Asmara Dalam Balutan Kain Kafan
Hujan turun sejak sore, gerimis yang tak juga reda, menetes perlahan di atas atap - atap rumah kayu yang sunyi.
Desa itu, biasanya riuh oleh suara anak - anak bermain dan tawa ibu - ibu di teras, kini terdiam. Seolah alam pun turut berduka, menyimpan sesuatu yang belum selesai.
Aroma tanah basah bercampur kemenyan masih menggantung di udara.
Di ujung jalan yang sempit dan becek, rumah keluarga Pak Damas tampak gelap meski lampu minyak menyala di dalam. Tirai - tirai ditutup rapat, dan orang - orang berbicara pelan, seakan takut membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap tertidur.
Dua hari yang lalu, Sari.. Gadis yang usianya sudah matang untuk menikah itu ditemukan tak bernyawa di kebun belakang rumahnya.
Sari yang selama hidupnya dikenal cantik, ramah, dan rajin mengaji itu lehernya membiru bekas jeratan tali kain batik panjang, matanya membelalak terbuka menatap jalan setapak.
Sari salah satu kembang desa, tewas menggantung dirinya sendiri di pohon jambu, entah putus asa karena apa.
Tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi, hanya kesimpulan dari polisi desa yang dipegang teguh warga, bahwa kematian Sari murni karena bunuh diri. Tapi bisik - bisik mulai beredar dari warung kopi hingga ke langgar tua.
Semua orang tahu kabar itu cepat menyebar lebih cepat dari angin desa. Beberapa hari sebelumnya Sari dipergoki oleh istri sah lelaki yang diam - diam menjadi tempatnya bersandar.
Pertengkaran pecah malam itu, teriakan terdengar sampai gang sebelah, tapi tak ada yang tahu siapa pria beruntung yang bisa membujuk Sari merajut aib, beberapa tetangga sempat mengintip dari celah jendela, tapi gelap menelan bayangan.
Yang terdengar hanyalah suara seorang perempuan yang histeris... Istrinya, mungkin. Dan suara barang pecah berhamburan di lantai.
Setelah itu, sunyi. Tak ada satu pun warga yang berani mendekat. Di desa ini semua tahu, urusan ranjang kalau disentuh, bisa menyeret siapa pun ke jurang. Urusan rumah tangga adalah urusan pribadi, Campur tangan bisa jadi bumerang.
Kematian Sari menyisakan desas - desus yang tumbuh liar; Sari bunuh diri karena malu, Sari dirasuki, Sari dikutuk. Namun satu hal yang terus mengganggu warga, siapa lelaki yang membuatnya tergila - gila sampai rela mempertaruhkan harga dirinya? Siapa yang membuat istri sah datang malam - malam, menggedor pintu rumah, dan memaki - maki Sari seperti kesurupan?
Tidak ada yang tahu.
Sari terkenal alim, jelas bukan perempuan yang banyak bicara. Tak ada tamu lelaki yang pernah terlihat datang ke rumahnya. Tapi mungkin itulah yang paling menyeramkan bahwa semuanya terjadi dalam diam, dalam sembunyi. Dan sekarang setelah kematian itu rasa tak nyaman menyelimuti desa.
Ada yang bilang semenjak kematian Sari suara tangis terdengar lagi dari belakang rumah Sari. Bukan suara Sari, tapi suara perempuan lain yang merasa dikhianati, yang belum selesai dengan amarahnya
Dan lelaki itu? Entah siapa, entah dimana. Tapi beberapa percaya, dia masih ada di desa. Diam, menyimpan rahasia. Dan setiap kali langit mendung, ia akan dihantui oleh suara tali yang menegang, dan tatapan Sari yang tak pernah memejam.
Kematian Sari dianggap aib. Keluarganya tak banyak bicara, bahkan hari pertama kematiannya rumah Sari sepi, tak ada keramaian pelayat, tak ada tikar digelar. Tak pula ada doa dibacakan, hanya beberapa orang yang datang sekadar melihat dari pagar, lalu pergi dengan bisikan tertahan. keluarga Sari memilih menutup pintu rapat - rapat.
Ibunya yang sudah renta, duduk termangu di ruang depan tanpa bicara. Seolah duka ini bukan hanya kematian, tapi juga penolakan dari dunia yang pernah mereka tinggali.
Biasanya, kematian di desa Karangjati disambut dengan lantunan ayat - ayat suci, para tetangga bergiliran datang, membantu, menghibur, bahkan memasak, tapi tidak kali ini.
Karena Sari mati dengan cara yang tak pantas. Gantung diri. Setelah tertangkap basah berselingkuh, setelah mencoreng harga diri keluarga, setelah menumpahkan aib di tengah masyarakat kecil yang memuja kehormatan lebih dari apa pun
Hari pertama, tahlilan tak digelar, hari kedua pun tetap sunyi.
Bahkan suara pengeras suara dari langgar yang biasanya mengalun doa untuk almarhum, tidak terdengar. Hanya suara burung hantu dari pohon jambu, dan gemeretak angin yang menerobos celah - celah papan tua di rumah Sari.
Seorang tetangga tua sempat berbisik lirih saat lewat di depan rumahnya, "Kalau mati karena bunuh diri, malaikat pun enggan mendekat. Apalagi manusia."
Tapi entah mengapa, sejak tidak ada doa - doa itu, sejak rumah itu hanya dihuni duka yang diam dan tak dipulihan ritual, desa terasa lebih dingin. Ada sesuatu yang tidak selesai. Seolah arwah Sari belum tenang, seolah ia masih berdiri di pojok rumahnya menunggu namanya dipanggil dalam doa yang tak pernah datang.
(Bersambung…)
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Comments
Dara20_
OMG, that last chapter was a cliffhanger! Need the next one ASAP!
2025-06-28
0