Saat melihat mata Emir yang merah dan berair, Amara langsung menutup mulutnya, menahan tawa kecil.
"Cengeng," ucapnya sambil mengedikkan dagu. "Gitu aja nangis!"
Emir mendengus, merasa tak terima. "Siapa yang cengeng? Ini bawang, tahu!" sergahnya, namun nada protesnya justru membuat Amara makin geli.
Gadis itu mengambil tisu di atas meja dapur dan dengan lembut mengusap mata Emir. "Udah deh, nggak usah cari alasan. Mata kamu tuh merah banget, lho."
"Ini perih karena bawang bombay," kilah Emir lagi. Untuk membuktikan, ia mengambil potongan bawang dan mengarahkannya ke wajah Amara.
"Dih! Bau tau!" seru Amara sambil menjauh, lalu meninggalkan dapur dengan langkah cepat.
Fatma, yang sedari tadi menyaksikan interaksi mereka, mendekat dan menyentuh pundak putranya dengan lembut. "Mir, kamu yakin nggak jadi nyantri?" tanyanya hati-hati.
Emir menunduk, membiarkan pertanyaan itu menggantung. Rencana untuk masuk pesantren sudah ia pendam dalam-dalam sejak Amara dengan penuh semangat mengutarakan harapannya agar mereka tetap satu sekolah.
"Kamu tahu, kan, kamu bisa menolak kalau memang keberatan?" lanjut Fatma, suaranya lembut tapi penuh makna. "Masa depan kamu adalah milik kamu, Nak."
Emir hanya mengangguk pelan. Kata-kata ibunya terngiang di kepalanya. Tapi entah kenapa, semua keinginan Amara seperti sudah menjadi takdir yang tak bisa ia abaikan. Dalam benaknya, Emir tahu bahwa SMP Garuda mungkin akan menjadi awal baru, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk Amara yang selalu mempercayainya.
......................
Setelah makan malam bersama, Emir memberanikan diri untuk pergi ke ruang kerja Andar. Ada hal yang harus ia pastikan malam ini.
Dihadapan pintu ruangan itu, Emir sempat ragu. Tangannya terhenti di udara sebelum akhirnya ia mengetuk pintu perlahan.
"Assalamualaikum..." sapanya, suaranya hampir berbisik.
"Waalaikumsalam, masuk, Mir," sahut Andar dari dalam.
Emir membuka pintu dengan hati-hati, melangkah masuk dengan kepala sedikit menunduk.
"Tumben, ada apa, Nak?" tanya Andar, melepas kacamatanya dan menutup buku yang sedang dibacanya.
"Maaf Pak Andar, sudah ganggu," ucap Emir sambil duduk di sofa yang ditunjuk Andar.
Andar menatap bocah itu dengan senyum ramah. "Ada apa? Ceritakan saja."
Emir menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. "Pak Andar, soal yang Amara bicarakan... soal sekolah di Garuda," ucapnya pelan.
Andar mengangguk, menunggu Emir melanjutkan.
"Emir mau coba masuk lewat jalur prestasi, Pak," ujar Emir akhirnya. "Kalau gagal... ya, Emir cari sekolah lain. Tapi Emir nggak mau membebani siapa pun, termasuk Pak Andar atau Amara."
Mendengar itu, Andar terdiam sejenak. Ia menatap Emir dengan rasa bangga yang sulit disembunyikan. Anak ini berbeda. Mandiri, teguh, dan penuh rasa tanggung jawab meskipun usianya masih begitu muda.
"Kalau gagal? Kamu yakin siap menghadapi semua kemungkinan?" tanya Andar, suaranya terdengar serius.
Emir terdiam. Ia tahu jalur prestasi bukanlah hal mudah. Tapi ia mengangguk tegas. "Emir akan belajar lebih giat lagi, Pak. Emir yakin bisa."
Andar tersenyum tipis. "Baiklah. Kalau itu keputusanmu, Om dukung. Tapi kalau kamu kesulitan, jangan ragu bicara ke Om, ya?"
Emir tersenyum kecil, rasa lega mulai memenuhi hatinya. "Terima kasih, Pak. Tapi... tolong jangan bilang ke Amara dulu, ya?"
Andar mengangkat alis. "Kenapa, Mir?"
"Biar Emir yang kasih tahu sendiri nanti. Emir takut dia bakal kecewa atau merasa usaha dia sia-sia," jawab Emir.
Andar tertawa kecil. "Kamu memang hebat, Mir. Baiklah, Om janji."
Emir bangkit dari kursinya, menunduk hormat sebelum melangkah keluar. Saat pintu tertutup, Andar menatap buku di mejanya sambil menghela napas panjang.
"Ahmad, kamu punya anak yang luar biasa."
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 163 Episodes
Comments
Erni Novianti
😊😊😊
2021-06-09
1
Erni Novianti
next thor 👉👉👉👉
2021-06-08
1
gillar nurj🤣🤣🤣🤣
up
2021-06-05
3