Jam istirahat telah tiba, Tasya pergi ke kantin bersama teman-temannya.
"Ibu, baksonya 4 iya." Ujar Tasya.
"Iya neng, tunggu sebentar. Ibu akan segera membuatkannya." Jawab ibu penjaga kantin.
Mereka berempat duduk di kursi sambil berbincang-bincang sejenak, sambil menunggu Ibu kantin yang menyiapkan pesanan mereka.
"Tasya, kamu kenapa harus kerja sih. Bukannya Papa kamu sudah memiliki perusahaan sendiri?" Tanya Tera penasaran.
"Hmmm, ini sudah menjadi prinsip keluarga kami. Orangtua tuan Devin sudah cukup baik pada kami. Anggap saja ini sebagai balas jasa." Jawab Tasya.
"Tapi, nanti tetap jadi 'kan main game di warnet?" Tanya Jelita.
"Iya jadi, kalian tenang saja." Jawab Tasya.
"Tuan Devin itu tampan deh, tapi rumor yang beredar dia dingin nan arogan." Ucap Okta.
"Sudah ah, tidak perlu membahas dia. Kita membicarakan hal lain saja." Jawab Tasya.
"Tasya, aku heran deh sama kamu. Kenapa kamu bisa sekuat itu tidak menangis? Kamu ingat 'kan, kejadian dua hari yang lalu." Ucap Jelita. Tiba-tiba terlintas di pikirannya.
"Hanya karena Rumi dan Rubis mempermalukan aku di lapangan, aku harus menangis. Mereka sama sekali tidak penting." Jawab Tasya, tersenyum tipis.
"Meski mereka tidak penting, tapi mereka selalu ingin menyingkirkanmu." Ucap Okta.
"Apa kita hidup harus disukai?" Tanya Tasya, dengan tatapan mata yang serius.
"Tidak sih Sya." Jawabnya.
'Maaf iya sahabatku, kalian tidak boleh tahu bila aku punya kelemahan tidak boleh menangis.' Batin Tasya.
"Kapan kamu terakhir kali menangis?" Tanya Tera.
"Saat usiaku 14 tahun, setelah itu aku harus belajar untuk kuat." Jawabnya.
"Wah luar biasa, sahabat kita ini." Puji Okta.
Ibu kantin sudah datang, dengan membawa nampan yang berisi empat mangkuk bakso. Empat bola mata, memperhatikan dari kejauhan.
"Rubis, lihatlah kita sudah mempermalukan dia. Tapi, dia tidak menangis sama sekali." Ucap Rumi, dengan rasa kesal.
"Rumi, tapi aku yakin dia terluka. Dia hanya pura-pura tangguh, supaya tidak terlihat memalukan di depan kita." Jawab Rubis.
"Kita harus cari kelemahannya, yang terpenting rahasianya." Ucap Rubis.
"Siapa orang yang akan membongkar isi kepalanya, bila bukan dia sendiri. Dia itu cuek, bahkan tidak banyak bicara." Jawab Rumi.
"Coba kamu perhatikan orang-orang, yang berada di sampingnya sekarang." Ucap Rubis.
Rumi melihat ketiga sahabat Tasya. "Aku mengerti maksudmu, kita akan mengorek informasi dari mereka." Jawab Rumi.
"Iya, aku yakin mereka tahu kelemahan Tasya." Ucap Rubis.
"Ternyata pintar juga kamu." Rumi tersenyum senang.
Ting! Ting!
Bel sekolah berbunyi, pertanda waktunya untuk pulang. Tasya dan ketiga temannya, melompat gembira.
"Kita akan bermain game, hore." Ujarnya.
"Sya!" Seru orang, di belakang punggungnya.
Tasya berbalik badan. "Ferdian, ada apa?" Tanyanya.
"Aku mau mengajak kamu pergi." Jawab Ferdian.
"Aku tidak ada waktu." Jawabnya.
Mereka segera masuk ke dalam mobil Okta. Beberapa menit kemudian, mereka sudah sampai.
"Tasya, ayo kita tanding lagi." Ajak seorang laki-laki.
"Ayo, pasti kamu akan kalah lagi." Jawab Tasya.
"Kamu memang satu-satunya pengunjung warnet, yang tidak bisa aku kalahkan." Dia akhirnya mengakui.
"Kamu mau tidak, jika bertanding denganku." Tawar Okta.
"Boleh itu, aku yakin gadis sepertimu hanya pintar berdandan." Ledeknya.
"Kurang ajar, meremehkan dia." Ucap Okta, dengan mendekapkan, tangannya di dada.
"Ayo sekarang kita coba." Jawabnya.
Okta mengangguk, dan tersenyum. Dia mulai bertanding dengan pria remaja itu. Tasya memperhatikan dengan seksama, selama permainan berlangsung.
Rumi dan Rubis pergi ke mall, setelah pulang sekolah. Rumi berjalan sambil membuka dompetnya. Tiba-tiba, dia tidak sengaja bertabrakan dengan gadis remaja. Isi dompetnya jatuh berhamburan ke lantai.
"Maaf iya, aku tidak sengaja." Ujar gadis remaja itu.
Dia membantu memungut kartu pelajar dan lain-lainnya. Rumi dan Rubis menatap tajam padanya.
"Kamu bersekolah di SMA Pelita Raya?" Tanya gadis remaja itu.
"Iya, memangnya kenapa." Jawab Rumi acuh.
"Apa kalian satu kelas dengan Tasya? Aku adalah temannya waktu di SMP." Ucapnya.
"Iya, kami sekelas." Jawab Rumi.
"Ayo kita duduk-duduk dulu di sana. Kita saling berkenalan saja." Ajak Rubis, tiba-tiba bersikap ramah. Dia sedang mencari kesempatan dalam kesempitan.
Gadis remaja itu mengangguk, mereka mengikuti Rumi dan Rubis. Duduk di kursi, dengan sangat santai.
"Siapa namamu?" Tanya Rumi.
"Namaku Aini." Jawabnya.
"Oh iya Aini, kami kasian sekali dengan Tasya. Kenapa dia memiliki kelemahan di balik kekuatan." Rubis membuka pembicaraan, untuk memancing Aini bercerita.
Aini melihat raut pura-pura sedih mereka. Dia merasa tidak apa-apa bila bercerita. Padahal dia tidak tahu, bahwa Tasya menutup hal tersebut diketahui oleh siapapun.
"Apa dia masih menangis di SMA?" Tanya Aini.
"Iya, apa di SMP dia juga menangis?" Jawab Rubis berbohong, lalu bertanya untuk mengorek informasi.
"Iya, dia anak introvert sehingga sering diganggu. Tapi kasian sekali bila dia menangis, dia pasti akan lemas dan pingsan tiba-tiba." Jawab Aini.
"Oh gitu iya." Jawab Rubis, sambil memajukan bibirnya.
"Kami pergi dulu iya, ada urusan." Rumi berpamitan, sambil mencuil lengan Rubis.
Mereka segera meninggalkan Aini sendirian. Dia tercengang dengan tindakan mereka.
'Kenapa terburu-buru sekali.' Batin Aini.
"Rubis, kita harus membuat dia menangis." Rumi mulai punya rencana.
"Bagaimana caranya?" Tanya Rubis.
"Kita hancurkan perusahaan orangtuanya. Kita harus membuat dia kesusahan." Jawab Rumi.
"Tidak, kita harus membuat salah satu keluarganya terluka. Jika hanya perusahaannya, dia pasti akan tetap tangguh." Ucap Rubis.
"Kamu benar, kita culik Papanya." Jawab Rumi menyeringai.
Tasya, Jelita, dan Tera menyemangati Okta. Namun, tetap saja sahabatnya itu kalah dari pria ahli main game itu.
"Nah benar 'kan, tidak ada satu orangpun yang bisa mengalahkan aku di sini." Jawabnya dengan sombong.
"Setidaknya Tasya pintar mengalahkan kamu." Ucap Okta, dia beranjak dari duduknya.
"Iya, tapi hanya dia." Jawab pria itu.
Okta membanting kursi dengan kuat. Dia merasa kesal karena kalah, merogoh sakunya dan mulai memoles bedak.
"Tasya, ayo kita bertanding lagi." Ajak pria itu.
"Sepertinya aku harus segera pulang." Jawabnya.
"Ayolah, sebentar lagi." Ajaknya, dengan sedikit memaksa.
"Baiklah." Jawabnya.
Tasya mulai memegang keyboard game. Fokus pada layar, dalam hitungan sekian detik mulai bertarung. Sahabat Tasya terus menyemangati, hingga permainan berakhir Tasya pun yang menang.
"Hore!"
Keempat gadis remaja itu bertepuk tangan di atas udara. Tasya menyambut tangan mereka, untuk ikut menyatukan. Mereka pulang ke rumah masing-masing, karena hari mulai sore. Tasya memasuki kamarnya lalu menuju kamar mandi. Tentunya, ingin membersihkan peluh yang bercucuran di tubuhnya. Suara gemericik air terdengar riuh, karena Tasya sedang menyiram tubuhnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
De'Ran7
ngapain buat orang nangis..kek kurang kerjaan aja dah nih orang
2022-10-24
0
Amanah Amanah
iiiih serem ank msih ABG labil ...koq udh kaya mafia pke culik2 gitu,g mkir apa spa yg mreka culik?
2022-02-27
0
🌹🪴eiv🪴🌹
astoge anak SMA mau main culik 🤦🤦🤦🤦🤦🤦🤦🤦🤦🤦
2022-01-02
2