NovelToon NovelToon
Cinta Dibalik Heroin 2

Cinta Dibalik Heroin 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Mafia / Obsesi / Mata-mata/Agen / Agen Wanita
Popularitas:280
Nilai: 5
Nama Author: Sabana01

Feni sangat cemas karena menemukan artikel berita terkait kecelakaan orang tuanya dulu. apakah ia dan kekasihnya akan kembali mendapatkan masalah atau keluarganya, karena Rima sang ipar mencoba menyelidiki kasus yang sudah Andre coba kubur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

UGD

Lampu UGD menyala terlalu terang bagi mata Feni. Bau antiseptik menusuk hidungnya, bercampur dengan aroma darah yang masih menempel di baju dan tangannya. Ia duduk di bangku besi depan ruang gawat darurat, tubuhnya membungkuk, jemarinya gemetar hebat. Darah—darah Rima—sudah mengering di sela-sela jarinya, lengket dan dingin.

Pintunya tertutup rapat. Di baliknya, Rima sedang berjuang.

Feni menunduk, napasnya tersengal-sengal. Tangisnya tidak lagi keras, hanya tersisa isak patah yang keluar tanpa suara. Kepalanya dipenuhi bayangan tadi pagi—Rima tergeletak, darah, mata yang setengah terpejam. Setiap kali ia mengedip, adegan itu kembali, menghantam lebih keras.

Langkah kaki tergesa terdengar di lorong.

“Fen!”

Suara itu membuat Feni menoleh cepat. Andre berdiri beberapa meter darinya, wajahnya pucat, mata merah dan liar. Di belakangnya ada Erlang dan Toni, napas mereka masih berat seolah baru berlari.

Feni tidak sempat berdiri. Tubuhnya lemas.

Andre langsung menghampiri, berlutut di depannya, lalu tanpa ragu memeluknya erat. Tangannya yang besar gemetar saat mengusap kepala Feni, menariknya ke dada.

“Udah… udah… aku di sini,” ucap Andre parau. “Aku di sini, Fen.”

Isak Feni pecah seketika. Tangannya mencengkeram jaket Andre, menempelkan wajahnya ke dada kakaknya. “Ndre… aku ninggalin dia sendirian…” suaranya hancur.

"Ini semua karena aku"

“Aku cuma sebentar… aku—aku nggak tahu…”

“Bukan salah kamu,” potong Andre cepat, lebih seperti meyakinkan dirinya sendiri. “Bukan salah kamu. Dengar aku.”

Ia memeluk Feni lebih erat, seolah kalau dilepas sedikit saja, adiknya akan runtuh sepenuhnya.

Andre lalu berdiri, menahan napas panjang, berusaha mengumpulkan kendali. Ia menatap pintu UGD, lalu ke seorang perawat yang baru keluar.

“Dokternya mana?” suaranya tegas, meski rahangnya mengeras. “Istri saya di dalam.”

“Dokter bedah sedang memeriksa CT-scan, Pak,” jawab perawat itu cepat. “Peluru masih bersarang. Kami harus operasi darurat.”

Andre mengangguk, matanya menyipit. “Lakukan apa pun yang perlu. Selamatkan dia.”

Tak lama kemudian, dokter keluar. Wajahnya serius, profesional, tapi sorot matanya jujur.

“Kami harus segera operasi untuk mengeluarkan peluru dari bahu dan menghentikan pendarahan,” katanya. “Risikonya ada, tapi kalau ditunda, jauh lebih berbahaya.”

Andre menelan ludah. “Berapa lama?”

“Dua sampai tiga jam. Kami minta persetujuan keluarga.”

Andre langsung menandatangani tanpa ragu. “Tolong… dia istri saya.”

Dokter mengangguk singkat, lalu kembali masuk. Pintu UGD tertutup lagi dengan bunyi klik yang terasa seperti palu menghantam dada.

Di bangku tunggu, Feni masih gemetar hebat.

Erlang duduk di sampingnya perlahan. Wajahnya tampak tenang, tapi tangannya sendiri bergetar saat ia mengepalkannya di lutut. Matanya menatap lurus ke lantai, namun jelas pikirannya melayang jauh.

“Fen…” suaranya pelan. “Tarik napas. Pelan-pelan. Ikuti aku.”

Feni menoleh, matanya merah dan kosong.

Erlang menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan, memberi contoh. “Sekali lagi.”

Feni mencoba. Napasnya masih tersendat, tapi perlahan ritmenya mengikuti.

Ada kilatan masa lalu di mata Feni—suara rem menjerit, kaca pecah, darah di dashboard. Bau bensin. Jeritan. Ia menelan keras, memaksa bayangan itu menjauh.

“Kamu aman sekarang,” lanjut Erlang, suaranya lembut namun tegas. “Rima lagi ditangani. Dia akan baik-baik saja.”

Ia lalu melepaskan jaketnya tanpa banyak bicara, menyampirkannya ke bahu Feni. “Pakai ini. Baju kamu… penuh darah.”

Feni menunduk, baru sadar tangannya sendiri masih merah. Ia menggigil, bukan hanya karena dingin.

“Ayo,” kata Erlang pelan. “Kita ke wastafel. Bersihin tangannya sayanj.”

Feni menurut. Dengan langkah kaku, ia berdiri dibantu Erlang. Di depan wastafel, air mengalir, membawa warna merah itu pergi sedikit demi sedikit. Tapi rasa bersalah di dadanya tak ikut hanyut.

Toni berdiri tak jauh, menyandarkan punggung ke dinding, rahangnya mengeras. Matanya sesekali melirik pintu UGD, sesekali ke Andre yang berdiri mematung di depan pintu, kedua tangannya terkepal.

Waktu berjalan lambat. Terlalu lambat.

Di balik pintu itu, Rima sedang bertarung antara hidup dan mati.

Dan di luar, mereka hanya bisa menunggu—dengan doa, ketakutan, dan amarah yang semakin mengeras di dada masing-masing.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!