Episode 5 Entahlah...

"Kamu kok tau aku disini, Sayang?" Tanya Dian dengan lembut pada Bumi. "Ah, iya, Rani, Danisa, kenalin ini Bumi, calon suami aku." Dian belum tahu bahwa aku dan Rani sudah mengenal Bumi.

Dan lagi Dian menyebut Bumi calon suami. Ya, walaupun sebenarnya akulah calon istri Bumi. Mendengar pengakuan Dian aku pun tak berhak marah walaupun aku cemburu pada Dian. Karna memang mereka sudah menjalin hubungan sebelum Bumi dijodohkan denganku. Walaupun aku yang mengenal Bumi lebih dulu.

Aku hanya tersenyum karna sejujurnya aku tak tahu harus bicara apa. Kejadian ini sangat mengejutkanku. Aku yang tak berencana mengenal atau tahu tentang kekasih Bumi tapi ditakdirkan bertemu dengannya. Entah apa rencana Tuhan sebenarnya.

Aku dan Bumi saling menatap satu sama lain. Mungkin dia sama sepertiku. Tidak tahu harus bicara apa. Bumi pun tak ingin aku mengenal kekasihnya, tapi takdir tetap mempertemukan kami.

Mendengar pengakuan Dian, Rani sepertinya sama terkejutnya denganku. Dan dia tetap menggenggam tanganku mencoba menguatkanku. Entah apa yang ada dipikirannya.

"Sebenarnya aku sudah mengenal mereka, Di." Bumi membuka suara memecah kecanggungan antara kami. "Mereka teman SMAku."

"Benarkah? Waaah, ternyata kalian sudah saling kenal ya? Baguslah" Dian mengucapkan hal itu sembari tersenyum.

Aku dan Rani tetap Diam. Rani tidak bicara mungkin dia mencoba menjaga perasaanku sembari tetap menggenggam tanganku.

"Ehm... Guys, aku pulang dulu ya, aku ada janji sama bunda aku mau makan malam bareng. Kalian have fun ya." Kataku. Sebenarnya aku berbohong. Tak ada janji dengan bunda, hanya saja tak akan baik rasanya kalau aku terus ada disini.

"Tunggu, Sa!" Bumi menarik tanganku saat aku akan meninggakan cafe.

Apa yang Bumi lakukan?

"Kenapa, Bum?" Tanyaku sembari melepaskan tangan Bumi.

"Ehm... Dian, Rani, aku juga harus pergi." Kata Bumi kemudian. "Sebenarnya aku kesini karna mau menjemput Danisa."

Apa??

Apa maksud Bumi sebenarnya?

Aku melihat kearah Dian, dia nampak terkejut. Akupun hanya diam karna aku sendiri tak tahu maksud Bumi untuk menjemputku.

"Apa maksud kamu, Sayang?" Tanya Dian kemudian menatapku dan Bumi bergantian.

"Hari ini mama mengundang Danisa makan malam dirumah..." Bumi menghela napas pelan. "Danisa adalah wanita yang dijodohkan denganku."

"Apa?!?" Tanpa sengaja suara Dian meninggi. Dia nampak sangat terkejut, akupun tak menyangka Bumi akan melakukannya."Jadi Danisa wanita yang dijodohkan denganmu?" Setelah mampu menguasai Diri Dian memperjelas pernyataan Bumi. Dian berusaha setenang mungkin. Walaupun akhirnya bulir bening mengalir dari sudut matanya.

Aku hanya diam mematung.

"Maafkan aku, Di." Bumi menggenggam tangan Dian. "Aku tahu ini berat tapi ini yang harus aku lakukan."

Dian mulai terisak.

"Kenapa kamu nggak bisa nunggu aku bentar aja." Air mata Dian tak hentinya mengalir dari sudut matanya. "Kenapa kamu tidak mencoba membatalkan perjodohan ini. Seharusnya kamu berusaha untuk mempertahankanku." Dian semakin terisak. Sebenarnya aku tak tega melihat mereka harus begini. Tapi apa dayaku.

"Tunggu sebentar! Apa maksud kalian? Bumi dan Danisa dijodohkan?" Rani yang dari tadi diam saja sangat terkejut dengan apa yang di dengarnya. Rani menatap kami bertiga bergantian. "Sa, kamu kok nggak cerita sama aku?" Kali ini Rani menatapku.

"Maaf, Ran. Aku belum sempat cerita sama kamu." Jawabku. Sekali lagi aku tak tahu harus bicara apa lagi. Entahlah, disini aku seperti seorang pembohong yang ketahuan belangnya. Padahal hal ini di luar kehendakku.

"Baiklah." Bumi berdiri. "Sekali lagi aku minta maaf, Di. Aku tak punya pilihan lain. Ayo, Sa mama udah nungguin kita." Katanya kemudian. Dan kami pergi meninggalkan Dian dan Rani. Ku lihat Dian masih menangis. Dia menunduk dan tubuhnya terguncang karna tangisnya.

"Dian, aku minta maaf. Ran, aku pergi dulu." Pamitku. Kemudian aku melangkah dengan berat meninggalkan cafe.

Di dalam mobil Bumi diam saja. Pandangannya lurus kedepan. Dia fokus dengan kemudinya. Aku saat ini berada di mobil Bumi. Mobilku ku parkir di parkiran Butik. Karna tadi Bumi memintaku untuk satu mobil saja. Nanti pak Agus sopirnya yang akan mengantar mobilku kerumah.

Sesekali aku melihat ke arah Bumi. Pandangannya masih tetap lurus ke depan. Seakan tidak ada aku di dalam mobilnya. Dia pasti masih memikirkan Dian. Ya, mereka pacaran sejak kuliah pasti tidak akan mudah untuk melupakan saling melupakan.

"Maaf, karna perjodohan kita akhirnya kamu sama Dian harus seperti ini." Kataku memecah keheningan.

Bumi tersentak. Dia menghela napas pelan. "Bukan salah kamu, Sa. Kamu nggak perlu minta maaf."

"Kalau aja perjodohan ini nggak ada, kamu dan Dian pasti bisa bahagia." Setelah mengucapkan hal itu aku mengalihkan pandanganku keluar jendela di samping kiriku.

Bumi tidak menyahuti perkataanku lagi. Dia kembali terdiam. Sesekali terdengar helaan napasnya.

Lama kami saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Tanpa disadari kami sudah sampai di rumah Bumi. Setelah mobil Bumi masuk ke pelataran rumahnya. Aku turun dari mobil. Sepertinya karena mendengar suara mobil Bumi tante Anggun keluar untuk menyambut kami.

"Hai, sayang, selamat datang di rumah tante ya." Tante Anggun menyambutku dengan hangat. Aku mencium punggung tangan tante Anggun. Setelah memelukku tante Anggun terus menggamit lenganku sembari mengajakku masuk ke dalam rumahnya.

Walaupun baru mengenal tante Anggun tapi tante Anggun seperti sangat menyayangiku. Nyaman sekali bersama tante Anggun, sama seperti saat bersama bunda.

Rumah tante Anggun lumayan besar, rumahnya bergaya minimalis. Semua furnitur dan pernak-perniknya tertata sangat rapi. Lagipun sangat bersih, debu seakan enggan untuk singgah. Interiornya di dominasi warna coklat dan warna putih. Sangat nyaman berada di dalamnya.

Saat berada di ruang makan aku melihat ayah dan bunda sudah duduk di sana. "Ayah, bunda?" Kemudian aku menghampiri mereka dan aku pun mencium punggung tangan mereka. "Kenapa nggak bilang kalau ada acara makan malam di rumah tante Anggun. Tahu gitu aku pulang dulu jemput ayah bunda dari pada ayah nyetir sendiri." Protesku.

"Tante yang minta mereka merahasiakan ini, Sayang. Tante mau kamu semakin dekat dengan Bumi. Jadi tante menyuruh Bumi menjemputmu di butik." Tante Anggun mengerlingkan matanya. Beliau tersenyum dengan bahagia. Begitupun ayah, bunda dan om Surya.

Setelah itu tante Anggun mempersilahkan aku duduk. Di meja makan sudah terhidang berbagai macam menu makanan yang terlihat sangat menggungah selera. Tante Anggun menyiapkan semuanya untuk kami. Kemudian kami pun duduk di kursi masing-masing, sebelum makan kami berdoa.

Setelah makan, begitu banyak yang dibicarakan kedua orang tua kami termasuk rencana pertunangan kami. Padahal aku meminta mereka untuk tidak terlalu terburu-buru. Tapi tetap saja, mereka yang heboh dengan rencana-rencana mereka.

Kulihat gawai Bumi bergetar, sepertinya ada panggilan telepon. Kemudian dia izin untuk mengangkat telpon pada kami semua. Aku menangkap ekspresinya berubah saat meninggalkan kami. Apa mungkin itu telpon dari rumah sakit tempatnya bekerja? Ataukah....

Lumayan lama Bumi tak kunjung kembali. Ada apa ya? Kedua orang tua kami masih asyik dengan obrolan mereka. Aku bosan dan tak ada yang bisa aku lakukan. Aku ingin mencuci wajahku supaya lebih segar karna tadi dari butik aku belum sempat membersihkan diri. Apalagi mengingat kejadian tadi di cafe dekat butik. Huft! Kemudian aku meminta izin pada tante Anggun untuk menggunakan toilet. Tante Anggun menunjukkan dimana letak toiletnya. Setelah itu aku beranjak menuju toilet. Saat akan membuka pintu toilet samar-samar aku mendengar suara Bumi sedang berbicara, ternyata dia belum selesai menelpon. Dia sedang berdiri membelakangiku di dekat dapur yg berdekatan juga dengan toilet.

"Aku mohon kamu mengerti, Di. Ini bukan kemauanku. Aku melakukan semua ini demi Mama." Walaupun Bumi berbicara sangat pelan tapi aku bisa dengan jelas mendengarnya. Sepertinya Bumi sedang bicara dengan Dian.

"Mengertilah kalau saat ini dan mungkin sampai kapanpun aku tak bisa lagi berada disisimu. Aku sudah berkomitmen untuk menerima perjodohan ini, demi Mama... Aku tak bisa kesana. Maaf, Di." Bumi memutus sambungan telponnya.

"Andai saja kamu tahu, Di, ini juga berat untukku. Aku juga mencintaimu." Lirihnya.

Setelah mendengar apa yang di katakan Bumi membuat hatiku berdenyut nyeri. Terasa ada yang sakit di dada tapi tak berdarah.

Sebesar itu cinta mereka. Dan aku yang jadi pemisah mereka berdua. Batinku.

Bumi membalikkan badan. Dia terkejut melihatku sudah ada di depannya.

"Danisa?" Bumi tampak gelagapan. "Sejak kapan kamu disitu?" Tanyanya.

"Baru saja. Aku mau ke toilet." Aku menatapnya beberapa saat. Entahlah seperti apa ekspresiku saat itu. Kemudian aku melangkah masuk ke dalam toilet.

Setelah membasuh wajah rasa penatku sedikit berkurang. Terasa lebih segar. Kemudian aku kembali ke ruang makan dan ternyata Bumi sudah ada di sana.

Tak lama setelah itu bunda dan ayah pamit pada tante Anggun dan om Surya. Kami pun pulang setelah aku mencium punggung tangan tante Anggun dan om Surya. Aku tak berkata apapun pada Bumi, aku hanya menatapnya sesaat kemudian berlalu pergi. Sebenarnya tante Anggun meminta Bumi mengantarku pulang, tapi aku menolaknya dengan alasan tak ingin merepotkan Bumi. Lebih baik aku pulang dengan ayah dan bunda saja.

Terpopuler

Comments

RatuKuyang 👻 ig @zariya_zaya

RatuKuyang 👻 ig @zariya_zaya

lanjut

2021-05-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!