
“Aku tak tahu, dia pergi begitu saja. Dia juga yang telah mengobati luka-lukaku saat aku tak sadarkan diri.”
“Sayang sekali… kita berhutang budi padanya. Saat kau bertemu dengannya lagi, bawa dia ke panti. Ibu ingin berterima kasih.”
Aku mengangguk. Padahal aku sendiri tak tahu apakah kami akan bertemu lagi atau tidak.
Bu Arum mengelus rambutku sebelum pergi. “Kau istirahatlah setelah makan.”
Bunga, anak panti yang umurnya satu tahun lebih muda dariku datang membawakan nampan nasi. Porsi makanku disini sangat beda jauh dari porsi makanku dulu.
“Hei Bunga, kenapa Ang diberi porsi makan lebih banyak dariku?” Tanya kak Jay. “Kau tak adil. Bagaimana jika aku jatuh sakit karena kelaparan?”
Bunga menghampiri kak Jay, menepuk pundaknya. “Justru aku sangat peduli padamu, kak Jay. Aku tak ingin kak Jay obesitas, kebanyakan makan. Jadi aku korupsi sedikit jatah makanmu ke jatah makan kak Angkasa. Bukankah aku adik yang baik?”
Aku dan Fajar kompak tertawa. Dimanapun ada kak Jay, pasti dia selalu menjadi bahan ejekan. Dia tak mudah tersinggung, itulah yang meyebabkan dia disukai semua orang.
“Ngomong-ngomong Ang, aku sudah berniat memberikan gitar itu padamu. Kau tak perlu merasa bersalah karena hampir merusakkan gitar ini. Ini sudah jadi milikmu, jagalah.” Kak Jay melempar gitarnya padaku.
“A-Apa?” Aku tertegun.
“Aku serius, Ang. Kau bisa memakainya untuk mengamen bahkan untuk ikut audisi seperti kata Fajar. Bakatmu itu harus dikembangkan. Kami semua disini akan selalu mendukungmu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
~🌹eveliniq🌹~
hadir nyicil baca lg nih
2022-01-06
1
Zen
p
2021-07-21
1
Nofi Kahza
setidaknya kehidupan Ang lebh baik drpada ikut ibunya. Di panti dia bener2 mendapt kasih sayang keluarga🤗
2021-07-16
1