...Pertemuan Pertama...
23 Tahun yang Lalu
"Alhamdulillah... akhirnya sampai juga." Liana menyambut keluarga Ahmad dengan senyum ramah, matanya berbinar melihat tamu yang kini melangkah masuk ke ruang tamu rumahnya. Dengan lembut, ia mempersilakan mereka duduk di sofa.
Ahmad, teman karib suaminya, Andar, sejak masa SMA, kini membawa keluarganya dari kampung halaman mereka di Majalengka. Ahmad tampak lelah, namun bahagia, ditemani istrinya dan putranya, Emir.
"Kami hampir lupa betapa sibuknya Jakarta," Ahmad berkata sambil melirik sekeliling, senyumnya tersirat lelah.
Liana tersenyum tipis. "Pasti berat perjalanan jauh dari Majalengka. Tapi, bersyukurlah kita bisa berkumpul di sini lagi."
Liana kemudian memandang bocah lelaki kecil di sebelah istri Ahmad. Wajahnya lembut dengan garis ketimuran yang kuat. Emir memegang erat tangan ibunya, tampak canggung di tempat baru.
"Ini Emir, ya?" Liana menatapnya dengan penuh kekaguman. "MasyaAllah, calon anak saleh. Ganteng sekali."
Emir hanya tersenyum kaku, malu-malu mendengar pujian itu.
Namun suasana mendadak buyar saat suara lembut anak kecil bergema dari belakang.
"Mama, siapa?" Suara itu milik Amara, putri semata wayang Liana dan Andar. Rambutnya yang hitam panjang tergerai, dihiasi bandana berbentuk mahkota kecil di kepalanya.
"Amara, sini, Sayang," panggil Liana sambil melambaikan tangan.
Dengan langkah kecil yang penuh rasa ingin tahu, Amara mendekati ibunya. Matanya berbinar melihat tamu-tamu asing di rumahnya.
"Ini teman Papa yang Mama ceritakan tadi malam," ujar Liana lembut. "Salim dulu, ya."
Tanpa ragu, Amara mengulurkan tangannya untuk menyalami Ahmad dan istrinya. Setelah itu, pandangannya tertuju pada Emir.
"Dan ini Emir," Liana memperkenalkan mereka.
Emir berdiri perlahan, mencoba memberanikan diri, lalu mengulurkan tangan kecilnya. "Emir Hamzah," ujarnya canggung namun tegas.
Amara tersenyum, menatap Emir dengan tatapan ceria yang tulus. "Amara Salim," balasnya sambil menyambut uluran tangan itu. Senyum lebarnya memperlihatkan deretan gigi susunya.
Itu adalah pertemuan pertama mereka—sederhana, namun meninggalkan kesan mendalam.
......................
Sore hari, langit yang sebelumnya biru cerah perlahan berganti warna jingga keemasan. Di depan rumah, suara mesin mobil menggemuruh, menandakan kepulangan Andar.
Liana segera keluar untuk menyambut suaminya. Wajahnya dihiasi senyum lebar, kedua lesung pipinya terlihat jelas saat ia meraih tangan Andar dan menciumnya penuh hormat.
"Mereka sudah datang, Pah," ucapnya lembut setelah Andar mengecup keningnya.
"Bagus," balas Andar dengan senyum kecil. "Mereka pasti lelah. Siapkan makan malam yang spesial ya, Ma."
Liana mengangguk dengan penuh semangat, mengacungkan jempol sebagai tanda siap.
......................
Di dalam rumah, suara riang Amara kembali memenuhi ruangan. "Papaaa!" teriaknya sambil berlari kecil menghampiri Andar.
Andar membuka lengannya lebar-lebar, siap menyambut putri kecilnya dalam pelukan hangat. "Wah, putri Papa makin berat saja!" godanya sambil mengangkat tubuh Amara.
Amara tertawa ceria, lalu mencium pipi Andar dengan gemas. "Pah, anak lelaki yang namanya Emir itu, nanti sekolahnya sama Amara, boleh?"
Permintaan itu membuat Andar dan Liana saling pandang, sejenak terkejut. Cepat sekali putri mereka akrab dengan orang baru, pikir keduanya.
Senyum kecil tersungging di bibir Andar. "Kita lihat nanti, Sayang. Kalau Emir mau, pasti bisa." sahut Andar.
Di balik pintu kamar, Emir yang mendengar percakapan itu tersenyum tipis. Entah mengapa, pertemuan singkat dengan Amara meninggalkan rasa hangat di hatinya.
Tanpa mereka semua sadari, ini adalah awal mula dimana kisah kedua bocah itu tertulis dalam takdir.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 163 Episodes
Comments