"Eh, Mir!"
Suara Amara memecah keheningan kamar. Emir, yang tengah sibuk dan fokus mengerjakan lembar tugas di buku milik Amara, hanya merespons dengan gumaman pelan tanpa menoleh.
Amara mendengus kesal. Dia menyipitkan matanya, menatap bocah lelaki itu yang tetap serius menunduk. Dalam diam, gadis kecil itu menyusun rencana jahil. Tanpa peringatan, dia menjepit lengan Emir dengan cubitan kecil yang mengejutkan.
"Ya ampun, Ra! Sakit tahu!" keluh Emir sambil mengusap lengannya yang terasa perih.
"Abisnya, dipanggil malah 'hem hem' aja!" Amara mencebik, tangannya terlipat di dada.
Emir menghela napas panjang, meletakkan pensilnya di meja. "Aku cuma lagi fokus kerjain tugas kamu, biar nggak salah jawab soal, Ra," tukasnya pelan, menahan geli melihat wajah ngambek Amara.
Amara mendekatkan wajahnya, matanya berbinar penuh semangat. "Bentar lagi kita lulus, Mir! Nanti lanjut sekolah ke Garuda yuk?!"
Emir tertegun. Mendengar nama sekolah itu, pikirannya langsung berkelana. SMP Garuda, sebuah institusi megah di pusat kota yang lebih menyerupai istana daripada sekolah biasa. Bagi Emir, tempat itu adalah simbol mimpi sekaligus kenyataan pahit.
Dikenal sebagai sekolah kaum elit, SMP Garuda bukan hanya soal fasilitas mewah, tapi juga biaya selangit. Emir yang lahir dari keluarga sederhana tahu betul, sekadar membayangkan saja sudah membuat hatinya sesak.
"Aku coba tanya Ayah sama Bunda dulu, Ra," jawab Emir akhirnya, suara kecilnya sarat dengan keraguan.
Amara tersenyum lebar, menggenggam tangan Emir erat. "Pasti Ayah sama Bunda setuju! Papa juga bakal bantu kok. Pokoknya, kamu harus sekolah di sana bareng aku!”
Mendengar keyakinan Amara, Emir hanya tersenyum kecil. Tapi di balik senyumnya, hatinya teriris. Ia tahu, perbedaan status mereka terlalu mencolok. Namun, Emir tak ingin melukai perasaan gadis itu.
Emir menyimpan semua gejolak itu dalam hati. Ia tahu betul bahwa keberadaannya di sekolah yang sama dengan Amara selama ini adalah bentuk perhatian keluarga gadis itu. Emir sadar, prestasi adalah satu-satunya alasan dia bisa terus bertahan di sisi Amara.
......................
Setelah magrib, suara gemerincing panci dan aroma bumbu memenuhi dapur kecil rumah Emir. Anak lelaki itu duduk di kursi dapur, mengupas bawang bombay sambil sesekali terbatuk kecil karena aroma menyengat.
"Mir…" suara lembut ibunya, Fatma, terdengar dari dekat wastafel. "Kamu nangis, Nak?" tanyanya lembut sambil menatap Emir yang matanya memerah.
Fatma mengira ada sesuatu yang berat di hati putranya. Tapi Emir hanya tertawa kecil sambil mengusap matanya yang basah. "Eh, Ini bawangnya, Bun. Perih banget," ucapnya, mencoba terdengar santai meski ada sedikit beban yang disembunyikan.
Namun sebelum Fatma sempat menanggapi, suara langkah kecil terdengar mendekat. Amara muncul dengan langkah cepat, wajahnya terlihat serius. Ia langsung berdiri di sebelah Emir, menatapnya penuh tekad.
"Mir, jangan sedih!" bisiknya. "Aku udah bilang ke Papa. Pokoknya kamu nggak perlu khawatir. Kita pasti sekolah di Garuda bareng-bareng!"
Emir tertegun. Kata-kata Amara menghangatkan hatinya, tapi juga menyakitkan. Dia tahu Amara salah paham, tapi bocah lelaki itu hanya bisa menunduk, membiarkan gadis kecil itu yakin dengan ucapannya.
Dalam hati, Emir menggerutu. "Siapa yang sedih? Ini perih karena bawang!" Tapi dia tak ingin merusak momen itu. Baginya, melihat Amara percaya diri dan bersemangat sudah cukup untuk melupakan kepedihannya sejenak.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 163 Episodes
Comments
lineg boboo
hadir lgi🤗
2021-06-22
1