Mas Alfath:
Aku mencintaimu Ran, selamat pagi.
Terus ku pandangi ponselku yang menyala, menampilkan satu pesan manis dari mas Alfath. Bodohnya, aku masih saja merasa bahagia ketika membaca kata-kata manis itu.
Aku bahagia mengetahui mas Alfath masih mencintaiku meski kini ia sudah menikahi Dinda.
Apakah aku lebih beruntung dari Dinda karena mendapatkan cinta mas Alfath?
Aku ingin tersenyum, tapi mulutku terasa kaku. Seolah melawan kenyataan yang sudah jelas dipelupuk mata, sulit.
Jika Mas Alfath mencintaimu, tidak mungkin dia menikahi Dinda. Apapun alasannya.
Hatiku berbisik miris, dan akhirnya aku mulai bisa tersenyum. Senyum getir.
Jahat kamu Mas.
Dengan berat hati, aku melangkah keluar kamar, mengabaikan pesan itu dan melempar asal ponsel diatas tempat tidur. Aku memilih keluar, berjalan menuju dapur.
Hari minggu jam 7 pagi seperti ini, biasanya mbak Tika, mas Fahmi, Raka dan Rian kedua anak mereka akan berkumpul di meja makan. Memperhatikan mbak Tika memasak dibantu oleh bude Nur, pembantu di rumah ini.
Dan benar dugaanku, mereka semua sedang berkumpul disini.
"Bulek, sini deh duduk dekat Raka," panggil Raka padaku, aku tersenyum seraya berjalan mendekat kearahnya.
Ku lirik mas Fahmi yang sama sekali tidak melihat ke arahku, ia masih sibuk membaca koran ditangannya.
"Bulek, nanti ayah sama bunda mau ajak Raka dan Rian ke Ancol. Bulek ikut ya?" ucap Rian antusias, ditangannya ada sepotong bakwan jagung yang sudah setengah termakan.
"Iya Bulek, nanti kita mandi, berenang," timpal Rian tak kalah semangat.
Raka berusia 10 tahun, sekarang sudah kelas 4 Sekolah Dasar, sedangkan Rian berusia 7 tahun saat ini sudah kelas 2 Sekolah Dasar.
Aku hanya tersenyum, menanggapi ajakan kedua keponakan ku ini. Jangankan ke Ancol, keluar kamar saja aku rasanya sangat malas, keluar rumah pun rasanya berat sekali.
Aku hanya ingin mengurung diri, menjauh dari semua orang-orang.
"Bulek di rumah saja lah, bulek harus buat laporan," kilahku asal, laporan bulananku sudah selesai seminggu yang lalu.
"Ran, menurut mbak, sebaiknya kamu ambil cuti dulu, 1 minggu dan berlibur sana, keluar negeri juga tidak apa-apa. Nanti Mbak kasih uang tambaha."
"Ck." Mas Fahmi berdecak ketika mendengar ucapan mbak Tika barusan.
Aku hanya terdiam, tahu jika Mas Fahmi tidak menyetujui ide itu. Aku pun sebenarnya tak ingin kemana-mana, jika bisa aku malah ingin ke Gua dan menyepi disana.
"Kamu kenapa sih Mas? marah terus kerjaannya, nanti darah tinggi baru tau rasa." kesal Mbak Tika sambil berlalu, ketika sudah meletakkan semangkuk sup ayam diatas meja.
Ku lirik lagi mas Fahmi, ternyata dia tidak bergeming dan aku hanya mampu menelan saliva. Sepertinya hubunganku dengan mas Fahmi akan semakin buruk.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Selesai sarapan, mas Fahmi dan keluarganya benar-benar pergi ke Ancol. Raka dan Rian berulang kali memintaku untuk ikut, tapi aku sungguh enggan.
Akhirnya mbak Tika memberi pengertian pada kedua anak itu bahwa aku tidak bisa ikut, barulah mereka menyerah.
Ku lihat mobil mas Fahmi mulai keluar dari pekarangan rumah dan aku mulai kembali masuk dan menutup pintu.
"Mbak Kiran, Bude izin keluar dulu ya, mau ada arisan ART kompleks, di rumahnya Buk Ammah, sebelum makan siang saya pulang," pamit bude Nur saat aku baru masuk sampai di ruang tengah.
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, kemudian kembali mengantar bude Nur sampai ke depan dan kembali menutup pintu.
Kata mas Fahmi, pintu rumah harus selalu tertutup dan terkunci, baik pintu depan ataupun pintu belakang. Ya sudahlah, turuti saja, lagipula ini memang rumah dia.
Ting tong ting tong
Aku mengehela napas berat, merasa kesal, nyaris saja aku masuk ke dalam kamar malah ada yang menekan bell rumah.
Ini pasti bude ada yang kelupaaan, kebiasaan.
Aku terus menggerutu, kembali menuju pintu utama rumah ini dan membuka pintu itu.
Deg! seketika itu juga jantungku seperti terhenti, ketika ku lihat sosok mas Alfath berdiri tepat didepan pintu rumah.
Dengan gerakan cepat, ia masuk, menutup pintu dan mendorongku dengan ciumannya dibibir.
Aku mati kutu, tidak siap menerima serangan tiba-tibanya ini. Tapi bodohnya, aku malah terlena. Aku membalas ciuman mas Alfath dan menikmati semua sentuhan yang diberikan olehnya.
Bibir yang sangat aku rindukan, tubuh yang selalu aku impikan yang kini bukan milikku lagi.
Mataku membola, menyadari jika kini mas Alfath kini sudah menikah. Buru-buru aku mendorong dadanya untuk menjauh dan melepas pagutan ini.
Tapi bukannya melepas, mas Alfath malah menjatuhkan tubuh kami diatas sofa. Mendadak aku takut, takut jika bude Nur atau mas Fahmi kembali ke rumah ini.
Tidak, aku bisa mati.
Sekuat tenaga aku mendorong mas Alfath menjauh, mengetahui penolakanku akhirnya dia melepaskan lilitan lidah itu, menatap mataku yang kini berada tepat dibawah tubuhnya.
"Kenapa? kenapa pesanku tidak kamu balas? dan kenapa ciuman ini kamu lepas?" tanyanya beruntun dengan mata sayu, mata yang membuat aku tak berdaya.
Aku tak tahu harus menjawab apa, lagipula hatikupun masih sangat mencintainya. Akhirnya aku hanya mampu mengalihkan wajah, tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Ran," panggil mas Alfath lembut dan aku sungguh terbuai dengan panggilannya itu.
Aku menutup mata sejenak, mencari jalan terbaik untuk kami, terlebih untuk ku sendiri.
"Ran," panggilnya lagi dan aku mulai menatap matanya.
"Maafkan aku." ucap mas Alfath.
Aku mendorong dadanya pelan, akhirnya ia mau bangkit dan akhirnya kami duduk berdampingan.
Ia menggenggam tanganku erat, seolah tak ingin pisah.
"Jauhi aku Mas, dengan begitu aku bisa melupakanmu dan mengihklaskan ini semua," ucapku jujur, jujur saja, jika mas Alfath masih memperlakukan aku seperti ini sampai matipun aku tidak akan bisa melupakannya.
"Jangan asal bicara, aku tidak akan meninggalkanmu," jawab mas Alfath cepat, ia makin kuat menggenggam tanganku, hingga terasa sedikit nyeri.
"Lalu apa mau mu Mas? jika kamu terus memperlakukan aku seperti ini lama-lama aku akan membencimu." Air mataku mengalir, tega sekali mas Alfath masih menyentuhku saat dia sudah menjadi suami orang.
Sebegitu tidak berharganya kah aku?
"Aku juga butuh kepastian, jangan suruh aku menunggu lagi." lirihku diantara isak tangis.
"Mas hanya punya pilihan 2, pilih aku atau Dinda."
"Itu bukan pilihan Ran, tidak mungkin aku menceraikan Dinda saat ini, apalagi baru kemarin kami menikah."
"Ya sudah, berarti Mas pilih Dinda. Jangan temui aku lagi." Ego ku terpancing, terserahlah, aku tidak peduli lagi, lebih baik sakit sekalian daripada rasa ini berlarut-larut.
"Kita bisa menikah sirih Ran, tanpa Dinda ataupun semua orang tahu tentang itu. Kita bisa hidup bersama."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 203 Episodes
Comments
komalia komalia
jangan bodoh kamu ran
2025-01-10
0
Dari
hih.. jan mau
2024-10-30
0
andi hastutty
Jangan mau kiran
2024-10-03
0