Makan malam berlangsung dengan sunyi. Tidak ada satupun dari kelima orang yang duduk mengelilingi meja makan tersebut mengeluarkan suara. Hanya Devan yang memang paling tidak bisa diam sesekali mencolek David, lewat sorot matanya ia bertanya tentang Daniel. Namun, lelaki itu sepertinya tidak berniat menjawab, ia hanya mengangkat bahu sedikit.
Papa yang selesai makan lebih dulu, ia meletakkan sendok dan garpu di atas piring yang sudah kosong. Setelah menenggak habis air putih di dalam gelas, kini ia menatap ketiga putranya.
"Niel, kenapa kamu tidak bilang jika pembangunan di Malang gagal?" tanya Papa membuka suara, tatapannya tajam pada putra keduanya itu.
"Tidak gagal," jawab Daniel Tanpa berniat menatapnya.
Ia sudah menduga sejak awal, bahwa serapat apapun ia menyembunyikan fakta ini dari papanya pasti lambat laun akan tercium juga.
"Terus kalau tidak gagal, apa namanya?" tanya papa lagi. Kali ini terdengar lebih tegas.
David dan Devan menunduk dalam, pegangan mereka pada sendok serta garpu semakin erat. Apalagi melihat Daniel yang tidak berani menjawab lagi. Mama mengusap punggung suaminya agar tidak terbawa emosi.
Ketiga pemuda itu sudah tahu bagaimana watak keras papa mereka. Maka jika nada bicaranya sudah seperti ini, dapat dipastikan bahwa papa sedang menahan amarahnya.
"Daniel?" ucap papa kembali karena tak kunjung mendapat jawaban dari Daniel.
"Hanya sebuah kecelakaan," jawab Daniel pelan, tetapi terdengar yakin.
"Kecelakaan atau kelalaian, huh? Kenapa kamu tidak meminta bantuan pada Abang kamu, jika saat itu kamu sedang tidak bisa menyurvei langsung. Lain kali jangan hanya mengandalkan ego dalam berbisnis, Daniel. Kamu juga harus pandai mengatur perasaanmu, bedakan mana kepentingan pribadi dengan pekerjaan. Contoh Abang kamu dan Adik kamu, mereka tidak sungkan meminta pendapat serta bantuan papa ketika sedang kesulitan. Tidak seperti kamu."
Daniel geram, wajahnya merah padam. Lengannya terlihat mengepal kuat di bawah meja, sementara tangan kanan yang memegang sendok juga tak kalah terkepal.
Daniel berdiri dengan cepat, ia hendak meninggalkan makanan yang masih tersisa di piringnya. Selera makannya benar-benar hilang setelah mendengar ucapan papa yang selalu membandingkan dirinya dengan kedua saudaranya.
"Mau kemana kamu? Tidak sopan, orang tua sedang bicara malah pergi." Sentak Papa.
Dada Daniel terlihat naik turun, amarahnya semakin memuncak. Apalagi melihat mama yang seperti tidak berniat membelanya, begitupun dengan kedua saudaranya.
"Daniel, duduklah. Selesaikan makan mu!" Pinta Mama, sorot matanya yang tidak jauh berbeda dengan papa.
"Daniel sudah kenyang," jawab Daniel, kali ini ia benar-benar berlalu dari tempat itu. Tidak menghiraukan teriakan papa.
Debuman keras terdengar dari pintu kamar Daniel. Ia terduduk di lantai, meringkuk memeluk kedua lututnya. Walaupun ia laki-laki, tetapi Daniel selalu merasa lemah jika sudah dalam situasi seperti ini.
Di mana semua orang selalu menyalahkan dirinya. Daniel memang sadar diri, bahwa ia tidak sepandai David dan Devan dalam mengurus bisnis. Tapi, apa harus dengan cara membandingkan mereka supaya Daniel bisa seperti kedua saudaranya.
Terkadang ia merasa bukan seperti anak dari orang taunya. Daniel merasa dianaktirikan. Walau dalam hal materi kedua orang tuanya tidak pernah membedakan, tetapi dalam kasih sayang Daniel merasa ada yang berbeda dan itu sudah berlangsung sejak ia kecil.
Sesak dan amarah sudah bertahun-tahun ia pendam sendiri, dan entah sampai kapan ia akan kuat bertahan. Hanya demi masa depan bersama Ayara ia kuat sampai saat ini.
bersambung..
Cianjur-2-Juni-2021
Myhani.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Andi Fitri
anak"jgn di bedakan sabar y daniel
2021-10-05
0
Ririe Handay
sakitnya ga ilang2 kalo dibanding bandingkan ma sodara
2021-08-16
0
Ran_kudo
sabar dan semangat Daniel.. demi masa depan.. akan tiba waktunya kamu bisa nunjukin klo kamu bisa lebih baik dan hebat dr kedua sodara kamu💪💪😘😘
2021-06-13
0