Mereka kembali tidur bersama. Bukan di tempat asing, bukan di rumah sewaan yang jauh. Tapi di rumah keluarga Hadi sendiri, tempat masa kecilnya, tempat ibunya dulu membesarkannya.
Rumah itu sedang kosong. Seluruh keluarga besar Hadi sedang menghadiri pernikahan sanak saudara di desa lain, dan rumah itu ditinggal tanpa penjagaan.
Dan di sanalah, Sari masuk lagi. Bukan sebagai tamu, tapi sebagai perempuan yang disambut diam -diam.
Mereka menyelinap kesana sebagai pencuri, saat setengah penduduk desa mungkin sudah terlelap. Tapi bukan mencuri barang, mereka mencuri waktu, mencuri kesempatan, dan mencuri sisa - sisa harga diri yang dulu masih dimiliki Purnama.
Berhari - hari Purnama memendam ini. Purnama tak menangis lagi. Ia tak bicara lagi. Ia hanya berdiri di ambang batas sabar. Dan malam itu juga ia pergi, tanpa menunggu Hadi pulang.
Ia tahu ke mana harus melangkah. Kakinya seperti diseret oleh bara yang tak lagi bisa dipadamkan.
Rumah Sari....
Di sanalah kemarahan yang selama ini disimpan akhirnya meledak. Purnama menggedor pintu tak peduli siapa yang mendengar. Sari keluar dengan wajah terkejut, rambut belum disisir, baju tidur longgar, dan sisa - sisa kelembutan pura - pura yang tak lagi bisa menyamar.
Dan untuk pertama kalinya, Purnama melihat Sari menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.
Perempuan itu mengamuk..
"Kamu pikir cuma kamu yang punya hak atas dia?" teriak Sari, matanya liar, napasnya memburu.
"Dia yang datang ke aku! Dia yang nggak bisa jauh! Kenapa kamu nggak salahin dia aja, hah?!"
Purnama berdiri membatu. Tapi amarahnya tak lagi meledak. Justru semakin dingin. Karena ketika musuhmu bicara seperti itu, kamu tahu kamu menang, tapi kamu juga kalah.
Dan saat itulah, dari lorong dalam rumah terdengar suara langkah terburu - buru lalu muncul sepasang orang tua. Bapak dan ibunya Sari.
Keduanya berdiri di ambang ruang tamu dengan wajah kaget, sang ibu masih mengenakan daster dan kerudung yang hanya disampirkan asal, matanya lebar, bingung melihat anak gadisnya memaki dan perempuan lain berdiri di ambang pintu rumah mereka.
"Astagfirullah, Sari.... ini apa?" ucap sang ibu lirih, suaranya parau, nyaris gemetar.
Bapaknya Sari hanya menatap diam, wajahnya mengeras, seperti hendak bicara namun tertahan oleh rasa malu dan keterkejutan yang terlalu dalam.
Dan saat itu pula, suara langkah lain datang dari luar.
Hadi muncul.
Berdiri kaku di pintu, wajahnya pucat, bajunya separuh basah oleh hujan. Entah sejak kapan ia tiba, atau seberapa banyak yang ia dengar.
Sari menoleh dengan cepat, seolah mendapat penyelamat.
"Bang! Bilang sesuatu! Bilang ke mereka... Bilang kalau kamu..."
Tapi Hadi hanya diam.
Ia tidak bergerak. Tidak membela. Tidak menoleh pada siapa pun.
Ia hanya berdiri seperti orang hilang arah. Diamnya menelanjangi segalanya.
Sari terdiam.
Kata - katanya tercekat. Tangannya menggantung di sisi tubuh.
Matanya mulai basah, tapi bukan oleh marah.. melainkan oleh takut dan malu.
Karena untuk pertama kalinya, semua yang ia sembunyikan kini disaksikan langsung oleh kedua orang tuanya.
Dan saat Purnama akhirnya melangkah mendekat, lalu membisikkan sesuatu pada Sari...semua suara menghilang. Sari hanya mematung. Mata melebar. Tubuh bergetar.
Purnama menatapnya terakhir kali lalu berbalik. Lewat begitu saja di hadapan Hadi, tanpa menatap. Tanpa satu pun kata.
Bapak dan Ibunya Sari tetap berdiri kaku, seakan menanti waktu berhenti barang sebentar untuk mereka memahami semuanya.
Tapi waktu tak menunggu, dan malam itu semuanya pecah.
Keesokan paginya, tubuh Sari ditemukan tergantung di kebun belakang rumah. Ibunya yang pertama melihat. Jeritnya membangunkan seluruh kampung.
Bapaknya hanya diam, duduk di anak tangga dengan wajah kosong, seperti baru saja kehilangan bukan hanya anak.. tapi juga nama baik yang mereka jaga seumur hidup.
Kabar kematian Sari menyebar lebih cepat dari ayam berkokok. Warga berdatangan... bukan untuk melayat, tapi untuk melihat.
Mereka berbisik - bisik balik pagar, dari sela pohon pisang, dari jendela yang terbuka separuh.
Tidak ada tangis yang keras. Tidak ada doa yang menggema. Yang ada hanya sunyi dan sorot mata yang menyimpan banyak tanya.
Gantung diri.
Begitu simpul yang ditemukan di leher Sari pagi itu. Ibunya yang pertama melihat, dan sejak itu tak berhenti menangis. Bapaknya hanya duduk di tangga rumah, tak bicara sepatah kata pun. Kepalanya tertunduk, seolah punggungnya memikul beban yang tak bisa diluruskan lagi.
Sejak saat itu suasana berubah, malam menjadi lebih dingin. Dulu malam hanya sunyi, hanya suara jangkrik, sesekali lolongan anjing, dan lampu - lampu rumah yang padam satu - satu menjelang tengah malam. Tapi sekarang...
Sunyi itu berubah bentuk. Jadi mencekam, jadi dingin, jadi berat seperti diselimuti kabut yang tak kasat mata.
Tak ada lagi yang berani keluar rumah setelah maghrib. Seolah ada batas tak terlihat yang muncul begitu adzan berkumandang. Dan ketika langit mulai memudar kehitaman seluruh desa seperti mengunci diri dari dunia luar.
Rumah - rumah yang sebagian besar masih berdinding bilik bambu itu, tertutup rapat. Jendela ditutup, tirai diturunkan, pintu dikaitkan kencang.
Kadang bahkan dibarengi dengan bacaan - bacaan pendek yang dilafalkan pelan oleh para ibu sambil menaburkan garam di depan pintu.
Anak - anak diminta segera naik ke dipan. Lelaki tua mempercepat langkah pulangnya dari surau, bahkan sebelum dzikiran selesai. Desa seperti mengunci napas.
Mereka tak bicara soal hantu. Tapi mereka tahu, ada yang tak bisa dijelaskan berkeliaran di luar sana.
Orang - orang bilang, kadang terdengar suara perempuan menangis di ujung kebun Sari. Samar, mengerang, seperti tersesat.
Listrik padam semakin sering. Dan saat gelap datang, udara berubah. Angin dingin membawa aroma bunga melati yang tak semestinya muncul di musim ini.
Yang paling sering terdengar di malam - malam setelahnya adalah suara itu, suara lompatan. Berat. Teratur. Seperti tubuh yang dibungkus rapat dan melompat di atas tanah basah.
"Tduk... tduk.. tduk..."
Sekali. Dua kali
Lalu diam.
Dan setiap kali suara itu terdengar, seluruh rumah menjadi senyap. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang berani mengintip dari sela dinding bilik.
Karena mereka tahu apa pun yang sedang bergerak di luar, bukan manusia.
(Bersambung)....
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Comments
Donny Chandra
Refreshing the page every 5 seconds for the next chapter.
2025-06-28
0