Rama dan Ayana dulunya adalah sahabat sejak kecil. Namun karena insiden kecelakaan yang menewaskan Kakaknya-Arsayd, membuat Rama pada saat itu memutuskan untuk membenci keluarga Ayana, karena kesalahpahaman.
Dalih membenci, rupanya Rama malah di jodohkan sang Ayah dengan Ayana sendiri.
Sering mendapat perlakuan buruk, bahkan tidak di akui, membuat Ayana harus menerima getirnya hidup, ketika sang buah hati lahir kedunia.
"Ibu... Dimana Ayah Zeva? Kenapa Zeva tidak pelnah beltemu Ayah?"
Zeva Arfana-bocah kecil berusia 3 tahun itu tidak pernah tahu siapa Ayah kandungnya sendiri. Bahkan, Rama selalu menunjukan sikap dinginya pada sang buah hati.
Ayana yang sudah lelah karena tahu suaminya secara terbuka menjalin hubungan dengan Mawar, justru memutuskan menerima tawaran Devan-untuk menjadi pacar sewaan Dokter tampan itu.
"Kamu berkhianat-aku juga bisa berkhianat, Mas! Jadi kita impas!"
Mampukah Ayana melewati prahara rumah tangganya? Atau dia dihadapkan pada pilihan sulit nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 10
Rumah Sakit Bunda Berkasih-Jakarta Pusat.
Mobil Rama baru saja masuk ke rumah sakit itu. Setelah mendapat tempat parkir, dan mesin mobil berhenti, hal itu membuat tidur Zeva terusik.
Bocah kecil itu mengerjab beberapa kali sambil mengucak matanya. "Ibu... Apa kita cudah campai?"
"Iya, Sayang. Zeva jangan takut ya, karena sebentar lagi Zeva akan bertemu Paman Dokter. Nanti kaki Zeva bakal di periksa biar sembuh!" Ayana segera merapikan gendongannya, dan berniat segera turun.
Namun sebelum itu, dering gawai milik Rama rupanya mampu menyita fokusnya dalam sejenak.
Rama melihat, ada nama Mawar dalam layar pipihnya itu.
"Hallo, ada apa Maw?" Rama juga segera ikut turun.
Di sebrang, Mawar tampak masih kesal sebab panggilannya tadi malam tidak Rama jawab. Wanita berusia 28 tahun itu menggerutu, namun cukup lembut dalam penyampaiannya.
"Kenapa tadi malam nggak jawab telfonku, Rama? Padahal, kamu sendiri yang sudah janji sama aku kalau mau sleep call. Dan, aku juga mau tunjukin sama kamu referensi baju buat lamaran kita nanti!"
Wajah Rama sudah menunjukan rasa tidak nyamannya. Pria itu menoleh kearah Ayana sekilas, lalu mejawab lagi.
Sementara Ayana, ia sudah tahu panggilan dari siapa itu. Dadanya terasa sesak, hingga ia langsung saja melanjutkan jalannya masuk kedalam, tanpa peduli dengan obrolan menyakitkan itu.
"Maw, sudah dulu ya! Nanti setelah urusanku selesai, aku jemput kamu. Pagi ini aku sangat sibuk sekali. Udah dulu ya, bye!" Rama segera memutus panggilannya, dan segera menyusul Ayana ke dalam.
Baru saja tiba di teras lobi, tiba-tiba saja,
"Rama, woih!"
Rama tersentak, kala bahunya ada yang menepuk. Ia menoleh, dan rupanya pria itu adalah Dokter Devan-sahabatnya.
"Loh, kamu praktik di sini, Dev?" tanya Rama.
"Iya, Ram! Aku menggantikan Dokter spesialis tulang yang baru saja cuti!" kekeh Devan.
Rama tampak manggut-manggut. "Wah , asik dong! Kan enak kalau ngajakin main, gak perlu nunggu beberapa bulan dulu." kekehnya.
"Kamu bisa aja, Ram!" jawab Devan. "Oh ya... Siapa yang sakit? Kamu kesini ngapain?"
Deg!
Rama tampak berpikir cukup. Tidak mungkin ia mengatakan jika dirinya datang mengantarkan putranya berobat. Yang Devan tahu, Rama masih belum menikah, dan masih menjalin hubungan dengan Mawar.
"Oh, itu... A-aku lagi nganter pelayanku berobat! Makanya aku tungguin di lobi," jawabnya dengan senyum paksa.
"Oh, ya udah... Aku tinggal masuk dulu ya. Aku hari ini ada jadwal praktik pagi."
Rama mengangguk, menatap sahabatnya sudah beranjak masuk lebih dalam.
Setelah itu, Rama berajalan menuju ruang resepsionis, siapa tahu melihat istri serta anaknya kemana.
"Maaf, Mbak... Apa Anda melihat wanita yang menggendong anaknya laki-laki, baru saja masuk kedalam?"
Resepsionis wanita tadi agak merasa bingung. Sebab, pagi ini banyak sekali beberapa orang yang tengah memeriksakan anaknya. "Apa saya boleh tahu, siapa nama istri serta anak Bapak?"
"Istri saya bernama Ayana, dan putra saya namanya Zeva!"
"Sebentar saya cari ya, Pak!" Petugas Resepsionis wanita tadi tampak sibuk mengecek data pasien rawat jalan dalam buku besar didepannya. Namun, nama yang di sebutkan itu tidak terdaftar dalam buku. "Maaf, Pak! Tapi nama yang Anda sebutkan tidak ada disini. Atau mungkin, istri Anda sudah membuat janji pribadi dengan Dokter spesialis."
Rama tampak frustasi. Ia meraup lemah wajahnya, sambil berkata, "Ya sudah Mbak, terimakasih!" Putusnya.
Setelah itu ia memutuskan untuk duduk saja di ruang tunggu, sembari menunggu Ayana kembali lagi. Sesekali Rama menatap arloji di tangannya, sebab pagi ini ia juga harus melakukan meting dengan para rekan bisnisnya.
Ruang praktik Dokter spesialis tulang.
Ayana duduk di depan ruangan itu sambil memangku putranya. Dan kenapa Ayana tidak ke Dokter spesialis anak, malah ke Dokter tulang, sebab ia takut jika tulang putranya mengalami cidera yang tidak ia tahu. Jadi setelah semalam konsultasi dengan Devan, Aya memutuskan untuk membawa putranya menemui Dokter tampan itu.
Dari belokan, Devan yang berjalan di ikuti Asisten perawatnya, tiba-tiba langkah kakinya mengendur. Tatapanya jatuh pada sosok wanita cantik yang sedang cemas memangku putranya.
Devan tersenyum getir, lalu berbisik dalam hatinya, "Rupanya wanita itu sudah berkeluarga. Ya Allah... Maafkan hambamu ini."
"Ada apa ya, Dok?" celetuk perawat wanita itu.
Devan tersadar, "Tidak apa-apa, Sus! Ini... Saya kira kunci mobil saya jatuh."
Setelah itu mereka berdua melanjutkan jalannya lagi, hingga Dokter Devan sudah berdiri di sebrang tempat duduk Ayana.
"Mbak Ayana, silahkan masuk!" ucap Perawat tadi.
Devan hanya tersenyum tipis, langsung melenggang masuk kedalam.
Sementara Ayana, ia menggendong lagi putranya dan masuk di temani perawat tadi.
"Silahkan duduk!" Devan tampak bingung harus memanggil wanita di depannya kini. Jika ia panggil ibu, maka usia Ayana terlihat masih muda sekali.
Ayana sudah duduk, lalu ia tampak menjelaskan awal kejadian jatuhnya sang putra, dan menunjukan kaki Zeva yang masih tampak memar.
"Dok, saya takut terjadi sesuatu dengan tulang putra saya," adu Ayana memelas.
"Anda tidak perlu cemas. Saya akan memeriksanya terlebih dulu!" lalu tatapan Devan jatuh pada putra Ayana. "Hai, apa Om Dokter boleh tahu siapa nama superhero ini?" Devan tersenyum hangat, sambil melipat kedua tanganya diatas meja.
Zeva agak sedikit ketakutan. Bagi Zeva, semua pria seusia Ayahnya akan bersikap sama bagaikan sosok monster kejam yang menakutkan. Lalu kedua manik mata itu mengerjab beberapa kali.
"Ibu... Apa Om Doktel baik pada Zeva? Zeva takut!"
Ayana mencoba menenangkan. Ia usap punggung putranya dengan lembut, lalu berlirih, "Zeva, Om Dokter 'kan yang akan memeriksa kaki Zeva, jadi Zeva jangan takut ya! Om Dokter baik kok."
Pikir Devan, bocah kecil itu hanya takut bertemu orang baru, sebab sebagian anak kecil memang agak terjaga dari beberapa orang asing. Dan, Devan memakluminya. Padahal sejatinya, Devan memiliki trauma tersendiri dalam hidupnya.
"Om Dokter baik kok! Nih, Om Dokter punya mainan mobil-mobilan buat Zeva!" Devan mengambil mobil mainan koleksinya yang baru saja ia taruh di pojok meja. "Nih, buat Zeva! Sekarang kita periksa, yuk!"
Kedua mata Zeva sedikit berbinar mendapat mainan itu. Ia menerimanya cukup pelan, lalu bersedia melakukan pemeriksaan.
Zeva sudah Ayana baringkan pada ranjang pasien. Dan Dokter Devan tampak serius melihat serta menangani kaki Zeva yang masih membiru. Tak lama itu ia menoleh kearah Ayana.
"Saya harus melakukan ronsen terlebih dulu!"
Ayana mengangguk. Ia mengikuti putranya yang dibawa perawat tadi menuju ruangan ronsen yang berada di sebelah ruangan Dokter Devan.
10 menit kemudian.
Kini Zeva sudah kembali, dan sudah duduk tenang dalam pangkuan Ayana. Dokter Devan tampak meresepkan obat, agar mengurangi rasa nyeri pada kaki kecil Zeva.
"Semuanya baik, dan tidak ada keretakan atau semacamnya! Tunggu sebentar, Suster akan mengambilkan obat buat Zeva," ucap Devan sambil menyerahkan resep tadi kepada Asistennya.
Hembusan nafas Ayana terdengar lebih melegakan. Ia tampak bersyukur dengan senyum manis yang terukir dari sudut bibirnya. "Ya Allah terimakasih. Semoga saja setelah meminum obat, Zeva dapat tidur dengan nyenyak lagi."
Tanpa tersadari, Dokter Devan juga ikut merasakan lega ketika memandang wajah damai Ayana. Bahkan, untuk beberapa detik itu, Dokter Devan tak memalingkan tatapanya.
Tatapan itu begitu tulus.
Suster sudah datang kembali. Ia menyerahkan obat itu pada Ayana.
"Terimakasih, Sus!" ucapnya. Setelah itu ia menatap Zeva untuk segera mengembalikan kembali mobil yang putranya pegang.
Dengan berat hati, Zeva hanya mengangguk, "Om, Doktel... Ini mobilnya Zeva tembalikan. Telimakasih, ya!"
"Oh, nggak usah! Ini buat Zeva! Om Dokter masih punya kok di rumah!" Devan menolak, dan memberikan salah satu koleksi mobil mainannya kepada Zeva.
"Wah, telimakasih, Om Doktel! Yeayy...." girang Zeva.
Ayana merasa tidak enak, "Ini beneran tidak apa-apa, Dok?"
Devan hanya tersenyum lebar, "Biar Zeva semangat minum obatnya! Ingat pesan Om Dokter, ya!" Devan mengangkat tanganya untuk tos terlebih dulu.
"Baik, Om Doktel! Zeva pulang dulu, ya!" Tak lupa juga Zeva juga membalas tos tangan itu.
"Dokter, Sus... Saya permisi, terimakasih!" Ayana bangkit dan langsung berjalan keluar.
*
*
Di Lobi,
Sudah hampir 1 jam lewat, dan kini waktu mendekati pukul 09.15 wib.
Rama masih tampak setia duduk disana, meskipun wajahnya tampak menahan cemas. Sejak tadi ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, siapa tahu Ayana sudah keluar dengan putranya.
"Kok lama banget, ya? Apa ada hal serius pada kaki bocah itu?" batinnya tidak tenang.
Dari dalam, Ayana dapat melihat suaminya yang masih duduk tenang di kursi tunggu. Ayana berjalan semakin dekat, dan Zeva kembali tertunduk takut sambil memegang mobil mainan tadi.
"Saya sudah selesai!"
Rama tersentak. Ia segera bangkit, dan malah langsung di tinggalkan kembali oleh Ayana.
Wanita itu berjalan keluar begitu saja dengan sikap dinginnya.
Dengan cepat, Rama segera mempercepat langkahnya, hingga tiba di halaman parkir tempat mobilnya. Setelah menekan tombol kunci, Ayana masuk kedalam begitu saja.
Rama juga melakukan hal yang sama.
Sebelum mobil Rama hidupkan, pria itu menoleh kearah Istrinya. Dan setelah cukup berpikir, barulah ia membuka suara, "Bagaimana keadaan kakinya?"
Ayana tidak ingin menatap. Ia masih tampak sibuk mengendurkan gendongannya pada Zeva, "Untuk apa Mas Rama bertanya? Bukankah kesakitan Zeva adalah kebahagiaan tersendiri bagi Mas Rama?"
Rama cukup tercekat.
Kalimat Ayana berhasil menusuk tepat di jantungnya. Namun ia masih ingin tahu bagaimana keadaan kaki putranya. Meskipun sedikit terpojokan, tapi ia mencoba bersikap tenang.
"Saya hanya ingin tahu saja! Kalian berdua hidup dalam rumah saya, dan jika terjadi sesuatu... Itu sudah pasti menjadi tanggung jawab saya juga!" kalimat Rama seolah ia tengah memperjelas, jika dua orang disampingnya itu adalah istri serta anaknya.
Ayana tersenyum getir.