Ia Sudah Mati, Tapi Belum Pergi....

Di ujung desa, di sebuah rumah berdinding kayu yang catnya mulai mengelupas, sepasang suami istri duduk tanpa suara. Lampu padam sejak maghrib, dan mereka tak menyalakan apa pun. Tak lilin, tak lampu minyak. Hanya gelap, seperti isi kepala dan hati mereka malam itu.

         Angin menerobos celah jendela membawa suara hujan yang masih turun perlahan, dan dingin yang merayap sampai ke tulang. Tapi tak ada yang bergerak, mereka hanya duduk saling membelakangi, masing - masing tenggelam dalam kehancuran yang sama - sama mereka ciptakan.

           Purnama memeluk dirinya sendiri di sudut kursi. Matanya sembab, tapi sudah tak bisa menangis. Malam ini bukan malam air mata, ini malam kebisuan. Bekas luka di pipinya mulai mengering, tapi rasa perihnya belum. Di dadanya masih tersimpan letupan - letupan kecil yang terus menyala, tak terbakar tak juga padam.

           Hadi, suaminya, duduk di dekat pintu. Tubuhnya kaku, wajahnya gelap tertutup bayang dan hanya sesekali cahaya petir menunjukkan garis keras di rahangnya, dan tatapan kosong yang entah berisi sesal, takut, atau hanya kehampaan.

        Tak ada kata yang bisa keluar, semua sudah terlalu telat. Mereka pernah saling mencintai atau setidaknya mengira begitu. Tapi sejak Sari masuk ke dalam hidup mereka dengan tawa manis, tubuh muda, dan mata yang tahu cara memancing kekosongan laki - laki, segala yang dulu mereka jaga bersama mulai pecah perlahan.

          Tiga malam lalu, pertengkaran itu pecah di ruang ini. Dengan teriakan, tangisan, piring yang pecah, dan rahasia yang akhirnya meledak.

Sari, nama yang kini menjadi bisikan hina sekaligus luka. Wanita yang menyelinap diam - diam di hati suaminya. Pelan, lembut, tapi tajam.

Hingga akhirnya, semua terbuka. Dan tak lama setelah itu ia ditemukan tergantung. Mati, sendiri, tragis, membekas.

           Purnama akhirnya bersuara, suaranya pelan tapi dingin, "Kalau aku enggak datang ke rumah Sari malam itu... kalian masih lanjut ya?"

Hadi tak menjawab, ia hanya menunduk, seolah kalimat itu bukan pertanyaan, tapi hukuman yang memang harus ia terima.

        Purnama menghela napas. "Orang - orang bilang arwahnya belum tenang. Katanya masih keluyuran di kebun. Tapi aku rasa.. bukan mereka yang dikejar. Dia...... ngejar kita, Di"

          Hadi tetap diam. Di kepalanya, wajah Sari muncul lagi. Dengan mata memelas, dengan bibir yang memohon agar jangan ditinggal. Dengan suara terakhirnya yang bergetar, "Kalau Abang pergi, aku lebih baik mati."

Ia menutup mata, tapi gambar itu tetap ada. "Sari bukan arwah penasaran." ucapnya akhirnya, nyaris seperti gumaman. "Dia perempuan yang mati karena terlalu percaya. Dan aku.... yang bikin dia percaya"

          Petir kembali menyambar, di kejauhan. Wajah mereka tersorot sekejap. Mata Purnama yang basah, dan wajah Hadi yang hancur diam - diam.

Sari memang sudah mati, tapi luka yang ia tinggalkan masih meracuni isi rumah ini.

           Dan diluar sana, di bawah hujan yang turun perlahan, seseorang mengira melihat sesosok putih berdiri diam di tikungan jalan. Membisu, menghadap ke rumah itu.

          Purnama memejamkan mata sejenak. Tapi bukan untuk tidur.

Bayangan itu datang lagi, tajam dan membekas seperti parut lama yang tak bisa disembuhkan. Ia tidak pernah bisa mengusir ingatan tentang malam itu. Tentang saat kebenaran menghantamnya tanpa ampun.

Ia masih ingat jalan setapak itu. Sepi, gelap, dikelilingi pohon pisang dan semak belukar.

         Sebuah pondok tua bekas gudang pupuk yang sudah lama tak digunakan warga. Entah apa yang membawanya kesana malam itu. Mungkin hanya firasat, atau suara kecil dalam hatinya yang memaksa berjalan diam - diam keluar rumah.

Dan disanalah mereka...

Sari dan Hadi. Tubuh - tubuh mereka saling melilit dalam gelap. Nafas tergesa. Gerakan liar. Tidak ada rasa bersalah di mata mereka saat itu, hanya hasrat. Hanya keinginan yang dibakar oleh kesempatan.

         Purnama berdiri mematung di balik batang pisang, mulutnya tertutup oleh tangan sendiri. Menahan jerit yang nyaris pecah. Tubuhnya gemetar, dunia di sekelilingnya seolah berhenti. Angin pun tak berani lewat.

Ia ingin lari, tapi tubuhnya tertanam. Ia ingin berteriak, tapi tenggorokannya tercekat....

        Dan saat Hadi tanpa sengaja menoleh dan matanya bertemu pandang dengan Purnama, itu bukan hanya pengkhianatan yang pecah malam itu, tapi juga rasa hormat, rasa percaya, dan seluruh hidup yang pernah mereka bangun bersama.

Sari hanya sempat menarik kainnya dengan panik, tapi matanya tak berpaling. Tatapan Sari malam itu bukan rasa bersalah, tapi tantangan. Seolah berkata, "Sekarang kamu tahu. Mau apa?"

Purnama tak menjawab, ia berbalik dan pergi malam itu... tapi separuh dirinya tertinggal di balik semak - semak.

Malam itu juga, Hadi datang mencarinya. Basah kuyup, tersengal di ambang pintu. Ia berlutut di lantai rumah, menangis seperti anak kecil, memeluk kaki Purnama sambil mengulang - ulang satu kalimat:

           "Maafin aku, Purnama. Aku salah. Aku bodoh. Aku janji ninggalin dia. Aku pilih kamu."

Hadi bersimpuh di lantai basah kuyup oleh hujan dan rasa bersalah yang terlambat. Tangannya menggenggam kaki Purnama, suaranya parau, nyaris tak terdengar di tengah deras yang mengguyur atas seng. Air mata dan air hujan menyatu di wajahnya, tapi Purnama hanya berdiri mematung, dingin, lelah, kosong.

Dan dalam diamnya, ada satu pertanyaan yang berputar tak henti di kepala: Kenapa Sari?

Ia tak pernah menyangka. Tak pernah terbayangkan..

Bahwa perempuan yang merebut hati suaminya, yang membuat Hadi berpaling dari rumah adalah Sari.. Kembang desa yang dikenal sopan, tenang, dan jarang bicara.

Perempuan yang selalu mengenakan kerudung rapi, menunduk bila berpapasan, tersenyum kecil bila menyapa. Yang duduk di barisan paling depan saat pengajian, yang dipanggil "Neng" oleh orang tua dan "Teh" oleh anak - anak.

Siapa sangka di balik kelembutannya ada keberanian sebesar itu?

Keberanian untuk mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Untuk masuk ke rumah orang lain lewat pintu belakang... dengan senyap, dengan manis, tanpa suara.

        Purnama tak tahu apakah ia lebih marah pada Hadi, atau pada dirinya sendiri. Karena terlalu percaya. Karena terlalu lambat menyadari. karena mengira kesetiaan cukup dengan saling tinggal serumah.

Dan malam itu, ketika Hadi bersimpuh memohon ampun, di sela isaknya yang basah, Purnama hanya bisa bertanya dalam hati: Apa kurangnya dirinya? Ia juga pernah jadi kembang desa.

Bahkan sebelum menikah dengan Hadi tujuh tahun lalu, namanya kerap disebut - sebut di mulut para ibu, dilamar diam - diam oleh juragan - juragan yang tinggal di ujung kampung atau datang dari kota. Wajahnya bersih, kulitnya terawat, tutur katanya dikenal lembut. Ia tak pernah merasa lebih rendah dari siapa pun, termasuk Sari.

Tapi pengkhianatan selalu menampar harga diri dengan cara paling telak, pelan tapi pasti. Purnama mulai bertanya mungkin ada yang salah dengan dirinya.

Mungkin tubuhnya tak lagi semenarik dulu. Mungkin hatinya terlalu dingin. Mungkin Hadi bosan.

Atau.....

Karena ia belum memberi Hadi anak.

     Pertanyaan itu datang seperti pisau tumpul yang menusuk perlahan. Selama ini orang bilang, rumah tangga mereka sepi. Tidak ramai suara tangis bayi. Tapi Purnama tak pernah merasa itu masalah besar, karena Hadi sendiri yang bilang,

"Aku belum siap, Purnama. Aku belum mampu jadi bapak."

Hadi yang menolak.

Hadi yang meminta mereka menunda.

Hadi yang berkata ingin lebih mapan dulu. Tapi kini, diam - diam, Purnama berpikir:

Kalau bukan denganku, mungkin dia siap jadi bapak dengan perempuan lain?

Dan pikiran itulah yang akhirnya lebih melukai daripada perselingkuhan itu sendiri.

Karena luka di hati bisa ditutup. Tapi luka yang menampar harga diri seorang perempuan.. itu tinggal selamanya.

Entah karena cinta yang belum benar - benar padam, atau karena ia ingin membuktikan bahwa ia masih punya kuasa atas rumah tangganya sendiri, Purnama memaafkan Hadi, dengan satu syarat.. Janji mati.

Bahwa tak akan lagi ada pertemuan, tak akan ada lagi kebohongan, dan tak ada lagi tubuh Hadi yang menyatu dengan tubuh perempuan itu.

            "Kalau kamu ulangi, Di... demi Allah aku sendiri yang bakal bikin semuanya selesai," ucapnya waktu itu, lirih tapi tajam seperti bilah kaca.

Hadi mengangguk. Menunduk. Seperti biasa. Dan seperti biasa pula, janji itu hanya bertahan sebentar.

Beberapa waktu kemudian, Purnama tahu.

Bukan dari gosip. Bukan dari desas - desus. Tapi dari gelagat yang kembali jadi pola: malam - malam sunyi, senyum kosong, tubuh Hadi yang pulang tapi jiwanya entah di mana.

Hingga akhirnya, seperti benang yang putus satu - satu, semuanya terbuka lagi...

Mereka kembali tidur bersama. Bukan di tempat asing, bukan di rumah sewaan yang jauh. Tapi di rumah keluarga Hadi sendiri, tempat masa kecilnya, tempat ibunya dulu membesarkannya.

(Bersambung)....

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download MangaToon APP on App Store and Google Play